Powered By Blogger

^^WelcÔm3 tø Mý room^^

[all about something]

Jumat, 08 Juni 2012

Tafsir Ahkam (Ayat² hukum) mengenai Poligami

TAFSIR AHKAM MENGENAI POLIGAMI

Bab I
PENDAHULUAN
Kata poligami berasal dari bahasa yunani, yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila digabungkan maka poligami berarti perkawinan yang banyak atau perkawinan yang lebih dari satu orang.[1]
Jadi poligami adalah perkawinan seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan. Dan sebaliknya, jika perkawinan seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki maka lebih dikenal dengan poliandri, yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan Andros yang berarti laki-laki.
Poligami bukan lagi merupakan suatu yang baru bagi kita, karena istilah tersebut sudah ada jauh-jauh sebelumnya. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana ketentuan atau ketetapan yang ditegaskan oleh islam terkait dengan poligami ini. Padahal dalam sejarahnya, poligami itu sudah banyak dipraktekan dan sudah dikenal oleh orang-orang hindu, Israel, Persia, Arab, Romawi, Babilonia, Tunisia, dan lain-lain sebelum kedatangan islam.[2] Dan pada realita yang ada, banyak orang yang menentang poligami, dan sebaliknya banyak pula yang menganjurkannya. Nah, bagaimana islam menyikapi hal tersebut, dan bagaimana ketentuan yang diberikan islam terhadap orang-orang yang berpoligami?
Dari sebab itulah ada riwayat yang menyatakan bahwa turunnya surah an-nisaa’ ayat 3 dan 129, adalah untuk menyikapi dan menjawab terhadap permasalahan poligami tersebut sesuai dengan berbagai penafsiran yang diungkapkan oleh banyak para pakar atau mufassir. Melihat pentingnya memahami bagaimana solusi yang diberikan oleh islam dalam permaslahan poligami ini, pemakalah akan mengkaji/membahas tentang tafsiran ayat-ayat yang dijadikan sebagai pedoman dalam poligami tersebut. Yang akan pemakalah kaji dengan judul “ayat-ayat tentang poligami”. Semoga nantinya makalah ini akan bermanfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca.





Bab II
PEMBAHASAN
AYAT-AYAT POLIGAMI
Surat an-nisaa’ : ayat 3
  
“ dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. [266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Tafsir umum
Dalam pangkal ayat ini kita bertemu lanjutan tentang memelihara anak yatim dan bertemu pula keizinan dari Tuhan untuk beristri lebih dari satu sampai dengan empat. Maksudnya adalah apabila kalian takut tidak berlaku adil terhadap wanita-wanita yatim yang ada di dalam pengasuhan dan perwalian kalian, dan kalian takut tidak mampu menunaikan hak-hak mereka yang disebabkan kalian tidak mencintai mereka, maka carilah wanita-wanita selain mereka lalu nikahilah.[3]
Firman Allah ta’ala “ مثنى وثلاث وربع yakni, nikahilah dua, tiga, atau empat. Sunnah Rasulullah SAW yang menerangkan informasi dari Allah menunjukan bahwa seseorang pun tidak boleh, selain Rasulullah SAW menikahi lebih dari empat orang wanita, sebab demikian itu merupakan kekhususan untuk Rasulullah untuk Rasulullah SAW.
Yang demikian itu karena seorang laki-laki terkadang tidak mampu menahan syahwatnya hanya dengan seorang istri, karena itu dibolehkan baginya seorang istri lagi setelah seorang istri (pertama) hingga mencapai empat orang istri. Karena dengan jumlah empat wanita itu telah mencukupi bagi kaum laki-laki kecuali bagi segenlintir laki-laki. Walaupun demikian, hal tersebut dibolehkan baginya apabila ia merasa mampu untuk tidak berlaku zhalim dan aniaya dan yakin dapat memenuhi hak-hak mereka semua, namun apabila ia takut dari hal-hal tersebut maka sebaiknya ia mencukupi hanya dengan seorang istri saja atau dengan hanya budak wanitanya, karena ia tidak wajib untuk membagi malam bagi budak wanitanya tersebut.[4]
Asbabun Nuzul
Pada waktu itu ada seorang lelaki yang menguasai anak yatim, dan kemudian dikawinkan. Dia mengadakan perserikatan harta untuk berdagang dengan wanita yatim yang menjadi tanggung jawabnya ini. Oleh sebab itu di dalam perkawinan dia tidak memberi apa-apa dan menguasai seluruh harta perserikatan itu, sehingga wanita ini tidak mempunyai kekuasaan sama sekali terhadap harta miliknya yang telah diserikatkan. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan surah an-nisaa ayat 3 sebagai teguran, saran dan peringatan bagi mereka yang menikahi anak-anak yatim.[5] (H.R Bukhari dari Ibrahim bin Musa dari Hisyam dari Ibnu Juraij dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah)
Istinbath hukum
Dalam ayat pertama (Surah an-nisaa : 3) diisyaratkan adil tetapi dalam ayat kedua (Surah an-nisaa’ : 129)  ditegaskan bahwa bersikap adil itu tidak mungkin. Apakah ayat pertama di nasakh (dihapuskan hukumnya) oleh ayat kedua yang berarti tidak boleh menikah kecuali hanya satu saja, sebab sikap adil tidak mungkin diwujudkan?
Firman Allah ta’ala: “ ذالك ادنى الاتعو لواdikatakan jika seorang menyimpang, zhalim dan aniaya. Dalam hadis yang disandarkan kepada Aisyah dikatakan bahwa firman Allah berbunyi “ذالك ادنى الاتعو لواyang berarti kamu tidak berbuat aniaya. Maka syarat mampu berbuat adil dan tidak berbuat aniaya (zhalim) ini yang mesti di tekankan. Dengan kata lain barangsiapa takut berbuat zhalim dengan empat orang istri, maka hendaknya ia mengawini dua orang istri saja. Dan jika dua orang istri pun masih takut tidak berbuat adil, maka cukuplah baginya seorang istri saja. Sungguhpun demikian, perasaan takut tidak berbuat adil hanyalah sebuah keharusan agamis, bukan yuridis. Untuk itu, tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya perkawinan yang lebih dari satu sampai empat orang istri. Sebab perasaan tersebut hanyalah sesuatu yang datang belakangan (amrun ‘aridy) yang tidak ada kaitannya dengan ketetapan hokum. Kadang-kadang orang merasa takut tidak berbuat adil, tapi dalam kenyataannya dia mampu berbuat adil. Memang ada juga yang berbuat zhalim, tapi kemudian, ia bertaubat dan berlaku adil, maka hiduplah dia dalam kehidupan yang religious.[6]
Ayat-ayat atu Hadits-hadits yang berkaitan
Imam Bukhari meriwayatkan denan isnadnya behwa Ghilan bin Salan ts-Tsaqofi masuk islam, akan tetapi ia memiliki sepuluh orang istri, lalu Nabi SAW bersabda kepadanya:
إختر منهن اربعا
“pilihlah empat orang dari mereka”

Surat an-nisaa’ : ayat 129
  
“ dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tafsir umum
Allah mengabarkan bahwa para suami tidak akan mampu dan bukan diatas kuasa mereka untuk memberikan keadilan yang sempurna di antara istri-istri mereka, karena adil mengharuskan kecintaan secara merata, naluri yang sama rata, kecendrungan hati kepada mereka yang sama rata, kemudian melakukan hal yang menjadi tuntutan itu semua, namun hal seperti ini adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi, karena itulah Allah mengampuni apa yang tidak mampu mereka lakukan dan melarang perkara yang mungkin dilakukan dalam firmanNya
“…karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung…”
Maksudnya adalah janganlah kalian condong dengan kecendrungan yang berlebihan dimana kalian tidak memenuhi hak-hak yang wajib untuk mereka, akan tetapi lakukanlah menurut kesanggupan kalian dari keadilan itu, maka nafkah, pakaian, pembagian hari, dan semacamnya wajib atas kalian berlaku adil dalam perkara tersebut diantara mereka, berbeda dalam perkara cinta dan kasih sayang atau semacamnya, karena sesungguhnya seorang istri, bila suaminya meninggalkan apa yang seharusnya ia lakukan untuk istrinya, maka istrinya itu akan menjadi terkatung-katung seperti wanita yang tidak bersuami yang dapat bersantai dan berhias diri agar dapat menikah lagi, seperti tidak memiliki suami yang menunaikan hak-haknya.

Firman Allah ta’ala 
 
“Dan jika kamu mengadakan perbaikan” apa yang terjadi antara kalian dengan istri-istri kalian dengan memaksa diri kalian untuk melakukan apa yang tidak diinginkan hati kalian dengan maksud mendapatkan pahala dan menunaikan hak-hak istri, dan kalian juga mengadakan perbaikan antara kalian dengan masyarakat, dan juga perbaikan diantara masyarakat dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, hal ini mengharuskan adanya anjuran untuk menapaki jalan apapun yang menyampaikan pada perbaikan secara mutlak seperti terdahulu,   “dan memelihara diri (dari kecurangan)” , maksudnya, takut kepada Allah dengan melaksanakan perintahNya serta menjauhi laranganNya, dan bersabar atas takdirNya,
 
“…Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”, Dia mengampuni apa yang kalian lakukan berupa dosa-dosa dan kelalaian pada hak yang wajib atas kalian, dan Dia merahmati kalian seperti kalian menyayangi istri-istri kalian dan merahmati mereka.[7]
Asbabun Nuzul
Ayat ini diturunkan sehubungan dengan Aisyah binti Abu Bakar ash-Shidiq, istri Rasulullah SAW mencintai Aisyah melebihi kecintaanya terhadap istri-istrinya yang lain. Oleh sebab itu setiap Rasulullah berdo’a “yaa Allah, giliranku sesuai dengan kemampuan yang ada dalam diriku. Jaganlah engkau memaksakan sesuatu yang menjadikan perintah-Mu diatas kemampuan yang ada pada diriku.”  Rasulullah SAW dalam bentuk-bentuk lahiriyah bisa berbuat adil terhadap istri-istriNya, tetapi dalam hati sangat mencintai Aisyah, karena satu-satunya istri beliau yang gadis dan termuda. Sehingga beliau merasa tidak dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai ketegasan, bahwa dalam bathiniyah diperbolehkan tidak adil, sedangkan dalam lahiriyah wajib berbuat adil. Namun demikian kecendrungan terhadap satu istri itu tidak boleh menyebabkan mengabaikan kewajiban terhadap yang lain.[8] (HR. Ibnu Abi Hatim dari Abu Zar’ah dari Ibnu Abi Syaibah dari Husein al-Ju’fi dari Zaidah dri Abdul-Aziz bin Rafi’ dari Abi Mulaikah)
Istinbath hukum
Sebagaimana dalam penjelasan ayat poligami, maka ketentuan adil dalam hal berpoligami itulah yang dijelaskan dalam Surat an-nisaa ayat 129. Kebolehan berpoligami yang didasarkan pada beberapa ketentuan yang salah satunya termasuk kemampuan dalam berlaku adil. Oleh sebab itulah Allah SWT menjelaskan bahwa suami itu mempunyai istri seorang saja jika tidak sanggup berlaku adil terhadap istrinya. Dan sebagaimana yang dijelaskan diatas juga bahwa berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam hal yang bersifat lahiriyah seperti mu’amalah, nafkah, pergaulan, dan berhubungan. Bukan dalam permasalahan bathiniyah seperti perasaan hati dan jiwa (cinta dan kasih sayang), karena hal tersebut sudah diluar kehendak manusia.[9]
Hadits yang berkaitan
من كانت له امرتان فمال احدا هما  جعا يومالقيا مة واحد شقيه شقط (رواه ابو داود)
“barang siapa yang beristri dua, lalu dia cenderung berlebihan kepada salah satunya, maka pada hari kiamat ia akan tampil dalamkeadaan salah satu sisi pundaknya miring (menurun).”
  • “Tidak ada satu haripun, melainkan pada hari itu Rasulullah SAW menggilir kami para isri beliau, istri demi istri. Beliau memegang dan mendekati tanpa persetubuhan, sehingga beliau pergi kepada istri yang mendapat giliran pada hari itu, lau Nabi SAW bermalam dirumahnya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
  • Aisyah menerangkan:
“adalah rasulullah SAW mebagi malam di antara istri-istrinya dan beliau berlaku adil. Beliau berkata : wahai tuhanku, inilah pembagian malam yang dapat kumiliki, karena itu janganlah engkau miliki, sedang aku tak bisa memilikinya.” (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Hadis-hadis tersebut menunjukan bahwa orang-orang yang berpoligami itu harus mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya. Sebagaimana yang dilakukan Nabi SAW membagi giliran dan berlaku adil terhadap istri-istrinya. Dan hadits diatas juga menggambarkan bahwa orang yang tidak berlaku adil kepada istri-istrinya itu pada hari kiamat akan miring badannya kepada salah satu pihak. Tegasnya sebagaimana dalam hadis “condong kepada salah satu istrinya.”
Dari sebab itulah, Rasulullah SAW patut kita teladani dalam hal apapun, termasuk dalam berlaku adil terhadap istri-istrinya.


Bab III
PENUTUP
Kesimpulan
  • Allah membolehkan bagi kaum laki-laki untuk beristri sebanyak-banyaknya empat, dengan syarat-syarat tertentu seperti berlaku adil terhadap istri-istrinya.
  • Allah SWT memerintahkan kepada kaum muslimin agar berlaku adil dan memberikan hak istri, hak orang-orang lemah dan hak anak yatim. Pergaulilah mereka dengan baik dan bersikap adillah terhadap mereka.
  • Allah mewajibkan agar suami berlaku adil terhadap istrinya sesuai dengan kesanggupannya. Allah tidak  menghukum karena dia tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam hal yang tidak sanggup ia melaksanakannya.



[1] Anik Farida, MENIMBANG DALIL POLIGAMI : antara konteks, teks, dan praktek, DEPAG, Jakarta : 2008. Hal. 15
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid III, Darul Fath : 2004. Hal. 9.
[3] Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir as-Sa’di Jilid II , Pustaka Sahifa, Jakarta : 2007. Hal.13.
[4] Ibid,. hal 225
[5] A.Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul : Studi Pendalaman al-Qur’an, CV Rajawali, Jakarta : 1989. Hal. 219.
[6] Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW : Poligami dalam Islam VS Monogami Barat, Pedoman  Ilmu Jaya, Jakarta : 1993. Hal. 44
[7] Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, op. cit. Hal.225.
[8]A.Mudjab Mahali, op. cit. Hal. 302.
[9] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an : Dibawah Naungan al-Qur’an Jilid II, Gema Insani, Jakarta : 2001. Hal.280.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar