TAFSIR AHKAM MENGENAI POLIGAMI
Bab
I
PENDAHULUAN
Kata poligami berasal dari bahasa yunani, yaitu
polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila
digabungkan maka poligami berarti perkawinan yang banyak atau perkawinan yang
lebih dari satu orang.[1]
Jadi poligami adalah perkawinan
seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan. Dan sebaliknya, jika
perkawinan seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki maka lebih dikenal
dengan poliandri, yang berasal dari
kata polus yang berarti banyak dan Andros yang berarti laki-laki.
Poligami bukan lagi
merupakan suatu yang baru bagi kita, karena istilah tersebut sudah ada
jauh-jauh sebelumnya. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana ketentuan atau
ketetapan yang ditegaskan oleh islam terkait dengan poligami ini. Padahal dalam
sejarahnya, poligami itu sudah banyak dipraktekan dan sudah dikenal oleh
orang-orang hindu, Israel, Persia, Arab, Romawi, Babilonia, Tunisia, dan
lain-lain sebelum kedatangan islam.[2]
Dan pada realita yang ada, banyak orang yang menentang poligami, dan sebaliknya
banyak pula yang menganjurkannya. Nah, bagaimana islam menyikapi hal tersebut,
dan bagaimana ketentuan yang diberikan islam terhadap orang-orang yang
berpoligami?
Dari sebab itulah ada
riwayat yang menyatakan bahwa turunnya surah
an-nisaa’ ayat 3 dan 129, adalah
untuk menyikapi dan menjawab terhadap permasalahan poligami tersebut sesuai
dengan berbagai penafsiran yang diungkapkan oleh banyak para pakar atau
mufassir. Melihat pentingnya memahami bagaimana solusi yang diberikan oleh
islam dalam permaslahan poligami ini, pemakalah akan mengkaji/membahas tentang
tafsiran ayat-ayat yang dijadikan sebagai pedoman dalam poligami tersebut. Yang
akan pemakalah kaji dengan judul “ayat-ayat
tentang poligami”. Semoga nantinya makalah ini akan bermanfaat
dan menambah wawasan bagi para pembaca.
Bab
II
PEMBAHASAN
AYAT-AYAT
POLIGAMI
Surat
an-nisaa’ : ayat 3
“ dan jika kamu
takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266],
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.”
[265]
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian,
tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. [266] Islam
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini
poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi
Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Tafsir
umum
Dalam pangkal ayat ini
kita bertemu lanjutan tentang memelihara anak yatim dan bertemu pula keizinan
dari Tuhan untuk beristri lebih dari satu sampai dengan empat. Maksudnya adalah
apabila kalian takut tidak berlaku adil terhadap wanita-wanita yatim yang ada
di dalam pengasuhan dan perwalian kalian, dan kalian takut tidak mampu
menunaikan hak-hak mereka yang disebabkan kalian tidak mencintai mereka, maka
carilah wanita-wanita selain mereka lalu nikahilah.[3]
Firman Allah ta’ala “ مثنى وثلاث وربع ” yakni,
nikahilah dua, tiga, atau empat. Sunnah Rasulullah SAW yang menerangkan
informasi dari Allah menunjukan bahwa seseorang pun tidak boleh, selain
Rasulullah SAW menikahi lebih dari empat orang wanita, sebab demikian itu
merupakan kekhususan untuk Rasulullah untuk Rasulullah SAW.
Yang demikian itu
karena seorang laki-laki terkadang tidak mampu menahan syahwatnya hanya dengan
seorang istri, karena itu dibolehkan baginya seorang istri lagi setelah seorang
istri (pertama) hingga mencapai empat orang istri. Karena dengan jumlah empat
wanita itu telah mencukupi bagi kaum laki-laki kecuali bagi segenlintir
laki-laki. Walaupun demikian, hal tersebut dibolehkan baginya apabila ia merasa
mampu untuk tidak berlaku zhalim dan aniaya dan yakin dapat memenuhi hak-hak
mereka semua, namun apabila ia takut dari hal-hal tersebut maka sebaiknya ia
mencukupi hanya dengan seorang istri saja atau dengan hanya budak wanitanya,
karena ia tidak wajib untuk membagi malam bagi budak wanitanya tersebut.[4]
Asbabun
Nuzul
Pada waktu itu ada
seorang lelaki yang menguasai anak yatim, dan kemudian dikawinkan. Dia
mengadakan perserikatan harta untuk berdagang dengan wanita yatim yang menjadi
tanggung jawabnya ini. Oleh sebab itu di dalam perkawinan dia tidak memberi
apa-apa dan menguasai seluruh harta perserikatan itu, sehingga wanita ini tidak
mempunyai kekuasaan sama sekali terhadap harta miliknya yang telah
diserikatkan. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan surah an-nisaa ayat 3 sebagai teguran, saran dan peringatan bagi
mereka yang menikahi anak-anak yatim.[5]
(H.R Bukhari dari Ibrahim bin Musa dari
Hisyam dari Ibnu Juraij dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah)
Istinbath
hukum
Dalam ayat pertama
(Surah an-nisaa : 3) diisyaratkan adil tetapi dalam ayat kedua (Surah an-nisaa’
: 129) ditegaskan bahwa bersikap adil
itu tidak mungkin. Apakah ayat pertama di nasakh (dihapuskan hukumnya) oleh
ayat kedua yang berarti tidak boleh menikah kecuali hanya satu saja, sebab sikap
adil tidak mungkin diwujudkan?
Firman Allah ta’ala: “ ذالك ادنى الاتعو لوا” dikatakan jika seorang menyimpang,
zhalim dan aniaya. Dalam hadis yang disandarkan kepada Aisyah dikatakan bahwa
firman Allah berbunyi “ذالك ادنى الاتعو
لوا” yang
berarti kamu tidak berbuat aniaya. Maka
syarat mampu berbuat adil dan tidak berbuat aniaya (zhalim) ini yang mesti di
tekankan. Dengan kata lain barangsiapa takut berbuat zhalim dengan empat orang
istri, maka hendaknya ia mengawini dua orang istri saja. Dan jika dua orang
istri pun masih takut tidak berbuat adil, maka cukuplah baginya seorang istri
saja. Sungguhpun demikian, perasaan takut tidak berbuat adil hanyalah sebuah
keharusan agamis, bukan yuridis. Untuk itu, tidak mempunyai pengaruh terhadap
sahnya perkawinan yang lebih dari satu sampai empat orang istri. Sebab perasaan
tersebut hanyalah sesuatu yang datang belakangan (amrun ‘aridy) yang tidak ada kaitannya dengan ketetapan hokum.
Kadang-kadang orang merasa takut tidak berbuat adil, tapi dalam kenyataannya
dia mampu berbuat adil. Memang ada juga yang berbuat zhalim, tapi kemudian, ia
bertaubat dan berlaku adil, maka hiduplah dia dalam kehidupan yang religious.[6]
Ayat-ayat
atu Hadits-hadits yang berkaitan
Imam Bukhari
meriwayatkan denan isnadnya behwa Ghilan bin Salan ts-Tsaqofi masuk islam, akan
tetapi ia memiliki sepuluh orang istri, lalu Nabi SAW bersabda kepadanya:
إختر منهن اربعا
“pilihlah
empat orang dari mereka”
Surat
an-nisaa’ : ayat 129
“ dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.
dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tafsir
umum
Allah mengabarkan bahwa
para suami tidak akan mampu dan bukan diatas kuasa mereka untuk memberikan
keadilan yang sempurna di antara istri-istri mereka, karena adil mengharuskan
kecintaan secara merata, naluri yang sama rata, kecendrungan hati kepada mereka
yang sama rata, kemudian melakukan hal yang menjadi tuntutan itu semua, namun
hal seperti ini adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi, karena itulah Allah
mengampuni apa yang tidak mampu mereka lakukan dan melarang perkara yang
mungkin dilakukan dalam firmanNya…
“…karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung…”
Maksudnya adalah
janganlah kalian condong dengan kecendrungan yang berlebihan dimana kalian
tidak memenuhi hak-hak yang wajib untuk mereka, akan tetapi lakukanlah menurut
kesanggupan kalian dari keadilan itu, maka nafkah, pakaian, pembagian hari, dan
semacamnya wajib atas kalian berlaku adil dalam perkara tersebut diantara
mereka, berbeda dalam perkara cinta dan kasih sayang atau semacamnya, karena
sesungguhnya seorang istri, bila suaminya meninggalkan apa yang seharusnya ia
lakukan untuk istrinya, maka istrinya itu akan menjadi terkatung-katung seperti
wanita yang tidak bersuami yang dapat bersantai dan berhias diri agar dapat
menikah lagi, seperti tidak memiliki suami yang menunaikan hak-haknya.
Firman Allah ta’ala
“Dan
jika kamu mengadakan perbaikan” apa yang terjadi antara
kalian dengan istri-istri kalian dengan memaksa diri kalian untuk melakukan apa
yang tidak diinginkan hati kalian dengan maksud mendapatkan pahala dan
menunaikan hak-hak istri, dan kalian juga mengadakan perbaikan antara kalian
dengan masyarakat, dan juga perbaikan diantara masyarakat dalam hal-hal yang
mereka perselisihkan, hal ini mengharuskan adanya anjuran untuk menapaki jalan
apapun yang menyampaikan pada perbaikan secara mutlak seperti terdahulu, “dan
memelihara diri (dari kecurangan)” , maksudnya, takut kepada Allah dengan
melaksanakan perintahNya serta menjauhi laranganNya, dan bersabar atas
takdirNya,
“…Maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”, Dia
mengampuni apa yang kalian lakukan berupa dosa-dosa dan kelalaian pada hak yang
wajib atas kalian, dan Dia merahmati kalian seperti kalian menyayangi
istri-istri kalian dan merahmati mereka.[7]
Asbabun
Nuzul
Ayat ini diturunkan sehubungan
dengan Aisyah binti Abu Bakar ash-Shidiq, istri Rasulullah SAW mencintai Aisyah
melebihi kecintaanya terhadap istri-istrinya yang lain. Oleh sebab itu setiap
Rasulullah berdo’a “yaa Allah, giliranku
sesuai dengan kemampuan yang ada dalam diriku. Jaganlah engkau memaksakan
sesuatu yang menjadikan perintah-Mu diatas kemampuan yang ada pada diriku.” Rasulullah SAW dalam bentuk-bentuk lahiriyah
bisa berbuat adil terhadap istri-istriNya, tetapi dalam hati sangat mencintai
Aisyah, karena satu-satunya istri beliau yang gadis dan termuda. Sehingga
beliau merasa tidak dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya sebagaimana yang
diperintahkan Allah SWT. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ini
sebagai ketegasan, bahwa dalam bathiniyah diperbolehkan tidak adil, sedangkan
dalam lahiriyah wajib berbuat adil. Namun demikian kecendrungan terhadap satu
istri itu tidak boleh menyebabkan mengabaikan kewajiban terhadap yang lain.[8] (HR. Ibnu Abi Hatim dari Abu Zar’ah dari Ibnu Abi Syaibah dari Husein
al-Ju’fi dari Zaidah dri Abdul-Aziz bin Rafi’ dari Abi Mulaikah)
Istinbath
hukum
Sebagaimana dalam
penjelasan ayat poligami, maka ketentuan adil dalam hal berpoligami itulah yang
dijelaskan dalam Surat an-nisaa ayat 129.
Kebolehan berpoligami yang didasarkan pada beberapa ketentuan yang salah
satunya termasuk kemampuan dalam berlaku adil. Oleh sebab itulah Allah SWT
menjelaskan bahwa suami itu mempunyai istri seorang saja jika tidak sanggup
berlaku adil terhadap istrinya. Dan sebagaimana yang dijelaskan diatas juga
bahwa berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam hal yang bersifat lahiriyah
seperti mu’amalah, nafkah, pergaulan, dan berhubungan. Bukan dalam permasalahan
bathiniyah seperti perasaan hati dan jiwa (cinta dan kasih sayang), karena hal
tersebut sudah diluar kehendak manusia.[9]
Hadits
yang berkaitan
من كانت له امرتان فمال احدا هما جعا يومالقيا مة واحد شقيه شقط (رواه ابو داود)
“barang siapa
yang beristri dua, lalu dia cenderung berlebihan kepada salah satunya, maka
pada hari kiamat ia akan tampil dalamkeadaan salah satu sisi pundaknya miring
(menurun).”
- “Tidak ada satu haripun, melainkan pada hari itu Rasulullah SAW menggilir kami para isri beliau, istri demi istri. Beliau memegang dan mendekati tanpa persetubuhan, sehingga beliau pergi kepada istri yang mendapat giliran pada hari itu, lau Nabi SAW bermalam dirumahnya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
- Aisyah menerangkan:
“adalah
rasulullah SAW mebagi malam di antara istri-istrinya dan beliau berlaku adil.
Beliau berkata : wahai tuhanku, inilah pembagian malam yang dapat kumiliki,
karena itu janganlah engkau miliki, sedang aku tak bisa memilikinya.”
(HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Hadis-hadis tersebut
menunjukan bahwa orang-orang yang berpoligami itu harus mampu berlaku adil
terhadap istri-istrinya. Sebagaimana yang dilakukan Nabi SAW membagi giliran
dan berlaku adil terhadap istri-istrinya. Dan hadits diatas juga menggambarkan
bahwa orang yang tidak berlaku adil kepada istri-istrinya itu pada hari kiamat
akan miring badannya kepada salah satu pihak. Tegasnya sebagaimana dalam hadis “condong kepada salah satu istrinya.”
Dari sebab itulah,
Rasulullah SAW patut kita teladani dalam hal apapun, termasuk dalam berlaku
adil terhadap istri-istrinya.
Bab
III
PENUTUP
Kesimpulan
- Allah membolehkan bagi kaum laki-laki untuk beristri sebanyak-banyaknya empat, dengan syarat-syarat tertentu seperti berlaku adil terhadap istri-istrinya.
- Allah SWT memerintahkan kepada kaum muslimin agar berlaku adil dan memberikan hak istri, hak orang-orang lemah dan hak anak yatim. Pergaulilah mereka dengan baik dan bersikap adillah terhadap mereka.
- Allah mewajibkan agar suami berlaku adil terhadap istrinya sesuai dengan kesanggupannya. Allah tidak menghukum karena dia tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam hal yang tidak sanggup ia melaksanakannya.
[1] Anik Farida, MENIMBANG DALIL POLIGAMI : antara konteks, teks, dan praktek,
DEPAG, Jakarta : 2008. Hal. 15
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid III, Darul Fath : 2004. Hal. 9.
[3] Syaikh Abdurrahman bin Nashir
as-Sa’di, Tafsir as-Sa’di Jilid II ,
Pustaka Sahifa, Jakarta : 2007. Hal.13.
[4] Ibid,. hal 225
[5] A.Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul : Studi Pendalaman al-Qur’an, CV Rajawali, Jakarta :
1989. Hal. 219.
[6] Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW : Poligami
dalam Islam VS Monogami Barat, Pedoman
Ilmu Jaya, Jakarta : 1993. Hal. 44
[7] Syaikh Abdurrahman bin Nashir
as-Sa’di, op. cit. Hal.225.
[8]A.Mudjab Mahali, op. cit. Hal. 302.
[9] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an : Dibawah Naungan al-Qur’an Jilid II,
Gema Insani, Jakarta : 2001. Hal.280.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar