Powered By Blogger

^^WelcÔm3 tø Mý room^^

[all about something]

Jumat, 08 Juni 2012

Hukum Keluarga Di Negara Maroko


Pendahuluan

Maroko adalah sebuah negara kerajan yang terletak di bagian barat laut afrika. Penduduk asli Maroko adalah Berber, yaitu mastarakat kulit putih dari afrika utara. Mereka konon masih mempunyai garis keturunan dengan Rasululloh dan merupakan penganut agama Islam bermadzhab Maliki. Bahasa yang di miliki dan yang menjadi bhasa kebudayaan mereka yaitu bahasa Arab.
Berdasarkan data sensus jumlah penduduk yang ada pada pertengahan tahun 1991 berjumlah sekitar 27 juta jiwa dan lebih dari 99% adalah Muslim Sunni. Penganut agama yahudi hanya kira-kira kurang dari 8000 orang yang sebagian bertempat di Casablanca dan di kota-kota pesisir. [1]
Demikian pendahuluan yang dapat kami uraikan untuk lebih jelas lagi kami akan menguraikan kehidupan hukum islam yang terdapat di negara Maroko pada umumnya.

 
Hukum Keluarga Di Negara Maroko

1.      Usia dalam Perkawinan

Batas minimal usia boleh kawin di Maroko bagi laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan bagi wanita 15 tahun. Namun demikian disyaratkan ijin wali jika perkawinan dilakukan oleh pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas umur kedewasaan. Pembatasan umur demikian tidak ditemukan aturannya baik dalam al-qur’an, al-hadits maupun kitab-kitab fiqh. Hanya saja para ulama madzhab sepakat bahwa baligh merupakan salah satu syarat dibolehkannya perkawinan, kecuali dilakukan oleh wali mempelai.
Imam Malik menetapkan usia 17 tahun baik bagi laki-laki maupun wanita untuk mengkategorikan baligh, sementara Syafi’I dan Hambali menentukan umur 15 tahun, dan hanya Hanafi ysng membedakan batas umur baligh bagi keduanya, yakni laki-laki 18 tahun, sedangkan bagi wanita 17 tahun. Batasan ini merupakan batas maksimal, sedangkan batas minimal adalah laki-laki 15 tahun, dan perempuan 9 tahun, dengan alas an bagi laki-laki yang sudah mengeluarkan sperma dan wanita yang sudah haid sehingga bisa hamil. Dalam hal ini nampaknya Maroko mengikuti ketentuan umur yang ditetapkan oleh Syafi’I dan Hambali. Batas umur 15 tahun bagi wanita merupakan batas umur kawin terendah. [2]

2.      Masalah Poligami

Negara Maroko berbeda dengan Negara Tunisia yang melarang secara mutlak aturan mengenai poligami, pada prinsipnya bermaksud membatasi terjadinya poligami dengan harapan dapat diterapkan prinsip keadilan bagi para istri. Dalam undang-undang keluarga tahun 1958 menegaskan bahwa jika dikhawatirkan ketidakadilan akan terjadi diantara istri-istri, maka poligami tidak diperbolehkan. Namun, tidak ada pasal dalam undang-undang itu yang memberikan otoritas untuk menyelidiki kapasitas atau kemampuan suami untuk berlaku adil dalam poligami. Selain itu undang-undang Maroko juga mengatur masalah poligamiantara lain sebagai berikut :[3]

Pertama, jika seorang laki-laki ingin berpoligami, ia harus menginformasikan kepada calon istri bahwa ia sudah berstatus seorang suami.
Kedua, seorang wanita, pada saat melakukan akad nikah perkawinan, boleh mencantumkan taqlid talaq yang melarang calon suami berpoligami. Jika di langgar maka istri berhak mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan.
Ketiga, walaupun tidak ada pernyataan seorang wanita, seperti di atas, jika perkawinan keduanya menyebabkan istri pertama terluka maka pengadilan bisa membubarkan perkawinan mereka.
Disamping itu Maroko lebih jauh menetapkan bahwa istri berhak minta cerai dengan alasan suami tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya. Alasan dari pandangan ini adalah bahwa prinsip umum quran tidak membolehkan poligami kalau suami tidak dapat berlaku adil terhadap para istrinya. [4]

3.      Peran Wali Dan Kebebasan Mempelai Wanita

Maroko Mengharuskan adanya wali dan persetujuan dari para calon mempelai untuk satu perkawinan, dan secara prinsip melarang nikah paksa, namun masih mengakui adanya hak Ijbar, dengan alasan kalau ada kekhawatiran bahwa dengan perkawinan tersebut si anak akan sengsara.[5]
Wali nikah dalam hukum keluarga Maroko dibahas pada beberapa pasal. Pasal 13 menyebutkan bahwa dalam perkawinan harus terpenuhi kebolehannya seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menikah, tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan mahar, adanya wali ketika ditetapkan, adanya saksi yang adil serta tidak adanya halangan untuk menikah. Pembahasan wali juga terdapat pada Pasal 17 yang mengharuskan adanya surat kuasa bagi pernikahan yang mempergunakan wali sedangkan Pasal 18, seorang wali tidak dapat menikah terhadap seorang perempuan yang menjadi walinya.
Penjelasan kedudukan wali dalam pernikahan disebutkan pada Pasal 24. Perwalian dalam pernikahan menjadi hak perempuan (bukan orang tuanya, kakeknya dst). Seorang perempuan yang sudah mengerti dapat menikahkan dirinya kepada lelaki lain atau ia menyerahkan kepada walinya (Pasal 25). Ketentuan ini telah menghapus kedudukan wali dalam pernikahan, karena akad nikah berada pada kekuasaan mempelai perempuan, kalaupun yang menikahkan adalah walinya, secara hukum harus ditegaskan adanya penyerahan perwalian tersebut kepada orang tuanya (walinya).
Ketentuan ini juga menghapuskan kedudukan wali adlol, karena pada dasarnya wali adlol muncul karena adanya hak wali bagi orang tua terhadap anak perempuannya.
Apabila dibandingkan dengan hukum Jordania yang sama memakai mazhab Hanafi dalam masalah wali, tampaknya Maroko cenderung lebih jauh memberikan pemahaman terhadap kewenangan perempuan dalam pernikahan. Maroko mengangap bahwa perwalian bukanlah hak dari orang tuanya, tetapi hak anak perempuan itu sendiri.

4.      Pencatatan Perkawinan

Dalam melaksanakan perkawinan, Maroko juga mengharuskan pencatatan perkawinan.  Disamping mengharuskan pencatatan, Maroko juga mensyaratkan tanda tangan dua notaries untuk absahnya pencatatan perkawinan. Selain itu catatan asli harus dikirimkan ke Pengadilan dan salinan (kopinya) harus dikirim ke kantor Direktorat Pencatatan Sipil. Demikian juga istri diberi catatan asli, dan kepada suami diberikan salinannya, selama maksimal 15 hari dari akad nikah. Tetapi tidak ada penjelasan tentang perkawinan yang tidak sejalan dengan ketentuan ini. [6]

5.      Proses Perceraian

UU Maroko menetapkan, istri berhak membuat taklik talak, bahwa suami tidak akan melakukan poligami. Sementara apabila dilanggar dapat menjadi alasan perceraian.  Perceraian harus didaftarkan oleh petugas dan disaksikan minimal 2 orang saksi. Dari teks yang ada dapat dipahami bahwa perceraian diluar Pengadilan tetap sah. [7]
Menurut undang-undang Maroko, seorang istri dapat mengajukan gugat cerai ke pengadilan jika : 1. Suami gagal menyediakan biaya hidup; 2. Suami mampunyai penyakit kronis yang menyebabkan istrinya merana; 3. Suami brlaku kasar ( menyiksa ) istri sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan kehidupan perkawinan; 4. Suami gagal memperbaiki hubungan perkawinan setelah waktu empat bulan ketika suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya; 5. Suami meninggalkan istri sedikitnya selama satu tahun tanpa memperdulikan istrinya. [8]
Di Maroko, aturan tentang Khulu’ diambil dari madzhab Maliki dengan tekanan pada kebebasan istri pada transaksi tersebut. Imam Malik mengatakan jika istri selama perkawinan tidak merasakan kebahagiaan, bahkan merasa didzalimi, maka istri boleh mnuntut cerai dengan mengembalikan sejumlah mahar yang telah diberikan suami kepadanya. Pada undang-undang Maroko diisyaratkan umur istri mencapai 21 tahun untuk dapat melakukan kesepakatan Khulu’, hal mana yang tidak pernah ditetapkan madzhab Maliki dan juga madzhab-madzhab yang lain. Selain itu, pelaksanaan Khulu’ tidak boleh mengorbankan hak-hak anak.

6.      Hukum Kewarisan

Prinsip wasiat wajibah yang diadopsi oleh Tunisia dari hukum wasiat Mesir ( 1946 ) juga diberlakukan di Maroko dengan beberapa perubahan. Maroko merupakan negara keempat dan terakhir setelah Mesir, Syiria dan Tunisia yang mengadopsi aturan ini. Menurut undang-undang Maroko ( 1958 ) hak untuk mendapatkan wasiat wajibah tersedia bagi anak dan seterusnya kebawah dari anak laki-laki pewaris yang telah meninggal. Aturan ini tidak ditemukan dalam madzhab manapun dalam fiqih tradisional, sebab warisan hanya diperuntukkan bagi ahli waris yang masih hidup. [9]

7.      Revisi Undang-Undang Keluarga Maroko 1958

Pada tahun 2004, Maroko mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah) yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah abad. Beberapa perubahan yang berhasil digolkan adalah
 (1) Keluarga adalah tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan merevisi aturan sebelumnya bahwa laki-laki adalah penanggung jawab tunggal keluarga, (2) perempuan tidak membutuhkan ijin wali untuk menikah, sehingga perempuan secara hukum dilindungi UU untuk menentukan sendiri calon suaminya, (3) batas usia minimum pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama 18 tahun merivisi aturan sebelum di mana perempuan 15 tahun, sedangkan laki-laki 17 tahun, (4) poligami mempunyai syarat yang sangat ketat merevisi aturan sebelumnya yang membebaskan poligami.[10]

A.    Penutup

Dari penjelasan yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa negara Maroko adalah negara yang telah menggabungkan pendapat dari beberapa madzhab dalam mencapai keterangan yang ada dalam hukum Islam yang ada di negara Maroko dari beberapa masalah yang direformasi dalam undang-undang Keluarga (2004) di Maroko,sebagaimana yang telah ada di negara-negara Islam lainnya. Mungkin hanya ini yang dapat kami presentasikan tentang Hukum Islam di negara Maroko. Mudah-mudahan apa yang telah dilampirkan diatas dapat bermanfaat bagi kita khususnya.



[1] M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern Dan Kitab-Kitab Fikih, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 97.
[2] M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Op.Cit, h. 109.
[3] Ibid, h. 110-111.
[4] Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Leiden-Jakarta: INIS, 2002), h. 122-123.
[5] Ibid, h. 194.
[6] Khoiruddin Nasution, Op.Cit, h. 156.
[7] Ibid, h. 251-252.
[8] M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Op.Cit, h. 113.
[9] http://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/hukum-islam-di-negara-maroko/  dikutip pada hari minggu, 5-04-2012, jam 20.00 WIB.

1 komentar: