Perkataan wakaf
yang menjadi Bahasa Indonesia, berasal dari Bahasa Arab dalam bentuk mashdar atau kata jadian dari kata kerja atau fi’il waqafa. Kata kerja atau fi’il waqafa ini
adakalanya memerlukan objek (muta’addi)
dan adakalanya memerlukan objek (lazim).
Dalam perpustakaan sering ditemui
synonim waqf ialah habs waqafa dan habasa dalam bentuk kata kerja yang
bermakna menghentikan dan menahan atau berhenti di tempat.[1]
Sedangkan menurut Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan baahwa: “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam
jangka waktu waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.”
Ibadah wakaf
yang tergolong pada perbuatan sunnat ini banyak sekali hikmahnya yang
terkandung di dalamnya,
antara lain:
Pertama, harta benda yang diwakafkan
dapat tetap terpelihara dan terjamin kelangsungannya. Tidak perlu khawatir
barangnya hilang atau berpindah tangan, karena secara prinsip barang wakaf
tidak boleh ditassarufkan, apakah itu dalam bentuk menjual, dihibahkan atau
diwariskan.
Kedua, pahala dan keuntungan bagi si
wakif akan tetap mengalir walaupun suatu ketika ia telah meninggal dunia,
selagi benda wakaf itu masih ada dan dapat dimanfaatkan.
Ketiga, wakaf merupakan salah satu
sumber dana yang sangat penting manfaatnya bagi kehidupan agama dan umat.
Anatara lain untuk pembinaan mental spiritual, dan pembangunan physik.
Oleh karena
besarnya hikmah dan manfaat terhadap kehidupan umat, maka perlu dibentuk dan
dirancang aturan yang mengikat mengenai wakaf ini.
Dasar
Pemikiran Lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Munculnya
gagasan wakaf tunai memang mengejutkan banyak kalangan, khususnya para ahli dan
praktisi ekonomi Islam. Karena wakaf tunai berlawanan dengan persepsi umat
Islam yang terbentuk bertahun-tahun lamanya, bahwa wakaf itu berbentuk benda-benda
tak bergerak. Wakaf tunai bukan merupakan aset tetap yang berbentuk benda tak
bergerak seperti tanah, melainkan aset lancar. Diakomodirnya wakaf tunai dalam
konsep wakaf sebagai hasil interpretasi radikal yang mengubah definisi atau
pengertian mengenai wakaf. Tafsiran baru ini dimungkinkan karena berkembangnya
teori-teori ekonomi.[2]
Benda Bergerak yang dapat diwakafkan yaitu:
- Uang
- Logam Mulia
- Surat Berharga
- Kendaraan
- Hak atas Kekayaan Intelektual
- Hak Sewa
- Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(Pasal
16 ayat 3, UU No. 41 tahun 2004)
Istilah wakaf uang belum dikenal di zaman Rasulullah. Wakaf
uang (cash waqf ) baru dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Imam az
Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin
al-hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan
sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Di Turki, pada abad ke 15 H
praktek wakaf uang telah menjadi istilah yang familiar di tengah masyarakat.
Wakaf uang biasanya merujuk pada cash deposits di lembaga-lembaga keuangan
seperti bank, dimana wakaf uang tersebut biasanya diinvestasikan pada
profitable business activities. Keuntungan dari hasil investasi tersebut
digunakan kepada segala sesuatu yang bermanfaat secara sosial keagamaan.
Pada abad ke 20 mulailah muncul berbagai ide untuk mengimplementasikan
berbagai ide-ide besar Islam dalam bidang ekonomi, berbagai lembaga keuangan
lahir seperti bank, asuransi, pasar modal, institusi zakat, institusi wakaf,
lembaga tabungan haji dll. Lembaga-lembaga keuangan Islam sudah menjadi istilah
yang familiar baik di dunia Islam maupun non Islam.
Dalam tahapan inilah lahir ide-ide ulama dan praktisi untuk
menjadikan wakaf uang salah satu basis dalam membangun perkonomian umat. Dari
berbagai seminar, yang dilakukan oleh masyarakat Islam, maka ide-ide wakaf uang
ini semakin menggelinding. Negara- negara Islam di Timur Tengah, Afrika, dan
Asia Tenggara sendiri memulainya dengan berbagai cara.
Di Indonesia, sebelum lahirnya UU No. 41 tahun 2004, Majelis
Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang Wakaf Uang, (11/5/2002).[3]
- Wakaf Uang (Cash Wakaf/Wagf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
- Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
- Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh)
- Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar'i.
- Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Ada empat
manfaat utama dari wakaf tunai. Pertama, wakaf tunai jumlahnya bisa
bervariasi sehingga seseorang yang memilki dana terbatas sudah bisa mulai
memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih
dahulu. Kedua, melalui wakaf tunai, aset-aset wakaf yang merupakan
tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau
diolah untuk lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu
sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flaow-nya terkadang kembang
kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya. Keempat, umat Islam dapat
lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu
tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin
terbatas.
Karena itu
hadirnya Undang-Undang tentang wakaf mendapat sambutan yang hangat, tidak hanya
oleh mereka yang terkait langsung dengan pengelolaan wakaf, tetapi juga
kalangan lain termasuk DPR. Hal ini nampak pada saat RUU tentang wakaf ini
dibahas di DPR khususnya komisi IV. Hal ini terungkap dalam raker DPR dengan
pemerintah pada tanggal 6 September 2004 yang
lalu. Secara kuantitas,
jumlah tanah wakaf di Indonesia cukup banyak, tetapi sampai saat ini keberadaan
wakaf belum berdampak positif bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi umat.[4]
Padahal di negara lain seperti: Mesir, Saudi arabia, Yordania, Turki, dan
Bangladesh wakaf merupan salah satu lembaga asosial ekonomi Islam yang dapat
membantu berbagai kegiatan umat, dan berbagai negara yang wakafnya yang sudah
berkembang baik pada umumnya di atur dalam Undang-Undang.
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41tahun 2004 tentang wakaf yang telah
disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 7 Oktober 2004, sudah
diatur berbagai hal penting dalam pengembangan wakaf.
Jika
dibandingkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan tentang wakaf yang
sudah ada selama ini, dalam Undang-Undang tentang wakaf ini terdapat beberapa
hal baru dan penting. Beberapa diantaranya adalah masalah nadzir, harta benda
yang diwakafkan (mauquf bih), dan peruntukan harta wakaf (mauquf alaih), serta
perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Berkenaan dengan masalah nadzir, dalam
undang-undang ini yang dikelola tidak hanya benda yang tidak bergerak yang
selama ini sudah lazim dilaksanakan di Indonesia, tetapi juga benda bergerak
seperti: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan
intelektual, hak sewa dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang
perwakafan tahun 2004 ini muncul dengan beberapa pertimbangan, diantaranya:
a.
Bahwa wakaf sebagai lembaga keagamaan yang
memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien
untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum;
b.
Bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah
lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap
serta masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan;
Undang-Undang Republik
Indonesia no. 41 tahun 2004 ini terdiri:
BAB I KETENTUAN UMUM
Terdiri dari 1 pasal, yaitu pasal 1
BAB II DASAR-DASAR WAKAF
Terdiri dari 30 pasal, yaitu pasal 2
sampai pasal 31
BAB III PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN HARTA WAKAF
Terdiri dari 8 pasal, yaitu pasal 32
sampai pasal 39
BAB IV PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF
Terdiri dari 2 pasal, yaitu pasal 40 dan
pasal 41
BAB V PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN HARTA BENDA
WAKAF
Terdiri dari 5 pasal, yaitu pasal 42
sampai pasal 46
BAB VI BADAN WAKAF INDONESIA
Terdiri dari 15 pasal, yaitu pasal 47
sampai pasal 61
BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA
Terdiri dari 1 pasal, yaitu pasal 62
BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Terdiri dari 4 pasal, yaitu pasal 63
sampai pasal 66
BAB IX KETENTUAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Terdiri dari 2 pasal, yaitu pasal 67 dan
pasal 68
BAB X KETENTUAN PERALIHAN
Terdiri dari 2 pasal, yaitu pasal 69 dan
pasal 70
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Terdiri dari 1 pasal, yaitu pasal 71
[1] Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Tangerang : Ciputat Press, 2005),
hal.6
[2] Sumuran Harahap dkk, Proses
Lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, (Jakarta :
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006), hal.2
[3] http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=61&Itemid=57&lang=in diakses
tgl.10 mei 2012 pukul 12.41
[4] Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Tangerang : Ciputat Press, 2005),
hal.118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar