Powered By Blogger

^^WelcÔm3 tø Mý room^^

[all about something]

Senin, 17 Desember 2012

Hukum dan Kelompok - kelompok Profesi Hukum

Nilai moral suatu Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dari pengembannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Setiap profesional hukum dituntut agar memiliki nilai moral yang kuat. Franz Magnis Suseno mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian profesional hukum.

1. Kejujuran
Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional hukum mengingkari misi profesinya, sehingga akan menjadi munafik, licik dan penuh tipu daya. Sikap yang terdapat dalam kejujuran yaitu :a. Sikap terbuka, berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan/keikhlasan melayani atau secara cuma-cumab. Sikap wajar. Ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan, tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas, tidak memeras.
2. Otentik
Otentik artinya menghayati dan menunjukan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Otentiknya pribadi profesional hukum antara lain :
a. tidak menyalahgunakan wewenang;
b. tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat (malkukan perbuatan tercela; 
c. mendahulukan kepentingan klien;
d. berani berinsiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana, tidak semata-mata menunggu atasan;
e. tidak mengisolasi diri dari pergaulan sosial.
3. Bertanggung Jawab
Dalam menjalankan tugasnya, profesioal hukum wajib bertanggung jawab, artinya :
a. kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya ;
b. bertindak secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma (prodeo);
c. kesediaan memberikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewajibannya.
4. Kemandirian Moral
Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan memebetuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri. mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruhi oleh pertimbangan untung rugi (pamrih), penyesuaian diri dengan nilai kesusilaan dan agama.
5. Keberanian Moral 
Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain :
a. menolak segala bentuk korupsi, kolusi suap, pungli;
b. menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yang tidak sah.

Sedangkan Pengertian etika profesi hukum sebagai berikut : Ilmu tentang kesusilaan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang patut dikerjakan seseorang dalam jabatannya sebagai pelaksana hukum dari hukum yang berlaku dalam suatu negara. sesuai dengan keperluan hukum bagi masyarakat Indonesi dewasa ini dikenal beberapa subyek hukum berpredikat profesi hukum yaitu : Polisi, Jaksa, Penasihat hukum (advokad, pengacara), Notaris, Jaksa, Polisi.
Seluruh sektor kehidupan, aktivitas, pola hidup, berpolitik baik dalam lingkup mikro maupun makro harus selalu berlandaskan nilai-nilai etika. Urgensi etika adalah, pertama, dengan dipakainya etika dalam seluruh sektor kehidupan manusia baik mikro maupun makro diharapakan dapat terwujud pengendalian, pengawasan dan penyesuaian sesuai dengan panduan etika yang wajib dipijaki, kedua, terjadinya tertib kehidupan bermasyarakat, ketiga, dapat ditegakan nilai-nilai dan advokasi kemanusiaan, kejujuran, keterbukaan dan keadilan, keempat, dapat ditegakkannya (keinginan) hidup manusia, kelima, dapat dihindarkan terjadinya free fight competition dan abus competition dan terakhir yang dapat ditambahkan adalah penjagaan agar tetap berpegang teguh pada norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat sehingga tatanan kehidupan dapat berlangsung dengan baik.
Berlandaskan pada pengertian dan urgensi etika, maka dapat diperoleh suatu deskripsi umum, bahwa ada titik temu antara etika dan dengan hukum. Keduanya memiliki kesamaan substansial dan orientasi terhadap kepentingan dan tata kehidupan manusia. Dalam hal ini etika menekankan pembicaraannya pada konstitusi soal baik buruknya perilaku manusia. Perbuatan manusia dapat disebut baik, arif dan bijak bilamana ada ketentuan secara normatif yang merumuskan bahwa hal itu bertentangan dengan pesan-pesan etika. Begitupun seorang dapat disebut melanggar etika bilamana sebelumnya dalam kaidah-kaidah etika memeng menyebutkan demikian. Sementara keterkaitannya dengan hukum, Paul Scholten menyebutkan, baik hukum maupun etika kedua-duanya mengatur perbuatan-perbuatan manusia sebagai manusia sebagai manusia, yaitu ada aturan yang mengharuskan untuk diikuti, sedangkan di sisi lain ada aturan yang melarang seseorang menjalankan sesuatu kegiatan, misalnya yang merugikan dan melanggar hak-hak orang lain. Pendapat Scholten menunjukan bahwa titik temu antara etika dengan hukum terletak pada muatan substansinya yang mengatur tentang perilaku-perilaku manusia. apa yang dilakukan oleh manusia selalu mendapatkan koreksi dari ketentuan-ketentuan hukum dan etika yang menentukannya. ada keharusan, perintah dan larangan, serta sanksi-sanksi.
Teori Hukum Dalam Hubungannya Dengan Etika 
Salah satu teori hukum yang memiliki keterkaitan signifikan dengan etika adalah "teori hukum sibernetika". Teori ini menurut Winner, hukum itu merupakan pusat pengendalian komunikasi antar individu yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Hukum itu diciptakan oleh pemegang kekuasaan, yang menurut premis yang mendahuluinya disebut sebagai central organ. Perwujudan tujuan atau pengendalian itu dilakukan dengan cara mengendalikan perilaku setiap individu, penghindaran sengketa atau dengan menerapkan sanksi-sanksi hukum terhadap suatu sengketa. Dengan cara demikian, setiap individu diharapakan berperilaku sesuai dengan perintah, dan keadilan dapat terwujud. Teori ini menunjukan tentang peran strategis pemegang kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk membuat (melahirkan) hukum. dari hukum yang berhasil disusun, diubah, diperbaharui, atau diamandemen ini, lantas dikosentrasikan orientasinya unyuk mengendalikan komunikasi antar individu dengan tujuan menegakan keadilan. Melalui implementasi hukum dengan diikuti ketegasan sanksi-sanksinya, diharapakan perilaku individu dapat dihindarkan dari sengketa, atau bagi anggota masyarakat yang terlibat dalam sengketa, konflik atau pertikaian, lantas dicarikan landasan pemecahannya dengan mengandalakan kekuatan hukum yang berlaku.
Dampak Penegakan Dan Pelanggaran Etika 
Penyair Syauqi Beg Menyebutkan "sesungguhnya bangsa itu jaya selama mereka masih mempunyai ahklak (moral) yang mulia, maka apabila ahklak mulianya telah hilang. maka hancurlah bangsa itu". Manusia memang sering kali bersikap dan berperilaku yang berlawanan dengan norma yang sudah dipelajari dan dipahaminya.  Norma moral memang sudah banyak dipahami oleh kalangan komunitas terdidik (aparatur negara) ini, tetapi mereka masih juga melihat pertimbangan kepentingan lain yang perlu, dan bahkan harus didahulukan dengan cara mengalahkan berlakunya norma moral (akhlak). contoh-contoh kasus yang merupakan dampak dari pelanggaran etika banyak di jumpai masyarakat atau dalam perjalanan kehidupan bangsa ini. perilaku orang kecil (kalangan miskin) yang melanggar norma moral sangat berbeda akibatnya jika dibandingkan dengan perilaku pejabat atau aparatur negara. Kalau pejabat atau aparatur negara yang melakukan penyimpangan moral, maka dampaknya bukan hanya sangat terasa bagi keberlanjutan hidup bermasyarakat dan bernegara, tetapi juaga terhadap citra institusi yang menjadi pengemban tegaknya moral. Masyarakat tanpa akhlak mulia sama seperti masyarakat rimba dimana pengaruh dan wibawa diraih dari keberhasilan menindas yang lemah, bukan dari komitmen terhadap integritas akhlak dalam diri. manusia yang mengabaikan etika kehidupan itulah yang membuat bumi ini sakit parah, menjadi korban keteraniayaan, atau mengalami kerusakan berat. kerusakan ini tidak lagi membuat bumi menjadi damai, bahkan sebaliknya menuntut tumbal yang mengerikan yang barangkali tidak terbayangkan dalam pikiran manusia. Banyaknya kasus yang terjadi dan akibat yang ditimbulkan lua biasa, maka ini menunjukan bahwa dampak dari pelanggaran etika atau penyimapangan moral tidaklah main-main. pelanggaran moral telah terbukti mengakibatkan problem serius di hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia. Kondisi masyarakat tampak demikian tidak berdaya, menjauh dari hak kesejahteraan, hak keadilan, hak pendidikan yang berkualitas, hak jaminan kesehatan dan keselamatan, adalah akibat pelanggaran moral yang sangat kuat.
Eksistensi Etika Profesi Hukum
Pameo "ubi societas ibi ius" (dimana ada masyarakat, disana ada hukum) sebenarnya mengungkapkan bahwa hukum adalah suatu gejala sosial yang bersifat universal. Dalam setiap masyarakat, mulai dari yang paling modern sampai pada masyarakat yang primitif, terdapat gejala sosial yang disebut hukum, apapun namanya. Bentuk dan wujudnya berbeda-beda, tergantung pada tingkat kemajemukan dan peradapan masyarakat yang bersangkutan. Istilah-istilah yang bermunculan di masyarakat pun tidak berbeda dengan apa dengan apa yang dialami dengan istilah hukum, yakni seiring dengan perkembangan (dinamika) yang terjadi dalam realitas kehidupan masyarakat. Di tengah masyarakat terdapat pelaku-pelaku sosial, politik, budaya, agama, ekonomi, dan lainnya, yang bisa saja melahirkan istilah-istilah atau makna varian sejalan dengan tarik menarik kepentingan. Perkembangan istilah-istilah yang diadaptasikan dengan dinamika sosial budaya masyarakat kerapkali menyulitkan kalangan ahli-ahli bahasa, terutama bila dikaitkan dengan penggunaan bahasa yang dilakukan di lingkungan jurnalistik media cetak. Perkembangan pers yang mengikuti target-target globalisasi informasi, industrialisasi atau bisnis media, dan transformasi kultural, politik dan ekonomi yang berlangsung cepat telah memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan dan pergeseran serta pengembangan makna, istilah, atau kosakata. Misalnya kata profesi cukup gampang diangkat dan dipakai oleh bermacam-macam pekerjaan, perbuatan, perilaku dan pengambilan keputusan. Kata profesi mudah digunakan sebagai pembenaran terhadap aktifitas tertentu yang dilakukan seseorang atau sekumpulan orang.
Profesi hukum memiliki tempat yang istimewa ditengah masyarakat, apalagi jika dikaitkan dengan eksistensi konstitusional kenegaraan yang telah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum (rechstaat). Profesi hukum  pun berangkat dari suatu proses, yang kemudian melahirkan pelaku hukum yang andal. Penguasaan terhadap perundang-undangan, hukum yang sedang berlaku dan diikuti dengan aspek aplikatifnya menjadi substansi profesi hukum. Tanggung jawab seorang yang profesional, menurut Wawan Setiawan, paling tidak harus bertanggung jawab kepada :
1. Klien dan masyarakat yang dilayaninya;
2. Sesama profesi dan kelompok profesinya;
3. Pemerintah dan negaranya.

Profesi Hukum dan Penegakan Hukum 
Suatu profesi hukum di awali dengan proses pendalaman dan penguasaan spesifikasi keilmuwan di bidang perundang-undangan (hukum). Orang yang berniat menjadi penyelenggara atau pengemban profesi hukum haruslah masuk dalam lingkaran atau komunitas proses. Tanpa melalui jalan ini, sulit dihasilkan seorang figur penyelenggara hukum yang handall (profesional). Profesionalitas ikut ditentukan oleh peran atau kontribusi yang ditujukan selama berada dalam komunitas profesi. Ada tahap seseorang baru boleh dan tepat mempelajari pengertian hukum dan profesi, kemudian dilanjutkan dengan mempelajari fungsi, orientasi dan manfaat sebuah profesi hukum ditengah masyarakat. Tahap-tahap yang perlu dilalui ini menjadi pengantar menuju penegakan, pemberdayaan dan pemuliaan profesi. Implementasi profesi itu, termasuk profesi hukum sebenarnya tergantung dari pribadi yang bersangkutan karena mereka secara pribadi mempunyai tanggung jawab penuh atas mutu pelayanan profesinya dan harus secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat atau diabadikan untuk kepentingan umum yang memerlukan pelayanan dalam bidang hukum, untuk itu tentunya memerlukan keahlian yang berkeilmuan serta dapat dipercaya. Dinamika kualitas pelayanan profesi itu terkait dengan tingkat dan macam problem yang dihadapi masyarakat. Suatu jenis profesi, termasuk profesi hukum akan bisa dilihat perkembangan dan prospeknya melalui ragam konflik sosial yang muncul. 
Untuk menjadi penyelenggara profesi hukum yang baik dibutuhkan kehadiran sarjana-sarjana hukum dan praktisi hukum yang memiliki kualifikasi sikap berikut :
1. Sikap kemanusiaan, agar tidak menaggapi (menyikapi) hukum secara formal belaka, Artinya, sebagai sarjana hukun dituntut sejak dini untuk gemar melakukan analisis dan interpretasi yuridis yang sesuai dengan aspirasi dan dinamika masyarakat, sehingga dalam dirinya tidak sampai kehilangan, apalgi tergusur atau terdegradasi wacana kemanusiaan. Tuntutan memiliki sikap kemanusiaan (human attitude) itu tidaklah muncul seketika, tetapi melalui proses yang menuntut konsentrasi dalam hal sinergi dan intelektual. Kalau sikap ini bisa dimiliki, maka seorang sarjana hukum akan mampu menjadi penyelenggara profesi hukum yang bukan tergolong sebagai "mulut/corong undang-undang" (la bauche de laloi), tetapi sebagai penyelenggara profesi hukum yang humanis.
2. Sikap keadilan yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan. Ketentuan perundang-undangan yang berhasil dipelajari dan mengantarkannya sebagi pihak yang jadi pusat ketergantungan masyarakat adalah sudah seharusnya kalu sikap-sikap yang ditujukan itu mencerminkan dan mengartikulasikan tuntutan masyarakat. pemenuhan terhadap tuntutan masyarakat yang memang sebenarnya merupakan hak-haknya akan menentukan apakah dirinya pantas disebut sebagai penyelenggara profesi hukum yang baik atau tidak. Sikap yang ditujukan dalam menangani suatu perkara hukum misalnya bukan dilatarbelakangi oleh tuntutan memperoleh keuntungan pribadi seperti harta dan kemapanan posisi, tetapi adalah memenuhi panggilan keadilan. Menunjukan sikap yang baik bukanlah hal yang mudah bagi penyelenggara hukum. Hal-hal yang menuju pada kebaikan kerapkali dihadapkan dengan beragam tantangan yang bertujuan hendak mematikan cahaya kebaikan itu. Kalau ada pihak yang bersemangat dan kukuh dalam memegang kode etik, maka di sisi lain biasanya terdapat sejumlah pengganggu yang menjadi pemerdayanya. Sikap adil yang ditujukan oleh penyelenggara profesi huku dapat dikategorikan sebagai ekspresi nuraniah yang cukup berani dan mulia, mengingat dengan sikap itu, penyelenggara profesi hukum berarti tidak sampai kehilangan  jati diri dan tetap menjadi pemenang karena mampu mengalahkan beragam tantangan yang berusaha menjinakan sikap adilnya.
3. Mampu melihat dan menempatkan nilai-nilai objektif dalam suatu perkara yang ditangani. Penyelenggara hukum yang dihadapkan dengan kasus seorang klien, yang perlu dan harus dikedepankan lebih dulu adalah mencermati dan menelaah secara teliti kronologis kasus tersebut. Ketika klien menyampaikan latar belakang kejadian munculnya kasus (konflik) itu, maka penyelenggara hukum dituntut bisa mempertanyakan, mendialogkan dan mengongklusiakn kasus itu sampai muncul dan apa yang diinginkan setelah kasus itu terjadi, termasuk menjelaskan kemungkinan-kemungkinan akhir kasus itu dengan berpijak pada inti persoalan objektif dan pijakan yuridis yang sudah diketahuinya. Wacana objektifitas itu sangat penting bagi penyelenggara hukum, mengingat hal ini selain dapat dijadikan bahan untuk membantu menyelesaikan kasus yang dihadapinya, ia juga akan tetap mampu memepertahankan konsistensi keintelektualannya dalam mengembangkan disiplin ilmu hukum. Penyelenggara seperti ini akan mampu menyeimbangkan antara da sollen dan das sein. Disiplin ilmu hukum yang berhasil diraihnya tetap percaya dan mampu menerangi kepentingan masyarakat, dan bukan senaliknya tergeser oleh kepentingan-kepentingan dan ambisi-ambisi yang melupakan  sisi normatif dan referensi keilmuannya.
4. Sikap kejujuran. Sikap ini boleh dikata menjadi panduan moral tertinggi bagi penyelenggara profesi hukum. sebagai suatu panduan tertinggi, tentulah akan terjadi resiko dan impact yang cukup komplikatif bagi kehidupan masyarakat dan kenegaraan kalau sampai sikap itu tidak dimiliki oleh penyelenggara hukum. Sebagai suatu sikap yang harus ditegakkan dalam penyelenggaraan profesi, maka tanggung jawab yang terkait dengannya akan ditentukan karenannya. Kasus-kasus hukum akan bisa diatasi dan tidak akan terhindar dari kemungkinan mengundang timbulnya persoalan sosial-yuridis yang baru bilamana komitmen kejujuran masih diberlakukan oleh kalangan penyelenggara profesi hukum. kasus-kasus yang muncul ditengah masyarakat, baik yang diketegorikan sebagai bentuk pelanggaran hukum maupun moral tidak sedikit di antaranya dikarenakan oleh ketidakjujuran yang dilakukan seseorang maupun kelompok sosial. Sikap jujur ini menjadi pangkal atas terlaksana dan tegaknya stabilitas nasional. Masyarakat, terlebih rakyat kecil akan dapat menikmati kehidupan sejahtera dan harmonis bilamana sikap jujur tak sampai terkikis dalam diri kalangan orang-orang besar yang diantaranya adalah penyelenggara profesi hukum yang salah satu tugasnya menjembatani aspirasi orang-orang kecil.
Profesi Hukum dan Manajemen Hukum
Manajemen hukum punya hubungan yang istimewa dengan profesi hukum. Dengan manajemen yang baik, citra profesi hukum akan jadi lebih baik. Sebaliknya, dengan manajemen yang buruk, citra profesi hukum akan menjadi buruk. Manajemen menjadi ukuran kinerja pengemban profesi hukum". 

Masalah-Masalah Profesi Hukum
Dalam pembahasan profesi hukum, Sumaryono (1995) menyebutkan lima masalah yang dihadapi sebagai kendala yang cukup serius, yaitu :
(a) Kualitas pengetahuan profesional hukum;
(b) Terjadi penyalahgunaan profesi hukum;
(c) Kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis;
(d) Penurunan kesadaran dan kepedulian sosial;
(e) Kontinuasi sistem yang sudah usang.

Masalah Profesi Kontemporer Profesi Hukum di Indonesia

Penyalahgunaan Profesi Hukum
Sumaryono menyatakan, penyalahgunaan dapat terjadi karena persaingan individu profesional hukum, atau karena tidak ada disiplin diri. dalam profesi hukum dapat dilihat dua hal yang sering berkontradiksi satu sama lain, yaitu di satu sisi cita-cita etika yang terlalu tinggi, dan di sisi lain praktek penggembalaan hukum yang berada jauh di bawah cita-cita tersebut. Dalam hal ini tidak seorang profesional hukum pun yang menginginkan perjalan kariernya terhambat karena cita-cita profesi yang terlalu tinggi dan karenanya memberikan pelayanan yang cenderung mementingkan diri sendiri. banyak profesional hukum menggunakan status profesinya untuk menciptakan uang atau untuk maksud-maksud politik.
penyalahgunaan profesi hukum dapat juga terjadi karena desakan pihak klien yang menginginkan perkaranya cepat selesai dan tentunua menang. Klien tidak segan-segan menawarkan bayaran yang cukup menggiurkan baik kepada penasihat hukum atau pun kepada hakim yang memeriksa perkara. Dalam hal ini terjadilah pertarungan, siapa yang menbayar mahal itulah yang bakal menang. penagakan hukum dijadikan ajang bisnis pelecehan hukum secara brutal. Di satu sisi penegak hukum beralih haluan dari keadilan ke penghasilan, dan di sisi lain klien menjadi perongrong wibawa hukum dan penegak hukum pokoknya menang. Bagaimana keadilan bagi yang tidak mampu? wahai pengemban profesi hukum: "kembalilah kepada etika profesi hukum".

Profesi Hukum Menjadi Kegiatan Bisnis
Yang dimaksud kegiatan bisnis adalah kegiatan yang tujuan utamanya mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Apabila kegiatan itu adalah kegiatan profesi hukum, maka dikatakan profesi hukum itu kegiatan bisnis. Jadi, ukuran untuk menyatakan profesi hukum itu kegiatan pelayanan bisnis atau kegiatan pelayanan umum terletak pada tujuan utamanya.
Memang diakui bahwa dari segi tujuannya, profesi hukum dibedakan antara profesi hukum yang bergerak dibidang pelayanan bisnis dan profesi hukum yang bergerak di bidang pelayanan umum. Profesi hukum pelayanan bisnis menjalankan pekerjaan berdasarkan hubungan bisnis (komersial), imbalan yang diterima sudah ditentukan menurut standar bisnis. Contohnya para konsultan yang menangani masalah kontrak-kontrak dagang, paten, merek. Sedangkan profesi hukum pelayanan umum menjalankan pekerjaan berdasarkan kepentingan umum baik dengan bayaran atau tanpa bayaran. Contoh profesi hukum pelayana umum adalah pengadilan, notaris, LBH, kalaupun ada bayaran, sifatwtnya biaya pekerjaan atau administrasi.

Perumusan Hukum dan Kebijakan, Pelaksanaan, Efektivitas, dan Hambatan

Membahas pembangunan bidang hukum sebagaimana di atas, tidak dapat melepaskan diri dari pembahasan tentang  kebijakan hukum atau politik hukum. Menurut G.P. Hoefnagels, kebijakan hukum merupakan bagian tidak terpisahkan (integral) dari kebijakan sosial (social policy); atau dengan kata lain, kebijakan sosial mencakup di dalamnya kebijakan hukum, yang selengkapnya dikatakan kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Jadi, kebijakan perundang-undangan (legislative policy) dan kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy), yang menurut Barda Nawawi Arief, adalah kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Dalam konteks ke-Indonesia-an, tujuan dimaksud telah dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diuraikan di muka.
           Dalam pandangan Sudarto, politik hukum atau kebijakan hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan  keadaan dan situasi pada suatu saat. Pada kesempatan lain beliau mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dari badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan mencapai apa yang dicita-citakan.
           Sedangkan  kebijakan sosial (social policy), menurut Barda Nawawi Arief, adalah segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian "social policy" sekaligus tercakup di dalamnya "social welfare policy" dan " social defence policy".
            Menurut H.P. Hoefnagels, dalam kebijakan hukum atau kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) ini meliputi  juga kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal - criminal policy). Beliau mendefinisikan criminal policy sebagai  the rational organization of social reaction to crime. Beberapa definisi ilustratif tentang criminal policy juga diberikan oleh Hoefnagels, seperti:
a.   Criminal policy is the science of responses;
b.   Criminal policy is the science of crime prevention;
c.   Criminal policy is a policy of designating human behavior of  crime;
d.   Criminal policy is a rational total of responses to crime.

            Dalam penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan yang integral, dalam arti:
a. Ada keterpaduan (integralitas)  antara politik kriminal dan politik sosial;
b. Ada keterpaduan (integralitas) antar penangulangan kejahatan dengan "penal" dan "non-penal".
            Penanggulangan kejahatan dengan sarana "penal" tentu saja dilakukan melalui serangkaian kebijakan hukum pidana (penal policy). Dengan demikian usaha dan kebijakan untuk membuat hukum pidana yang baik dan berdayaguna atau politik hukum pidana (penal policy) merupakan bagian dari politik criminal (criminal policy) sebagaimana telah diuraikan panjang lebar di atas.

Penegakan Hukum Berperspektif  Nilai-nilai Pancasila
            Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum mengatur suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum) yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Jadi tidak bisa dipisahkan begitu saja antara penegakan hukum dan pembuatan hukum.
            Upaya penegakan hukum memberikan arti adanya upaya untuk menjaga agar keberadaan hukum yang diakui di dalam suatu masyarakat dapat tetap ditegakkan. Upaya tersebut pada dasarnya harus menjamin agar setiap warga negara mematuhi hukum yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan. Ini, menurut Rudi Hartono, sejalan dengan asas restitution in integurm, bahwa keseimbangan dalam masyarakat yang telah terganggu (karena tidak dilaksanakan atau dilanggarnya suatu aturan hukum) harus dipulihkan ke keadaan semula, untuk tujuan menciptakan suasana yang teratur, tertib, damai, dan aman, yang merupakan jaminan bagi kelangsungan hidup manusia. Hukum mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan bersama, maka tata hukum bertitik tolak pada penghormatan dan perlindungan manusia. Oleh karena itu agar kepentingan manusia (justiabelen) terlindungi, sesuai dengan adagium "fiat justitia et pereat mundus", hukum harus ditegakan walaupun langit runtuh, baik dalam keadaan normal atau damai, atau pada saat  terjadi pelanggaran hukum.
            Akan tetapi harus diingat, bahwa dalam penegakan hukum, haruslah disesuaikan dengan cita hukum bangsa yang bersangkutan (Proklamasi, Pancasila, dan UUD 1945). Artinya, penegakan hukum tersebut haruslah disesuaikan dengan falsafah, pandangan hidup, kaidah, dan prinsip yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan, sehingga akan sesuai dengan kesadaran hukum yang mereka miliki. Untuk itu penegakan hukum haruslah disesuaikan dengan nilai-nilai yang dan dijunjung tinggi oleh masyarakat, yang bagi masyarakat Indonesia nilai-nilai tersebut, antara lain nilai ketuhanan, keadilan, kebersamaan, kedamaian, ketertiban, kemodernan musyawarah, perlindungan hak-hak asasi, dan sebagainya. Tentunya sebagai negara yang menganut system hukum Eropa Kontinental, sedapat mungkin nilai-nilai tersebut dinyatakan dalam bentuk undang-undang, termasuk dalam hal nilai dan kaidah penegakan hukumnya. Jadi nilai-nilai luhur dari Pancasila seperti keadilan, kemanusiaan dan hak asasi manusia (martabat manusia), kepastian hukum, kemanfaatan, dan persatuan  bangsa, harus diinternalisasikan dalam dinamika praktik penegakan hukum.
            Penegakan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakatnya. Oleh karena itu dalam membicarakan masalah ini sebaiknya tidak mengabaikan pembicaraan mengenai stuktur masyarakat yang ada di belakangnya. Penegakan hukum dalam suatu masyarakat mempunyai kecenderungan-kecenderungannya sendiri yang disebabkan oleh struktur masyarakatnya.
            Struktur masyarakat ini memberikan pengaruh, baik berupa penyediaan sarana sosial yang memungkinkan penegakan hukum itu dijalankan, maupun memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan ia tidak dapat dijalankan atau kurang dapat dijalankan secara optimal.
            Jadi masalah pokok dalam penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1)  Faktor hukumnya sendiri; 2)  Faktor penegak hukum; 3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4) Faktor masyarakat; dan 5) Faktor kebudayaan. Semoga dengan kita mendorong implementasi dan internalisasi nilai-nilai luhur Pancasila ini dalam setiap kesempatan akan terwujud kebijakan hukum yang benar-benar sesuai dengan Pancasila.
 
Faktor-faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan.  Dalam kebijakan publik paling tidak terdapat sebanyak enam faktor strategis yang biasanya mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut meliputi:
1. Faktor politik. Faktor ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan suatu kebijakan publik, karena dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai aktor kebijakan (policy actors), baik aktor-aktor dari pemerintah maupun dari kalangan bukan pemerintah (pengusaha, LSM, asosiasi profesi, media massa, dan lain-lain)
2. Faktor ekonomi/finansial. Faktor mi pun perlu dipertimbangkan terutama apabila kebijakan tersebut akan menggunakan atau menyerap dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam suatu daerah.
3. Faktor administratif/organisatoris. Dalam perumusan kebijakan perlu pula dipertimbangkan faktor administratif atau organisatoris yaitu apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung oleh kemampuan administratif yang memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu.
4. Faktor teknologi. Dalam perumusan kebijakan publik perlu mempertimbangkan teknologi yaitu apakah teknologi yang ada dapat mendukung apabila kebijakan tersebut diimplementasikan.
5. Faktor sosial, budaya, dan agama. Faktor ini pun perlu dipertimbangkan, misalnya apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan benturan sosial, budaya, dan agama atau yang sering disebut masalah Sara.
6. Faktor pertahanan dan keamanan. Faktor pertahanan dan keamanan ini pun akan berpengaruh dalam perumusan kebijakan, misalnya apakah kebijakan yang akan dikeluarkan tidak mengganggu stabilitas keamanan suatu daerah.

Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA
     Istilah penegakan hukum dalam Bahasa Indonesia membawa kita kepada pemikiran bahwa penegakan hukum selalu dengan paksaan sehingga ada yang berpendapat bahwa penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Penegakan hukum memiliki arti yang sangat luas meliputi segi preventif dan represif, cocok dengan kondisi Indonesia yang unsur pemerintahnya turut aktif dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
            Penegakan hukum lingkungan merupakan penegakan hukum yang cukup rumit karena hukum lingkungan menempati titik silang antara antara berbagai bidang hukum klasik. Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam siklus pengaturan perencanaan kebijakan tentang lingkungan yang urutannya sebagai berikut:
1.      Perundang-undangan,
2.      Penentuan standar,
3.      Pemberian izin,
4.      Penerapan,
5.      Penegakan hukum.
            Menurut Mertokusumo, kalau dalam penegakan hukum, yang diperhatikan hanya kepastian hukum, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan. Oleh karena itu dalam penegakan hukum lingkungan ketiga unsur tersebut yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan harus dikompromikan. Artinya ketiganya harus mendapat perhatian secara proposional seimbang dalam penanganannya, meskipun di dalam praktek tidak selalu mudah melakukannya.
            Berbeda halnya dengan M. Daud Silalahi yang menyebutkan bahwa penegakan hukum lingkungan mencakup penaatan dan penindakan yang meliputi hukum administrasi negara, bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana.
            Undang-Undang No.23 Tahun 1997 menyediakan tiga macam penegakan hukum lingkungan yaitu penegakan hukum administrasi, perdata dan pidana. Diantara ke tiga bentuk penegakan hukum yang tersedia, penegakan hukum administrasi dianggap sebagai upaya penegakan hukum terpenting. Hal ini karena penegakan hukum administrasi lebih ditunjukan kepada upaya mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan. Di samping itu, penegakan hukum administrasi juga bertujuan untuk menghukum pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan.

Penegakan Hukum Lingkungan Administrasi
               Penegakan hukum lingkungan administrasi pada dasarnya berkaitan dengan pengertian dari penegakan hukum lingkungan itu sendiri serta hukum administrasi karena penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum yaitu administrasi, perdata dan pidana. Dengan demikian penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan sarana administratif, keperdataan dan kepidanaan.
               Penggunaan hukum administrasi dalam penegakan hukum lingkungan mempunyai dua fungsi yaitu bersifat preventif dan represif. Bersifat preventif yaitu berkaitan dengan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang terhadap pelaku kegiatan, dan dapat juga berupa pemberian penerangan dan nasihat. Sedangkan sifat represif berupa sanksi yang diberikan oleh pejabat yang berwenang terhadap pelaku atau penanggung jawab kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran.
               Penegakan hukum administrasi memberikan sarana bagi warga negara untuk menyalurkan haknya dalam mengajukan gugatan terhadap badan pemerintahan. Gugatan hukum administrasi dapat terjadi karena kesalahan atau kekeliruan dalam proses penerbitan sebuah Keputusan Tata Usaha Negara yang berdampak penting terhadap lingkungan.
               Penegakan hukum administrasi yang bersifat preventif berawal dari proses pemberian izin terhadap pelaku kegiatan sampai kewenangan dalam melakukan pengawasan yang diatur dalam Pasal 18, 22, 23, dan 24 U.U.P.L.H. Sedangkan yang bersifat represif berhubungan dengan sanksi administrasi yang harus diberikan terhadap pencemar yang diatur dalam Pasal 25 sampai Pasal 27 U.U.P.L.H No.23 Tahun 1997.
               Pelanggaran tertentu terhadap lingkungan hidup dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan atau kegiatan. Bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda, mulai dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan pelanggaran yang menimbulkan korban. Pelanggaran tertentu merupakan pelanggaran oleh usaha dan atau kegiatan yang dianggap berbobot untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya telah ada warga masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk kepentingan efektifitas hukum lingkungan itu agar dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat. Sanksi itu pula sebagai sarana atau instrumen untuk melakukan penegakan hukum agar tujuan hukum itu sesuai dengan kenyataan.
               Siti Sundari Rangkuti menyebutkan bahwa penegakan hukum secara preventif berarti pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan, kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Instrumen penting dalam penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin dan sebagainya). Dengan  demikian izin penegak hukum yang utama di sini adalah pejabat atau aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan.
               Dalam rangka efektifitas tugas negara, Pasal 25 U.U.P.L.H No.23 Tahun 1997 memungkinkan Gubernur untuk mengeluarkan paksaan pemerintah untuk mencegah dan mengakhiri pelanggaran, untuk menanggulangi akibat dan untuk melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan pemulihan. Disamping paksaan pemerintah, upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui audit lingkungan. Audit lingkungan merupakan suatu instrumen penting bagi penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk meningkatkan efisiensi kegiatan dan kinerjanya dalam menaati persyaratan lingkungan hidup yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Audit lingkungan hidup dibuat secara sukarela untuk memverifikasi ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku, serta dengan kebijaksanaan dan standar yang diterapkan secara internal oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
               Penegakan hukum administrasi yang bersifat represif merupakan tindakan pemerintah dalam pemberian sanksi administrasi terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup. Sanksi administrasi berupa:
(1)  pemberian teguran keras
(2)  pembayaran uang paksaan
(3)  penangguhan berlakunya izin.
(4) pencabutan izin
               Mas Achmad Santosa menyebutkan bahwa penegakan hukum lingkungan di bidang administrasi memiliki beberapa manfaat strategis dibandingkan dengan perangkat penegakan hukum lainnya oleh karena:
Penegakan hukum lingkungan dapat dioptimal sebagai perangkat pencegahan.
Penegakan hukum lingkungan administrasi lebih efisien dari sudut pembiayaan bila dibandingkan dengan penegakan hukum perdata dan pidana. Pembiayaan untuk penegakan hukum administrasi hanya meliputi pembiayaan pengawasan lapangan dan pengujian laboratorium.
Penegakan hukum lingkungan administrasi lebih memiliki kemampuan mengundang partisipasi masyarakat dimulai dari proses perizinan, pemantauan, penaatan/ pengawasan dan partisipasi masyarakat dal;am mengajukan keberatan untuk meminta pejabat tata usaha negara dalam memberlakukan sangsi administrasi.
            Perangkat penegakan hukum administrasi sebagai sebuah sistem hukum dan pemerintahan paling tidak harus meliputi, yang merupakan prasyarat awal dari efektifitas penegakan hukum lingkungan administrasi yaitu :
1. Izin, yang didayagunakan sebagai perangkat pengawasan dan pengendalian;
2. Persyaratan dalam izin dengan merujuk pada AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan), standar baku mutu lingkungan, peraturan perundang undangan;
3. Mekanisme pengawasan penaatan;
4. Keberadaan pejabat pengawas yang memadai secara kualitas dan kuantitas;
5. Sanksi administrasi.
            Selanjutnya Mas Achmad Santosa mengemukakan sepuluh mekanisme penegakan hukum lingkungan administrasi yaitu:
1. Permohonan izin harus disertai informasi lingkungan sebagai alat pengambilan keputusan-studi AMDAL: RKL, dan RPL, atau UKL dan UPL dan informasi-informasi lingkungan lainnya.
2. Konsultasi publik dalam rangka mengundang berbagai masukan dari masyarakat sebelum izin diterbitkan.
3. Keberadaan mekanisme pengolahan masukan publik untuk mencegah konsultasi publik yang bersifat basa basi.
4. Atas dasar informasi-informasi yang disampaikan dan masukan publik, pengambilan keputusan berdasarkan kelayakan lingkungan di samping kelayakan dari sudut teknis dan ekonomis dilakukan.
5. Apabila izin telah dikeluarkan, maka izin tersebut harus diumumkan dan bersifat terbuka untuk umum.
6. Laporan penaatan yang dibuat secara berkala oleh pemegang izin dan disampaikan kepada regulator.
7. Inspeksi lapangan dibuat secara berkala dan impromtu sesuai dengan kebutuhan.
8. Tersedianya hak dan kewajiban pengawas dan hak serta kewajiban objek yang diawasi yang dijamin oleh undang-undang.
9. Pemberlakuan sanksi administrasi yang diberlakukan secara sistematis dan bertahap.
10. Mekanisme koordinasi antara pejabat yang bertanggung jawab di bidang penegakan hukum administrasi dengan penyidik pidana apabila pelanggaran telah memenuhi unsur-unsur pidana.










DAFTAR PUSTAKA
Edorita, Widia, Peranan Amdal dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara Asia Tenggara, 2007.
Edorita, Widia, Peranan Amdal dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara Asia Tenggara, 2007.
Hamzah, Andi, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)
Silalahi, M. Daud, Hukum Lingkungan Dalam Sistem penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. (Alumni Bandung, 2001)

Penyelesaian Berkas di Tingkat Kasasi

PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui bahwa pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding adalah judex factie, artinya sama-sama memeriksa perkara baik dari segi fakta maupun dari segi hukumnya secara keseluruhan.
Judex factie ini berakhir di tingkat banding, tapi rasanya kurang adil kalau para pencari keadilan kepada judex factie itu tidak diberi kesempatan untuk dapat menggunakan upaya hukum jika menurut mereka bahwa judex factie itu telah keliru menerapkan hukum atau telah melanggar hukum yang berlaku atau keliru tentang kewenangannya atau lalai memenuhi syarat – syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan kebatalan putusan.







PROSES PENYELESAIAN BERKAS DI TINGKAT KASASI/MA
1. Pengertian dan Dasar hukum Kasasi
Pemeriksaan tingkat kasasi adalah pemeriksaan tentang penerapan hukum dari suatu putusan hakim. Pemeriksaan hanya sebatas pada apa yang dimintakan kasasi. Kasasi adalah suatu upaya hukum biasa yang kedua, yang diajukan oleh pihak yang merasa tidak puas atas penetapan dan putusan dibawah mahkamah agung mengenai:
a. Kewenangan Pengadilan
b. Kesalahan penerapan hukum yang dilakukan pengadilan bawahan tingkat I atau II dalam memeriksa dan memutus perkara
c. Kesalahan atau kelalaian dalam cara – cara mengadili menurut syarat – syarat yang ditentukan peraturan perundang – undangan
Atas alasan - alasan inilah upaya hukum kasasi dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung RI. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa Mahkamah Agung RI dalam memeriksa perkara kasasi bukan Peradilan Tingkat Tertinggi, sebab yang dikasasi itu adalah putusan tingkat tertinggi yang dalam hal ini adalah Pengadilan Tinggi Agama. Mahkamah Agung RI dalam memeriksa dan memutus perkara kasasi hanya meliputi bagian hukumnya saja, tidak mengenai peristiwa dan atau fakta dalam perkara yang dimohonkan kasasi itu, sebab hal ini sudah diperiksa oleh Hakim Pengadilan Agama dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama.
Ketentuan tentang upaya hukum kasasi diatur dalam Pasal 10 ayat (3)  dan Pasal 20 Undang - undang Nomor 14 Tahun 1985.

2. Prosedur penerimaan perkara kasasi
Permohonan kasasi dapat di ajukan dalam waktu 14 hari setelah putusan di ucapkan.
Pernyataan kasasi dapat diterima apabila panjer biaya perkara kasasi yang di taksir dalam SKUM oleh meja pertama telah dibayar lunas.
Apabila biaya kasasi telah dibayar lunas, maka pengadilan wajib membuat akta pernyataan kasasi dan mencatat permohonan kasasi tersebut dalam register induk perkara perdata dan register kasasi perkara perdata.
Akta pernyaan permohonan kasasi dalam waktu 14 hari sesudah pernyataan kasasi harus sudah diterima pada kepaniteraan pengadilan agama.
Tanggal penerimaan memori tersebut, harus dicatat dalam suatu surat keterangan panitera yang ditanda tangani oleh panitera.
Jawaban kontra memori kasasi, selambat-lambatnya 14 hari sesudah disampaikannya memori kasasi, harus sudah diterima pada kepaniteraan pengadilan agama untuk disampaikan kepada pihak lawannya.
Dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diajukan, berkas kasasi berupa bundel A dan B harus sudah dikirim ke mahkamah agung RI.
Biaya pemeriksaan perkara kasasi di kirim melalui Bank BRI cabang veteran raya No. 8 Jak-pus, Rekening No.011238-001-5 bersamaan dengan berkas yang bersangkutan. Biayannya tersebut adalah sebesar RP. 100.000. (Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/054/SK/X/1997)
Dalam menaksir biaya kasasi supaya diperhitungkan dengan besarnya biaya kasasi sebagaimana yang di tentukan oleh Mahkamah Agung RI tersebut di atas, ditambah dengan biaya pemberitahuaan, berupa pemberitahuan pernyataan kasasi, memori kasasi, kontra memori kasasi dan biaya pencatatan permohonan kasasi, serta biaya pemberitahuan bunyi putusan kasasi.
Foto copy relaas pemberitahuan putusan mahkamah agung RI supaya dikirim ke Mahkamah Agung RI.

3. Administrasi Perkara Kasasi
Bundel berkas perkara kasasi terdiri dari bundel A dan B. Sebagaimana dalam administrasi perkara banding, bundel A merupakan himpunan surat-surat yang diawali dengan surtat gugat dan semua kegiatan atau proses penyidangan/pemeriksaan perkara tersebut yang selalu di simpan di pengadilan agama. Adapun bundel B untuk permohonan perkara kasasi selalu ditinggal menjadi arsip mahkamah agung RI yang terdiri dari:
Relaas - relaas pemberitahuan isi putusan banding kepada kedua belah pihak yang berperkara.
Akta permohonan kasasi.
Surat kuasa khusus dari pemohon kasasi.
Memori kasasi (bila ada) atau surat keterangan apabila permohonan kasasi tidak di terima memori kasasi.
Tanda terima memori kasasi.
Relaas pemberitahuan memori kasasi kepada pihak lawan.
Relaas pemberitahuan kontra memori kasasi kepada pihak lawan.
Kontra memori kasasi (bila ada).
Relaas memberikan kesempatan pihak-pihak untuk melihat, membaca, dan memeriksa berkas perkara/permohonan.
Salinan putusan pengadilan agama.
Salinan putusan pengadilan tinggi agama.
Tanda bukti setoran biaya kasasi yang sah dari bank .
Surat-surat lain yang sekiranya ada. 
4. Pemeriksaan dalam tingkat kasasi
Sebagaimana pemeriksaan dalam tingkat pertama dan banding, pemeriksaan dalam tingkat kasasi juga harus dilaksanakan dengan sekurang-kurangnya 3 orang hakim, seorang hakim bertindak sebagai hakim ketua dan lainnya sebagai hakim anggota, serta di bantu oleh seorang panitera atau panitera pengganti.
Pemeriksaan kasasi yang dilaksanakan oleh majlis sebagaimana tersebut diatas hanya memeriksa tentang hukumnya saja, tidak lagi memeriksa peristiwa dan pembuktian. Sehubungan dengan hal ini kedudukan risalah kasasi dan kontra risalah kasasi menjadi sangat penting bagi mahkamah agung RI dalam melakukan apakah hukum sudah di terapkan dengan benar atau tidak oleh hakim judex factie. Jika risalah kasasi tidak dibuat oleh pemohon kasasi maka kasasi dianggap tidak ada, sebab tidak mempunyai alasan hukum.
Ketentuan pemohon kasasi yang tidak di barengi dengan risalah kasasi dapat dilihat dalam penjelasan pasal 47 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1985 yang mengemukakan bahwa risalah kasasi merupakan hal yang wajib di penuhi oleh pemohon kasasi. Jika pemeriksaan dalam tingkat kasasi telah selesai dilaksanakan, maka putusan kasasi dapat berupa sebagai berikut:
a) Permohonan kasasi tidak dapat diterima.
Alasan permohonan kasasi tidak dapat diterima apabila jangka waktu permohonan kasasi yang di tetapkan oleh UU telah lewat, atau memori kasasi tidak di ajukan oleh para pihak pemohon kasasi, atau apabila permohonan kasasi diajukan oleh orang yang tidak berwenang.
b) Permohonan kasasi ditolak.
Ditolaknya permohonan kasasi karena keberatan-keberatan yang diajukan sekarang oleh pemohon kasasi terhadap putusan Hakim tingkat pertama dan banding semata-mata mengenai kejadian/peristiwa yang tidak termasuk wewenang mahkamah agung RI. Kasasi bisa juga ditolak apabila alasan yang diajukan kasasi yang termuat dalam risalah kasasi bertentangan dengan hukum, sedangkan judex factie sudah benar menerapkan hukumnya atau juga segala hal yang dimuat dalam risalah kasasi tidak mendukung putusan yang telah diambil oleh judex factie.
c) Permohonan kasasi dikabulkan.
Apabila permohonan kasasi beralasan dan alasan-alasan yang dimuat dalam risalah kasasi dibenarkan oleh Mahkamah Agung RI, maka permohonan kasasi dapat diterima atau dikabulkan sekiranya Mahkamah Agung RI menerima atau mengabulkan permohonan kasasi, maka putusan Hakim judex factie yang dimohonkan kasasi dibatalkan. Hal ini berarti apa yang telah diputus oleh Hakim judex factie mengenai hukum adalah tidak benar atau tidak tepat, atau ada kesalahan, dan kekeliruan dalam penerapannya atau mungkin tidak diterapkan sama sekali.

Rabu, 20 Juni 2012

UNDANG-UNDANG No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Wakaf (berkaitan dengan Politik Hukum Islam)

Pengertian Wakaf
Perkataan wakaf yang menjadi Bahasa Indonesia, berasal dari Bahasa Arab dalam bentuk mashdar atau kata jadian dari kata kerja atau fi’il waqafa. Kata kerja atau fi’il waqafa ini adakalanya memerlukan objek (muta’addi) dan adakalanya memerlukan objek (lazim). Dalam perpustakaan sering ditemui synonim waqf ialah habs waqafa dan habasa dalam bentuk kata kerja yang bermakna menghentikan dan menahan atau berhenti di tempat.[1] Sedangkan menurut Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan baahwa: “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.”
Ibadah wakaf yang tergolong pada perbuatan sunnat ini banyak sekali hikmahnya yang terkandung di dalamnya, antara lain:
Pertama, harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin kelangsungannya. Tidak perlu khawatir barangnya hilang atau berpindah tangan, karena secara prinsip barang wakaf tidak boleh ditassarufkan, apakah itu dalam bentuk menjual, dihibahkan atau diwariskan.
Kedua, pahala dan keuntungan bagi si wakif akan tetap mengalir walaupun suatu ketika ia telah meninggal dunia, selagi benda wakaf itu masih ada dan dapat dimanfaatkan.
Ketiga, wakaf merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting manfaatnya bagi kehidupan agama dan umat. Anatara lain untuk pembinaan mental spiritual, dan pembangunan physik.
Oleh karena besarnya hikmah dan manfaat terhadap kehidupan umat, maka perlu dibentuk dan dirancang aturan yang mengikat mengenai wakaf ini.
Dasar Pemikiran Lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Munculnya gagasan wakaf tunai memang mengejutkan banyak kalangan, khususnya para ahli dan praktisi ekonomi Islam. Karena wakaf tunai berlawanan dengan persepsi umat Islam yang terbentuk bertahun-tahun lamanya, bahwa wakaf itu berbentuk benda-benda tak bergerak. Wakaf tunai bukan merupakan aset tetap yang berbentuk benda tak bergerak seperti tanah, melainkan aset lancar. Diakomodirnya wakaf tunai dalam konsep wakaf sebagai hasil interpretasi radikal yang mengubah definisi atau pengertian mengenai wakaf. Tafsiran baru ini dimungkinkan karena berkembangnya teori-teori ekonomi.[2]
Benda Bergerak yang dapat diwakafkan yaitu:
  1. Uang
  2. Logam Mulia
  3. Surat Berharga
  4. Kendaraan
  5. Hak atas Kekayaan Intelektual 
  6. Hak Sewa
  7. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
(Pasal 16 ayat 3, UU No. 41 tahun 2004)
Istilah wakaf uang belum dikenal di zaman Rasulullah. Wakaf uang (cash waqf ) baru dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Imam az Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Di Turki, pada abad ke 15 H praktek wakaf uang telah menjadi istilah yang familiar di tengah masyarakat. Wakaf uang biasanya merujuk pada cash deposits di lembaga-lembaga keuangan seperti bank, dimana wakaf uang tersebut biasanya diinvestasikan pada profitable business activities. Keuntungan dari hasil investasi tersebut digunakan kepada segala sesuatu yang bermanfaat secara sosial keagamaan.
Pada abad ke 20 mulailah muncul berbagai ide untuk mengimplementasikan berbagai ide-ide besar Islam dalam bidang ekonomi, berbagai lembaga keuangan lahir seperti bank, asuransi, pasar modal, institusi zakat, institusi wakaf, lembaga tabungan haji dll. Lembaga-lembaga keuangan Islam sudah menjadi istilah yang familiar baik di dunia Islam maupun non Islam.
Dalam tahapan inilah lahir ide-ide ulama dan praktisi untuk menjadikan wakaf uang salah satu basis dalam membangun perkonomian umat. Dari berbagai seminar, yang dilakukan oleh masyarakat Islam, maka ide-ide wakaf uang ini semakin menggelinding. Negara- negara Islam di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara sendiri memulainya dengan berbagai cara.
Di Indonesia, sebelum lahirnya UU No. 41 tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang Wakaf Uang, (11/5/2002).[3]
  1. Wakaf Uang (Cash Wakaf/Wagf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
  2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
  3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh)
  4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar'i.
  5. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Ada empat manfaat utama dari wakaf tunai. Pertama, wakaf tunai jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memilki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu. Kedua, melalui wakaf tunai, aset-aset wakaf yang merupakan tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flaow-nya terkadang kembang kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya. Keempat, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas.
Karena itu hadirnya Undang-Undang tentang wakaf mendapat sambutan yang hangat, tidak hanya oleh mereka yang terkait langsung dengan pengelolaan wakaf, tetapi juga kalangan lain termasuk DPR. Hal ini nampak pada saat RUU tentang wakaf ini dibahas di DPR khususnya komisi IV. Hal ini terungkap dalam raker DPR dengan pemerintah pada tanggal 6 September 2004 yang lalu. Secara kuantitas, jumlah tanah wakaf di Indonesia cukup banyak, tetapi sampai saat ini keberadaan wakaf belum berdampak positif bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi umat.[4] Padahal di negara lain seperti: Mesir, Saudi arabia, Yordania, Turki, dan Bangladesh wakaf merupan salah satu lembaga asosial ekonomi Islam yang dapat membantu berbagai kegiatan umat, dan berbagai negara yang wakafnya yang sudah berkembang baik pada umumnya di atur dalam Undang-Undang.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41tahun 2004 tentang wakaf yang telah disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 7 Oktober 2004, sudah diatur berbagai hal penting dalam pengembangan wakaf.
Jika dibandingkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan tentang wakaf yang sudah ada selama ini, dalam Undang-Undang tentang wakaf ini terdapat beberapa hal baru dan penting. Beberapa diantaranya adalah masalah nadzir, harta benda yang diwakafkan (mauquf bih), dan peruntukan harta wakaf (mauquf alaih), serta perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Berkenaan dengan masalah nadzir, dalam undang-undang ini yang dikelola tidak hanya benda yang tidak bergerak yang selama ini sudah lazim dilaksanakan di Indonesia, tetapi juga benda bergerak seperti: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang perwakafan tahun 2004 ini muncul dengan beberapa pertimbangan, diantaranya:
a.       Bahwa wakaf sebagai lembaga keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum;
b.      Bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan;










Undang-Undang Republik Indonesia no. 41 tahun 2004 ini terdiri:
BAB I KETENTUAN UMUM
Terdiri dari 1 pasal, yaitu pasal 1
BAB II DASAR-DASAR WAKAF
Terdiri dari 30 pasal, yaitu pasal 2 sampai pasal 31
BAB III PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN HARTA WAKAF
Terdiri dari 8 pasal, yaitu pasal 32 sampai pasal 39
BAB IV PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF
Terdiri dari 2 pasal, yaitu pasal 40 dan pasal 41
BAB V PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN HARTA BENDA WAKAF
Terdiri dari 5 pasal, yaitu pasal 42 sampai pasal 46
BAB VI BADAN WAKAF INDONESIA
Terdiri dari 15 pasal, yaitu pasal 47 sampai pasal 61
BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA
Terdiri dari 1 pasal, yaitu pasal 62
BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Terdiri dari 4 pasal, yaitu pasal 63 sampai pasal 66
BAB IX KETENTUAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Terdiri dari 2 pasal, yaitu pasal 67 dan pasal 68
BAB X KETENTUAN PERALIHAN
Terdiri dari 2 pasal, yaitu pasal 69 dan pasal 70
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Terdiri dari 1 pasal, yaitu pasal 71




[1] Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Tangerang : Ciputat Press, 2005), hal.6
[2] Sumuran Harahap dkk, Proses Lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006), hal.2
[3] http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=61&Itemid=57&lang=in  diakses tgl.10 mei 2012 pukul 12.41
[4] Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Tangerang : Ciputat Press, 2005), hal.118

Filosofi Hukum Islam tentang Waris, Wasiat, Wakaf dan Hibah

Definisi Waris          
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Mawaris adalah jama’ dari mirats. Maka dimaksud dengan Mirats, demikian pula irts, wirts, wiratsah dan turats,yang dimaknakan dengan mauruts ialah: “harta peninggalan orang yang telah meninggal yang diwarisi oleh para warisnya.”[1]
Dasar Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam pada dasrnya bersumber pada al-Qur’an sebagai firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan Hadis Rasul. Baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadis, dasar hukum keawarisan itu ada yang secara tegas mengatur, dan ada yang tersirat, bahkan kadang-kadang ada yang berisi pokok-pokoknya saja, yang paling banyak ditemui dasar hukum kewarisan adalah Surat an-Nisa ayat 11, 12 dan 176, di samping surah-surah lain sebagai pembantu.
Rukun warisan
Rukun Kewarisan ada tiga, yaitu[2]:
  1. Al-Muwaris, ialah orang yang meninggal dunia
  2. Ahli waris, ialah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mati.
  3. Mauruts, adalah harta peninggalan si mati setelah dipotong biaya pengurusan mayit, melunasi hutangnya, dan melaksanakan wasiatnya yang tidak lebih dari sepertiga.



Sebab-sebab Mewariskan (ashabul mirots), yaitu:
  • Kekeluargaan (qorobah), adalah pertalian hubungan darah yang menjadi dasar utama pewarisan. "Bagi lelaki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua ibu-bapak, dan kaum kerabat. Dan bagi wanita juga ada hak bagian dari harta peninggalan kedua ibu-bapak, dan kaum kerabat, baik sedikit atau banyak sesuai ketentuan yang telah ditetapkan." (QS. 4/An Nisa': 7) "Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)." (QS. 8/A1 Anfal: 75). Pertalian darah ini dibagi menjadi, ke atas atas yang disebut ushul, ialah ibu-bapak, kakek-nenek dan seterusnya. Ke bawah, disebut furu', ialah anak-cucu keturunan si mati. Dan ahli waris menyamping, disebut hawasyi, ialah saudara, paman, bibi, keponakan dari si mati.
Ditinjau dari segi pembagiannya, ahli waris akibat pertalian darah ini dibagi menjadi tiga (3).
  1. Ashhabul Furudinnasabiyyah, ialah golongan ahli­-ahli waris yang mendapat bagian tertentu. Misal: 1/2, 1/3 dan lain-lainnya.
  2. 'Ashabah Nasabiyyah, ialah golongan ahli waris yang tidak mendapat bagian tertentu. Mereka mendapat sisa dari golongan pertama. Jika tidak ada golongan pertama, golongan kedua ini berhak atas seluruh harta warisan.
  3. Dzawil Arham, ialah kerabat yang agak jauh dengan si mati.
  • Semenda (mushoharoh), karena perkawinan yang syah. Sehingga suami istri berhak untuk saling mewarisi, apabila salah satu di antara mereka meninggal dunia sewaktu perkawinannya masih utuh. Ketentuannya, sebagai berikut:
  1. Apabila istri yang meninggal dan tidak memiliki anak, suami mewarisi separuh dari harta pening­galan istrinya. Jika punya anak memperoleh seperempatnya. "Dan bagimu seperdua dari pening­galan istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) memiliki anak, maka bagimu seperempat dari harta peninggalannya sesudah dipenuhi segala wasiat yang mereka buat dan/atau sudah dibayar hutang-hutangnya." (QS. 4/An Nisa': 12).
  2. Apabila suami yang meninggal dan tidak memiliki anak, istri mewarisi seperempat dari peninggalan suaminya. Jika punya anak memperoleh seper­delapannya. "Dan bagi mereka (istri-istrimu) seperempat dari harta peninggalanmu jika kamu tidak mempunyai anak. Apabila kamu mempumyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta peninggalanmu sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat, dan sesudah dibayar hutang-hutangmu.” (QS. 4/An Nisa’:12)
  3. Wala' adalah persaudaraan menurut hukum yang timbul karena membebaskan budak. Sabda Muhammad Rosulullah saw. “Hubungan orang yang memerdekakan budak dengan budak yang bersangkutan seperti hubungan turunan dengan turunan, tidak dijual dan tidak diberikan." (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim). "Hak Wala' itu hanya bagi orang yang telah membebasaskan budak. Wala' itu adalah suatu kerabat sebagai kerabat nasab yang tidak boleh dijual atau dihibahkan." (HR. Hakim). Dengan demikian orang yang memiliki hak wala’ berhak mewarisi harta peninggalan budaknya. Ditegaskan oleh Rosulullah saw. "Sesungguhnya hak itu (mewarisi) untuk orang yang memerdekakan.” (Sepakat", ahli hadis). Mereka itu disebut ahli waris golongan' Ushubah sababiyyah.
  4. Hubungan agama. Apabila orang Islam yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk kepentingan umat islam. Sabada Muhammad Rosulullah saw. “Saya menjadi waris orang yang tidak mempunyai waris.”(HR. Ahmad dan Abu Dawud). Atau sebagiannya diwasiatkan kepada orang sesama muslim. "Dan orang-orang yang memiliki htibungan darah, sebagian mereka dengan sebagian yang lain lebih berhak (untk, mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudara kamu. Demikian tui adalah tertulis di dalam Kitab Allah. " (QS. 33/Al Ahzab: Ayat ini menerangkan bahwa meskipun hak waris tidak berlaku terhadap orang yang tidak berhubungan darah, namun dianjurkan sekadar pemberian antara lain melalui wasiat yang tidak lebih dari sepertiga.
Tentu saja, Nabi Muhammad Rosulullah saw menerima harta pusaka tersebut bukan untuk kepentingan pribadi/ keluarganya, melainkan untuk kepentingan umat islam.

Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Hukum Kewarisan Islam mempunyai corak tersendiri, itu merupakan bagian dari agama Islam dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah seorang muslim. Asas Hukum Kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari Al-Qur’an dan Sunnah, adalah:



Asas ijbari.
Dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Unsur “memaksa” (ijbari) ini terlihat, terutama dari kewajiban ahli waris untuk menerima perpindahan harta peninggalan pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang ditentukan oleh Allah di luar kehendaknya sendiri. Oleh karena itu, calon pewaris yaitu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan. (Daud Ali, 1998, hal. 281-282).

Asas bilateral.
Dalam Hukum Kewarisan Islam berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak; dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat An-Nisa’ ayat 7, 11, 12, dan 176.

Asas individual.
Maksudnya bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut bagian msing-masing. Dalam hal ini, setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain, karena bagian masing-masing sudah ditentukan.
Asas individual ini diperoleh dari kajian Al-Qur’an mengenai pembagian warisan. Misal surat An-Nisa’ ayat 7, dalam garis hukum-garis hukum di dalamnya menjelaskan hak lak-laki untuk menerima warisan dari orang tua atau keluarga dekatnya. Demikian juga halnya perempuan berhak menerima harta warisan orang tua atau kerabatnya baik sedikit maupun banyak. Bagian mereka (masing-masing) sudah ditentukan
.
Asas keadilan berimbang.
Perkataan adil terdapat banyak dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, kedudukannya sangat penting dalam sistem hukum Islam, termasuk hukum kewarisan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam sistem ajaran Islam, keadilan itu adalah titik tolak, proses dan tujuan segala tindakan manusia. ( Daud Ali, 1998 , h. 286-287). Dengan demikian, asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia. Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut Hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta warisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. Oleh karena itu Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan saja, yaitu kewarisan sebagai akibat dari kematian seseorang. ( Daud Ali, 1998, Hal 288)

Filosofi waris dalam Hukum Islam
Seperti telah disebutkan diawal bahwa ketentuan Kewarisan telah diatur sedemikian rupa dalam Al-Qur’an. Dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya, ayat-ayat hukum inilah yang paling tegas dan rinci isi kandungannya. Ini tentu ada hikmah yang ingin di capai oleh Al-Qur’an tentang ketegasan hukum dalam hal Kewarisan.
Berikut ini ada beberapa hikmah adanya pembagian waris menurut hukum islam[3]:
1.      Pembagian waris dimaksudkan untuk memelihara harta (Hifdzul Maal). Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan Syari’ah (Maqasidus Syari’ah) itu sendiri yaitu memelihara harta.
2.      Mengentaskan kemiskinan dalam kehidupan berkeluarga.
3.      Menjalin tali silaturahmi antar anggota keluarga dan memeliharanya agar tetap utuh.
4.      Merupakan suatu bentuk pengalihan amanah atau tanggung jawab dari seseorang kepada orang lain, karena hakekatnya harta adalah amanah Alloh SWT yang harus dipelihara dan tentunya harus dipertanggungjawabkan kelak.
5.      Adanya asas keadilan antara laki-laki dan perempuan sehingga akan tercipta kesejahteraan sosial dalam menghindari adanya kesenjangan maupun kecemburuan sosial.
6.      Melalui sistem waris dalam lingkup keluarga.
7.      Selain itu harta warisan itu bisa juga menjadi fasilitator untuk seseoranng membersihkan dirinya maupun hartanya dari terpuruknya harta tersebut.
8.      Mewujudkan kemashlahatan umat islam.
9.      Dilihat dari berbagai sudut, warisan atau pusaka adalah kebenaran, keadilan, dan kemashlahatan bagi umat manusia.
10.  Ketentuan hukum waris menjamin perlindungan bagi keluarga dan tidak merintangi kemerdekaan serta kemajuan generasi ke generasi dalam bermasyrakat.

Filosofi Asas Pembagian 2:1
Asas pembagian 2:1 ini masih dianut hampir di jajaran kalangan umat islam. Maksud dari asa 2:1 adalah kaum laki-laki mendapatkan sedangkan kaum perempuan mendapatkan 1 bagian atau dengan kata lain, separuh dari bagian kaum laki-laki. Asas waris 2:1 ini dinilai oleh sebagian kalangan, khususnya dikalangan Feminis gender. Menurut mereka asas tersebut merupakan asas yang cenderung diskriminatif kepada perempuan karena mengesampingkan asas keadilan semata.
Dalam gagasan rektualisasi ajaran islam, Munawir Sadjali mengatakan bahwa: “ketentuan pembagian waris 2:1 ini telah banyak ditinggalkan oleh masyarakat islam di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menyimpangan terhadap Faraidh itu tidak selalu disebabkan oleh tipisnya keislaman, melainkan juga dapat disebabkan oleh pertimbangan budaya dan struktural sosial, dan budaya kita adalah sedemikian rupa sehingga pelaksanaan Faraidh secara utuh kurang dapat diterima oleh rasa keadilan.[4]
Berawal dari sinilah muncul sebuah gagasan mengenai Reaktualisasi terhadap pembambagian waris 2:1 yang jelas jelas menjadi asas hukum kewarisan islam. Oleh karena itu, tidaklah heran bila kemudian sebagian orang menilai bahwa asas 2:1 ini cenderung tidak adil, Diskriminatif. Namun, ada juga sebagian orang yang malah merasa ada unsur-unsur keadilan dalam asas pembagian mengenai 2:1 ini. Oleh sebab itu, sebelum melangkah lebih jauh mengenai pembahasan adil atau tidak adilnya asas 2:1 ini. Alangkah baiknya bila kita menilik kembali prinsip keadilan yang dikemukakan oleh filosof terkenal berkebangsaan Yunani, Aristoteles. Menurutnya ada dua macam prinsip keadilan, keadilan distributif maupun kumulatif secara definitif, keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapatkan bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan namun kesetaraan. Sedangkan keadilan kumulatif adalah keadilan yang memberikan pada tiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangannya.
Oleh karena itu, bila kita mengukur dari ukuran keadilan yang ditawarkan sang filosofis, maka hukum waris islam dinilai telah memenuhi rasa keadilan baik keadilan distributif maupun keadilan kumulatif. Segi keadilan Distributifnya terletak pada asas 2:1 itu, maksudnya kaum laki-laki mendapatkan 2 bagian yang berarti lebih besar darikaum perempuan yang hanya mendapatkan separuh dari bagian kaum laki-laki. Sedangkan keadilan kumulatifnya terletak pada asas pembagian yang tidak diskriminatif. Maksudnya selain kaum laki-laki, kaum perempuan, bahkan anak-anak pun bisa mendapatkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum waris.
Filosofi mengenai besarnya bagian laki-laki ini bisa jadi disebabkan karena laki-laki mengemban tanggung jawab yang lebih besar dalam keluarga, bila ia ingin menikah pun, laki-laki harus membayar mahar dalam perkawinan. Sedangkan kaum perempuan secara umum tidak dibebani kewajiban untuk membiayai kehidupan rumah tangganya apalagi membayar maskawin.[5]
Wasiat
Dalam definisi wasiat secara lughawi, wasiat berasal dari bahasa arab yang berarti "pesan". Makna wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia. Secara umum pemberian wasiat dikaitkan dengan kondisi seseorang (yang memberi wasiat) dalam keadaan sakit menjelang kematian.  Sementara wasiat meliputi atas sesuatu pekerjaan, jasa, maupun harta peninggalan. Dengan demikian, lingkup wasiat dalam pembahasan fiqih meliputi pesan atas sesuatu harta dari seseorang menjelang kematian.
Pelaksanaan wasiat dianggap benar secara ilmu fiqih jika memenuhi rukun wasiat, yaitu :
- al-mushi (orang yang mewasiatkan)
- al-musha lahu (orang yang menerima wasiat)
- al-musha bihi (sesuatu yang diwasiatkan)
- shighat (ijab dan qabul).

Pengertian dan filsafat wasiat wajibah
Wasiat wajibah sebagai suatu pembebenan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia, tetapi tidak melakukan wasiat secara sukarela, agar diambil hak atau benda peninggalannnya untuk di berikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.
            Wasiat wajibah ditetapkan untuk memberikan hak atau bagian harta kepada orang-orang yang secara kekerabatan mempunyai hubungan darah, akan tetapi kedudukannya termasuk klasifikasi dzawil al-arqom atau ghairul warits. Misalnya,cucu laki-laki garis perempuan atau cucu perempuan garis perempuan. Dalam kitab undang-undang hukum wasiat mesir No.7 TH1946,  sebagaimana dikutip Fathurrohman, menetapkan wajibnya pelaksanaan wasiat wajibah tanpa tergantung persetujuan ahli waris, kendatipun si mayit tidak mewasiatkannnya. Bahkan pelaksanaannya harus didahulukan sebelum wasiat-wasiat yang lain di tunaikan. Sudah barang tentu di laksanakan setelah kebutuhan perawatan jenazah di penuhi dan pelunasan hutang si mayit di bayar.
            Dalam posisi sebagai dzawil al arham yang memiliki kekerabatan,dapat dirasakan ketidak adilan, jika umpamanya sisa harta Yang masih ada setelah di ambil as habul  di serahkan ke baitul mal yang pada akhirnya bermanfaat juga pada kepentingan kaum muslimin. Atau boleh jadi disebabkan karena orang tua ahli waris dzawil arqam tersebut meninggal dunia terlebih dahulu dari pada muwarris. Sebab sekiranya, orang tuanya tidak lebih dahulu meninggal dunia, maka mereka juga padasaatnya akan menerima bagian melalui orang tuanya. Firman Allah SWT:

...4 (#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÏ. «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7LìÎ=tæ ÇÐÎÈ  
“...orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Pemberian wasiat wajibah  ini dapat di pandang lebih memberikan manfaat kepada mereka. Manfaat ini bisa dilihat sebagai upaya untuk menghindari terjadinya perpecahan di dalam keutuhan si mayit. Karena menurut AL-Ghazali, menghindari kemudharatan adalah bagian dari upaya mewujudkan kemaslahatan.[6]

Wakaf
Definisi Wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan), dan al-man’u (mencegah). Sedangkan menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan wakaf sebagaimana yang di definisikan oleh para ulama adalah menahan suatu benda yang kekal zatnya dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan.[7]

Dasar hukum wakaf
Adapun yang dinyatakan sebagai dasar hukum wakaf oleh para ulama, al-Qur’an surat al-Hajj : 77
(#qè=yèøù$#ur uŽöyø9$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ) ÇÐÐÈ  
“....perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”

Dalam ayat lain yaitu surat al-Imran : 92
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ ÇÒËÈ  
92. kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Tinjauan Filosofi Wakaf Dalam Islam
Pada zaman Nabi tidak timbul perbedaan pendapat tentang wakaf, karena masih berkonsultasi langsung dengan nabi. Tapi setelah nabi wafat timbul banyak perbedaan di kalangan imam madzhab, tetapi imam madzahab sependapat, bahwa perbuatan mewakafkan benda, yaitu menyedekahkan manfaat harta yang di wakafkan itu merupakan amal sholeh yang intitusinya terdapat dalam dalam syari’at islam. Adapun pendapat-pendapat tentang masalah wakaf, yaitu:

1)      Interpretasi wakaf menurut madzhab Hanafi
Abu Hanifah sependapat dengan Syuraih Ismail ibn Isa al-kindi dan Jufar, bahwa apabila orang telah mewalafkan hartanya, yaitu menyedekahkan manfaat hartanya, maka institusi wakaff tidak ada kecuali 3 hal, (a). Wakaf masjid (b). Wakaf yang telah diputus pengadilan (c). Wakaf wasiat
Abu Hanifah berpendapata bahwa harta yang telah di wakafkan boleh ditarik oleh wakif nya dan harta itu tetap menjadi miliknya[8]. Alasannya ialah mewakafkan harta itu sama dengan institusi pinjam meminjam (ar-Riyah). Hanya saja perbedaan antara wakaf dengan ar-riyah, kalau wakaf bendanya ada pada wakif sedangkan pinjam meminjam bendanya ada pada orang yang meminjam atau orang yang mengambil manfaatnya.
2)      Interpretasi wakaf menurut madzhab Maliki
Berbeda dengan madzhab Hanafi, Imam Malik berpendapat bahwa apabila seseorang mewakafkan hartanya, maka perbuatan itu mempunyai ketentuan hukum bahwa wakaf itu terjadi dan ada institusi hukumnya dalam islam. Menurut imam malik, wakaf itu tetap menjadi milik orang yang telah mewakafkannya, artinya harta itu tidak keluar dari hak milik si wakif. Akan tetapi si wakif dilarang untuk mentransaksikan harta yang diwakafkannya dengan menjual, mewariskan, dan menghibahkannya selama harta itu di wakafkan. Alasan Imam tentang kepasttian adanya institusi wakaf dan bahwa harta yang di wakafkan itu tetap menjadi si wakif adalah pengertian dari hadis Umar yang menunjukan bahwa harta yang diwakafkan itu keluar dari milik si wakif. Sesuatu pemilikan terhadap benda tidak dapat di hukumi hilangnya pemilikan itu tanpa dalil.
3)      Pendapat Abu Yusuf dan Muhammad dari Madzhab Hanafi
Menurut mereka harta yang telah di wakafkan tidak lagi menjadi milik si wakif dan tidak pula menjadi milik orang lain, melainkan milik Allah. Dengan demikian wakif tidak lagi memiliki wewenang untuk mentransaksikannya sebab sudah bukan miliknya lagi.
4)      Interpretasi wakaf menurut Madzhab Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa kepastian adanya wakaf ditunjukan oleh adanya shigat (pernyataan) dari wakif dan terpenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat wakaf. Menurut Imam Syafi’i harta yang sudah diwakafkan bukan lagi menjadi milik orang yang mewakafkannya, melainkan berpindah menjadi milik Allah. Alasannya hadis yang diriwayatkan dari Umar ibn Khatab tentang tanahnya di haibar. Yaitu sabda nabi: “kalau kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu dan kamu sedekahkan hasilnya kemudian Umar melakukan shodaqoh, tidak di jual dan tidak di hibahkan pula diwariskan.
5)      Interpretasi wakaf menurut Madzhab Ahmad ibn Hanbal
Menurut Ahmad ibn Hanbal wakaf terjadi karena 2 hal, yang pertama: dengan perbuatan, yang menunjukan bahwa menurut kebiasaan (‘Urf) bahwa seseorang telah mewakafkan hartanya. Kedua dengan perkataan baik dengan perkataan yang jelas maupun dengan perkataan yang tidak jelas. Namun, menurut Imam ibn Hanbal, mewakafkan dengan kata-kata kinayah harus diisertai dengan niat mewakafkan. Apabila seseorang telah jelas mewakafkan maka si wakif tidak boleh mempunyai kekuasaan bertindak atas harta yang telah diwakafkannya.

Hibah
Definisi Hibah
Berkenaan dengan definisi hibah (هِبَةٌ), As Sayid Sabiq berkata di dalam kitabnya[9]: “(Definisi) hibah menurut istilah syar’i ialah, sebuah akad yang tujuannya penyerahan seseorang atas hak miliknya kepada orang lain semasa hidupnya[10] tanpa imbalan apapun[11]”. Beliau berkata pula: “Dan hibah bisa juga diartikan pemberian atau sumbangan sebagai bentuk penghormatan untuk orang lain, baik berupa harta atau lainnya”. Sayyid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Hibah juga dapat diartikan dengan pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang atau untuk kepentingan sesuatu badan sosial, keagamaan, ilmiah juga kepada seseorang yang berhak menjadi ahli warisnya[12]. Sedangkan Sulaiman Rasyid mendefinisikan bahwa hibah adalah memberuikan zat dengan tidak ada tukarnya dan tidak ada karenanya. Dalam rumusan kompilasi, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia). Dalam istilah hukum perjanjian yang seperti ini dinamakan juga dengan perjanjian sepihak (perjanjian unilateral) sebagai lawan dari perjanjian bertimbal balik (perjanjian bilateral).

Sumber  Hukum
Sumber hukum hukum menurut al-Imam ahmad bin ruslan asy-Syafi’i dalam kitabnya Mawahibus Shamad adalah dalam firman Alloh surat an-Nisa ayat 4:
(...4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ  
“....kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Juga dalam hadis Nabi SAW yang artinya:
“Dari Nu’man bin Basyir r.a beliau berkata: seseungguhnya ayahnya membawa dia menghadap Rasulullah, seraya beliau berkata: sesungguhnya saya memberikan anakku yang ini seorang budak yang menjadi milik saya. Lalu Rasulullah bertanya, apakah semua anakmu kamu berikan seorang budak seperti ini? Beliau menjawab, tidak! Lalu Rasulullah bersabda, ambillah dia kembali.”
Hadis tersebut sebagai dalil kewajiban berlaku adil antara anak-anak dalam pemberian. Al-bukhari sudah menjelaskan dan beberapa ulama lain, sesungguhnya hibah itu batal tanpa persamaan diantara anak-anak itu.
Filosofi hibah
Perintah Allah dan Rasulullah pasti mempuyai pemanfaatan trhadap umat yang melaksanakannya, tak terkecuali dengan perintah hibah. Maka bagi seorang yang melaksanakan hibah tersebut pastilah mendapatkan hakikat manusia yang selalu hidup Dengan sesamanya, salah satunya adalah[13] :
1.      Dengan hibah maka manusia akan saling mencintai dan mempunyai ikatan yang kuat diantara sesamanya, seperti yang telah diterangkan dalam hadits nabi :
Artinya : “ Dari Abu Hurairah R.A. dari Nabi Saw, beliau bersabda : saling berhadiahlah kaliian niscaya kamu akan saling mencintai”. ( H.R. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad dan diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad yang bagus ).
2.      Dengan Hibah juga dapat menghilangkan kedengkian. Seperti yang telah diterangkan dalam hadits Nabi :
Artinya : Dari Anas R.A : Rasulullah Saw bersabda : “saling memberi hadiahlah kamu sekalian karena sesungguhnya hadiah itu menghilangkan kedengkian”. ( H.R Al-Bazzar dengan sanad yang lemah ).
 Nisbah (hubungan) antara Hibah, Wasiat dan Waris
 Hubungan hibah dengan waris menurut Kompilasi Hukum Islam
Di dalam Kompilasi Hukum Islam, disebutkan hubungan hibah dengan waris terdapat dalam Pasal 211, yaitu :“Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.”[14][4]  Dalam hal ini, bisa dianalisis lebih lanjut, maka Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam memuat aspek urf, karena setelah melihat nas, baik itu Al-Qur’an maupun Hadist, tidak menjumpai nas yang menunjukkan tentang diperhitungkannya hibah orang tua kepada anak sebagai warisan.
Dengan demikian, bahwa ketentuan Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam tentang hibah orang tua kepada anaknya, dapat diperhitungkan sebagai warisan. Hibah tersebut merupakan adat kebiasaan yang telah mengakar dan telah diterima oleh masyarakat Indonesia., adat istiadat semacam ini menurut kaidah-kaidah Hukum Islam disebut urf. Yang dimaksud dengan urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, yang telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu. Urf disebut juga dengan adat (kebiasaan).
Urf dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :
·         Urf Sahih adalah suatu yang telah dikenal manusia yang tidak bertentangan dengan dalil syara, tidak menghalalkan yang haram dan tidak menghalalkan yang wajib. Urf Sahih ini harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan di dalam Pengadilan. Bagi seorang mujtahid, harus memeliharanya dalam waktu membentuk hukum, seorang hakim yang harus memeliharanya ketika mengadili, karena apa yang telah dibiasakan dan dijalankan oleh masyarakat adalah kebutuhan dan menjadi maslahat yang diperlukannya, selama kebiasaan tersebut tidak berlawanan dengan syari’at haruslah dipelihara.
·         Urf Fasih adalah sesuatu yang dikenal manusia tetapi bertentangan dengan syara atau yang menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib. Urf  ini tidak harus dipelihara, karena dengan memeliharanya, berarti bertentangan dengan dalil syara atau membatalkan Hukum Syara.
Fakta, bahwa hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan, telah menjadi tradisi atau urf dikalangan masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat Jawa yang bersifat parental, telah berlaku suatu tradisi  penghibahan terhadap anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Di waktu anak menjadi dewasa dan pergi meninggalkan rumah orang tuanya untuk mulai hidup berumah tangga dan membentuk keluarga yang berdiri sendiri, maka sering kali anak-anak itu sudah dibekali sebidang tanah pertanian, beserta sebidang tanah pekarangan serta beberapa ekor ternak. Harta ini merupakan dasar materil bagi keluarga baru itu, penghibahan sebagian dari harta keluarga kepada anak. Kemudian, setelah orang tua menghibahkan ini meninggal, dilakukan  pembagian harta peninggalan kepada ahli warisnya, maka hibah tersebut akan diperhatikan serta diperhitungkan dengan bagian yang semestinya diterima oleh anak-anak yang bersangkutan, bila mereka itu belum menerima bagian dari harta keluarga secara hibah. Apabila, seseorang  anak mendapatkan sesuatu pemberian semasa hidup  bapaknya, demikian banyaknya sehingga boleh dianggap ia telah mendapatkan  bagian penuh dari harta peninggalan bapaknya, maka anak ini tidak lagi berhak  atas harta yang lain yang dibagi-bagi setelah bapaknya meninggal dunia. Akan tetapi, setelah melihat banyaknya harta peninggalan, ternyata yang telah diterima anak tersebut masih belum cukup, maka ia akan mendapat tambahan pada saat harta peninggalan bapaknya dibagi-bagi, sehingga bagiannya sama dengan saudara-saudaranya yang lain.
Tradisi yang sama juga dilaksanakan oleh masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan matrilineal, seperti masyarakat Minangkabau dan oleh  masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal, seperti masyarakat Batak. Tujuan dari kebiasaan ini adalah untuk menghindari perselisihan di antara anak-anak pada saat pembagian harta warisan setelah orang tuanya meninggal dunia.
Ø   Secara karakteristik hibah dapat diperhitungkan sebagai warisan
Penghibah yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya dalam keadaan tertentu dapat diperhitungkan sebagai warisan. Hanya dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam tidak memberi patokan secara jelas kapan suatu hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan, secara karakteristik dapat dikemukakan di sini beberapa patokan antara lain :
·         Harta yang diwariskan sangat kecil, sehingga hibah yang diterima oleh salah seorang anak, tidak diperhitungkan sebagi warisan dan ahli waris yang lain tidak memperoleh pembagian waris yang berarti.
·         Penerima hibah hartawan dan yang berkecukupan, sedangkan ahli waris yang  lain tidak berkecukupan, sehingga penghibah itu memperkaya yang sudah kaya dan memelaratkan yang sudah melarat.
Oleh karena itu pantas dan layak untuk memperhitungkan sebagai warisan. Menurut Pasal 1086 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, seluruh penghibahan, oleh orang yang meninggalkan harta warisan pada waktu ia masih hidup. Menurut Pasal 1096 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
ü  Hal sesuatu yang dimanfaatkan untuk memberi suatu kedudukan dalam  masyarakat atau suatu jabatan atau pekerjaan terhadap ahli waris.
ü  Hal sesuatu yang dimaksudkan untuk membayar hutang dari ahliwaris.
ü  Hal sesuatu yang diberikan kepada si ahli waris pada waktu ia menikah selaku bekal untuk hidup setelah pernikahan itu.
Sebaliknya oleh Pasal 1097 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikatakan apa yang tidak perlu diperhitungkan adalah :
ü  Biaya untuk nafkah dan pendidikan si ahli waris.
ü  Biaya untuk belajar guna perdagangan, kesenian, kerja tangan atau perusahaan.
ü  Biaya untuk pengajaran.
ü  Biaya pada saat nikah dan untuk pakaian yang perlu untuk hidup setelah nikah.
ü  Biaya untuk membayar orang yang menggantikan si ahli waris sebagai pewajib dalampertahanan negara.

Menurut Pasal 1098 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dari benda-benda yang mesti diperhitungkan itu juga harus diperhitungkan juga hasil-hasil yang dipetik dari benda-benda itu, mulai dari meninggalnya orang yang meninggalkan harta warisan. Oleh Pasal 1099 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menegaskan pula, bahwa kalau ada benda-benda yang musnah, bukan dari kesalahan si ahli waris, maka harga nilai dari benda-benda itu, tidak perlu diperhitungkan. Sedangkan menurut Pasal 1089 dan Pasal 1090 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa yang harus diperhitungkan itu, tidak perlu memperhitungkan penghibahan itu. Juga bilamana, seorang cucu langsung menjadi ahli waris, maka ia tidak perlu memperhitungkan benda-benda yang oleh orang yang meninggalkan harta warisan dihibahkan kepada bapaknya si cucu itu, apabila cucu itu menjadi ahli waris sebagai pengganti dari orang tua yang meninggal lebih dahulu dari pada  orang yang meninggalkan harta warisan (plaatsvervulling), maka ia harus memperhitungkan penghibahan kepada orang tua itu, dan juga kalau ia menolak harta warisan.  Bilamana penghibahan dilaksanakan oleh bapaknya atau ibunya sendiri, maka penghibah itu harus diperhitungkan. Kalau penghibahan itu dilaksanakan oleh mertuanya, maka barang itu tidak perlu diperhitungkan.

Hubungan Hibah dan Wasiat
Hibah dan wasiat adalah perbuatan hukum yang mempunyai arti dan peristiwa yang berbeda dan sekilas tampaknya begitu sepele apabila dilihat dari perbuatan hukum dan peristiwanya sendiri. Meskipun tampaknya sepele tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum yang sepele tadi, padahal khasanah materi hukum Islam dibidang hibah dan wasiat ini bukan hukum ciptaan manusia, tetapi hukumnya ditetapkan Allah SWT dan RasulNya(Al-Baqarah ayat 177 dan ayat 182).Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi HukumIslam (KHI)[15][5] kata wasiat disebut lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih dan KUH Perdata hukum hibah lebih dahulu dibahas, baru kemudian wasiat. Tidak prinsip memang antara yang lebih dahulu disebut atau dibahas antara hukum hibah dan hukum wakaf, namun sistematika pembahasan terhadapmateri tersebut dalam  hukum hibah dan hukum wakaf dimulai membahas hibah, perbuatan hukum yang berlakunya setelah kematian pemberi wasiat
Ketentuan hibah disebutkan surat Al-Baqoroh ayat 177 dan surat Al-Maidah ayat 2, sedangkan hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk tujuan yang baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Faktor yang paling dalam disyariatkan hibah dan wasiat ini adalah faktor kemanusiaan, keikhlasan dan ketulusan dari penghibah yang berwasiat. Kalapun akan di bedakannya hanya waktu pelaknasaannya, yaitu hibah dilaksanakan semasa penghibah masih hidup, sedang wasiat dilaksanakan setelah pewasiat wafat. Dikatakan hibah dan wasiat pada asanya adalah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT karena arti harfiah dari 2 (dua) kata ini mendekati arti yang sama. wasiat artinya menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan menyambung, memerintah, mewajibkan. Sedangkan hibah diartikan pemberian tanpa syarat tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Oleh karena itu oleh mazhab Maliki hibah sama dengan hadiah, hibah menurut mazhab Syafi’i adalah pemberian untuk menghormati atau memuliakan seseorang tanpa bermaksud mengharapkan pahala dari Allah SWT. Menurut mazhab Syafi’i hibah mengandung dua pengertian, yaitu pengertian umum dan khusus, pengertian umum mencakup hadiah dan sedekah dan pengertian khusus yang disebut hibah apabila pemberian tersebut tidak bermaksud menghormati atau memuliakan dan mengharapkan ridho Allah SWT. Jika pemberian(hadiah) tersebut bermaksud menghormati atau memuliakan yang diberi disebut hadiah, jika pemberian mengharapkan ridho Allah SWT atau menolong untuk menutupi kesusahannya disebut sedekah. Hibah dan wasiat dilihat dari Hikmatu Al-Tasyri (Filsafat Hukum Islam) adalah untuk memenuhi hasrat berbuat bagi umat islam yang beriman kepada Allah SWT (Al-Baqoroh ayat 177). Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih (Free Choise) dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya (Khiyar Fil-kasab). Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak akan menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak seorangpun dapat menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam hanya menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua pertiga) dari warisan ayah yang menjadi hak anak. Oleh karena itu pula wasiat selalu didahulukan dari pembagian waris, tingkat fasilitasnya sama dengan membayar zakat atau hutang (jika ada) berkenaan dengan perbuatan hukum dan peristiwa hukum elaksanaan hibah dan wasiat yang tampak sepele sehingga karena dianggap sepele cenderung dilakukan tanpa perlu dibuatkan akta sebagai alat bukti. Memang hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah hukum, karena hibah ansich adalah pemberian yang bersifat final yang tidak ada seorangpun yang ikut campur, namun apabila hibah dikaitkan dengan wasiat apabila wasiat behubungan dengan kewarisan, maka akan menimbulkan masalah hukum.Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara kewarisan. hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik, maka tidak diperlukan akta sebagai alat buktiatau nilai objek hibah dan wasiat tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak memiliki bukti (walaupun terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Dengan demikian sulit mendapatkan putusan yang bernilai yurisprudensi (stare decicis) tentang penemuan hukum oleh hakim dibidang wasiat dan hibah ini untuk dianalisis dan kajian ilmia serta diuji dari metode dan teori hukum Islam.
Hibah dan wasiat yang  diatur dalam KHI dimuat dalam Bab V (wasiat pasal 194-209) dan Bab VI (hibah pasal 210-214). Ketentuan wasiat yang diatur didalamnya menyangkut mereka yang berhak untuk berwasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidakboleh dalam wasiat. Sedangkan ketentuan hibah diatur secara singkat yang terdiri dari 4 pasal. Meskipun ketentuan wasiat dan hibah telah diatur dalam KHI yang notabene merupakan transformasi dari ketentua syari’ah dan fiqih, namun karena jarang terjadi sengketa yang sampai diselesaikan di Pengadilan Agama, maka dengan sendirinya belum ada permasalahan hukum yang timbul diluar yang ditentukan dalam KHI. lain halnya kalau dilihat dari pembahasan dalam kitab-kitab fiqih yang begitu detail dan antipatifnya pendapat Ulama Fiqih tentang kemungkinan-kemungkinan masalah yang timbul, sehingga lazim terjadi perbedaan pendapat diantara Ulama fiqih dalam mengkaji setiap permasalahan yang terjadi. Hibah yang diatur dalam pasal 210 KHI dan fiqih dibatasi sebanyak-banyaknya 1/3 harta benda dari harta benda yang merupakan hak penghibah, malah Ibu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim menganjurkan sebanyak-banyaknya 1/4 dari seluruh harta. yaitu pemberian benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Pengertian hibah dalam kajian fiqih adalah pemberian sesuatu untuk menjadi milik orang lain dengan maksud untuk berbuat baik yang dilaksanakan semasa hidupnya tanpa imbalan dan tanpa illat (karena sesuatu). Definisi yang diatur dalam KHI dan yang terdapat dalam kitab fiqih pada dasarnya tidak ada perbedaan, namun dalam kajian fiqih dijelaskan pengertian shadaqah dan illat untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT, sedangkan hadiah semata-mata untuk memuliakan orang yang diberi hadiah yang dampaknya akan melahirkan saling mengasihi(tahaaduu tahaabuu). dalam KHI disyaratkan penghibah sudah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa paksaan yang sama maknanya dengan kajian fiqih, bahwa anak kecil dan wali tidak sah menghibahkan, karena belum cukup umur (ahliyatul ada’al-kamilah) dan bagi wali karena benda yang dihibahkan bukan miliknya.Pelaksanaan hibahdisyaratkan ijab kabul, sedangkan dalam shadaqah dan hadiah tidak disyaratkan ijab kabul.

Hubungan wasiat dan waris
Dalam Al-Quran, ALLAH berfirman:
 .`ÏB Ï÷èt 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3
(pembagian itu) ialah sesudah diselesaikan wasiat oleh simati dan sesudah di bayarkan utangnya (Surah An-Nisa': 11)
Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan manusia,termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluraga yang ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan. Pembagian harta warisan didalam islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan yang terpenting pembagian harta warisan setelah di tunaikan dulu wasiat/hutang si mayat apabila ia berwasiat/berhutang piutang,
Wakaf adalah adalah salah satu khazanah yang tidak akan hilang hingga hari Kiamat, bahkan akan berkembang subur sekiranya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya[16]. Ia adalah suatu ibadat suci yang amat dituntut dalam Islam. Jumhur fuqaha berpendapat bahawa wakaf adalah diharuskan dalam konteks amalan kebaikan. Tujuan disyariatkan wakaf ialah untuk kebaikan Islam. Oleh itu, apa jua yang membawa kebaikan kepada manusia, sama ada orang Islam mahupun bukan Islam, bahkan untuk kebaikan haiwan dan alam sekitar juga termasuk di dalam kategori wakaf. Keperluan masyarakat yang akan menentukan ke arah mana harta wakaf itu disalurkan[17]
Mewakafkan harta yang disayangi dapat mengikis sifat perasaan kedekut dan bahkil terhadap harta. Secara tidak langsung ia mendidik jiwa seseorang itu menjadi pemurah, tidak mementingkan diri sendiri, menanam sifat bertimbang rasa, kasih mengasihi sesama insan lain, mempereratkan tali siraturrahim, menjauhkan diri daripada sifat tamak dan akhirnya untuk mencapai keredhaan Allah SWT.
Selain itu, wakaf juga mempunyai tujuan lain iaitu dapat memberi peluang kepada orang-orang yang tidak mempunyai anak atau zuriat untuk mempelbagaikan bentuk kebajikan dengan mewakafkan harta lebihan mereka dan barang kesayangannya demi membantu insan lain yang lebih memerlukan dan berhak ke atas harta tersebut. Ini bermakna hartanya itu akhirnya dapat dikongsi oleh masyarakat umum dan dapat dimanfaatkan secara berpanjangan. Lebih daripada itu, wakaf memainkan peranan yang penting dalam pembangunan ekonomi umat Islam yang dapat menjamin keselamatan sosial masyarakat. Harta diagih dan dimanfaat secara bersama. Secara tidak langsung ia dapat membantu kerajaan dan membangunkan negara. Dari aspek pendidikan pula, wakaf dapat membantu institusi pendidikan melalui sumbangan aset atau dalam bentuk wakaf tunai. Universiti al-Azhar adalah salah satu contoh pendidikan wakaf yang telah berjaya memberi sumbangan yang besar kepada umat Islam.
Sungguhpun al-Quran tidak menyebut secara jelas tentang perkataan wakaf, namun tuntutan agar umat Islam berlumba-lumba melaksanakan apa jua bentuk kebaikan yang mendatangkan manfaat memang diperuntukkan secara jelas di dalam al-Quran, sebagaimana firman Allah SWT :
artinya:“Tetapi Ia hendak menguji kamu (dalam menjalankan) apa yang telah disampaikan kepada kamu. Oleh itu berlumba-lumbalah membuat kebaikan (beriman dan beramal)salih”. (Al-Quran, Surah al-Maidah (6):48)
Maksud ayat “Fastabiqu al-Khayrat” di sini memberi makasud hendaklah bersegera dan berlumba-lumba dalam melakukan apa jua kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.  Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, ruku’lah serta sujudlah, (mengerjakan sembahyang) dan beribadatlah kepada tuhan kamu (dengan mentauhidkan kepadaNya) sertakan amal kebajikan, supaya kamu berjaya ( di dunia dan akhirat)”.  ( Al-Quran, Surah al-Haj (17): 77.)
                                   
Perkataan “Waf ‘alu al-Khayr” di dalam ayat ini bermaksud mengerjakan apa jua perbuatan yang baik, antaranya memperkukuhkan hubungan silaturrahim, berbudi pekerti yang baik, hormat menghormati dan kasih mengasihi sesama manusia. Segala kebaikan ini akan lahir melalui konsep pewakafan harta yang dapat dimanfaatkan oleh umat Islam seluruhnya. Kecintaan manusia kepada harta benda adalah naluri setiap manusia. Namun harta yang dianugerahkan itu adalah milik Allah yang bersifat sementara. Oleh itu, Allah SWT menyeru umat Islam agar membelanjakan harta mereka daripada apa yang disayangi dan dicintainya.  Firman Allah SWT:
artinya: “Kamu sekali-kali akan dapat mencapai (hakikat) kebajikan dan kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu dermakan sebahagian dari apa yang kamu sayangi. Dan sesuatu apa jua yang kamu dermakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”. (Al-Quran, Surah Ali -‘Imran (3): 92.)
Dalam ayat ini Allah SWT mengatakan al-Birr bermaksud al-Khayr iaitu kebaikan merangkumi setiap apa yang dibelanjakan oleh orang Islam daripada hartanya dengan mengharapkan keredhaan Allah. Sesungguhnya apabila seseorang yang membelanjakan apa yang disukainya demikian itu adalah sebaik-baik ketaatan. Maka seseorang itu tidak akan mendapat kelebihan al-Birr sehinggalah dia membelanjakan apa yang disayanginya. Sekiranya ayat ini dikhususkan selain kewajipan zakat adalah lebih baik kerana ia dikhususkan kepada membelanjakan harta yang disayangi, dan zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan dan tidak ada padanya i‘ta’ al-Hubb (pemberian harta yang disayangi). Ketika ayat ini diturunkan umat Islam amat memahami perintah Allah ini dan mereka begitu gemar untuk berbakti dengan menyerahkan segala apa yang disayangi dan mengorbankan harta benda dengan ikhlas kerana mengharapkan balasan pahala yang besar di sisi Allah.

Begitu juga dengan Firman Allah SWT yang  berbunyi:
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, belanjakankanlah (pada jalan Allah)sebahagian daripada hasil usaha kamu yang baik-baik dan sebahagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu”. (Al-Quran, Surah al-Baqarah (2): 267.)

Apa yang dimaksudkan dalam ayat ini, bukan hanya dikhususkan kepada pemberian zakat sahaja, malahan nafkah adalah meliputi segala sedekah sunat yang lain seperti hibah, derma, sokongan, bantuan dan seumpamanya. Pemberian ini hendaklah daripada sesuatu yang terbaik lagi disukai dan diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Selain itu hendaklah memberikan sesuatu dengan hati yang ikhlas supaya orang yang menerimanya akan senang hati dan menghargai keluhuran budi orang yang memberi.
Di dalam surah al-Baqarah ini juga sekali lagi Allah menegaskan tentang gesaan agar membelanjakan harta sebagai sedekah yang sunat. Firman Allah SWT:
artinya: “Iaitu orang-orang yang beriman kepada perkara-perkara yang ghaib, dan mendirikan (mengerjakan) sembahyang serta membelanjakan (mendermakan) sebahagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka”. (Al-Quran, Surah al-Baqarah (2): 3.)
Para sahabat mengatakan maksud “membelanjakan” dalam ayat ini termasuk membelanjakan sama ada dalam perkara sunat atau fardhu. Dalil daripada al-Sunnah pula terdapat riwayat daripada Ibn ‘Umar r.‘a bahawa beliau pernah memperoleh sebidang tanah di Khaibar. Maka ‘Umar datang berjumpa Rasulullah saw untuk bertanyakan pendapat Baginda  tentang tanah tersebut. ‘Umar berkata:
Ertinya:“Ya Rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah saya perolehi harta yang lebih baik daripadanya, maka apakah yang engkau suruh agar saya kerjakan?. Maka jawab Rasulullah saw: Jika engkau suka, tahanlah harta itu dan engkau sedekahkan manfaat atau nilainya. Dengan jawapan itu ‘Umar memilih jalan mewakafkan tanah tersebut dengan syarat harta itu tidak  boleh dijual, dibeli, dihadiah dan tidak boleh dipusakai. Maka ‘Umar mewakafkan kepada fakir miskin, kaum keluarganya yang terdekat, untuk menebuskan perhambaan, untuk jalan Allah, untuk tetamu dan orang musafir. Tidak berdosa bagi orang yang menguruskannya mengambilnya untuk makan secara makruf, atau memberi makan kepada sahabat handai dan orang-orang yang berada dalam kesusahan.. (Hadith Riwayat Muslim)
Berdasarkan kepada hadith ini, ‘Umar r.‘a adalah orang pertama yang melakukan wakaf.. Di dalam hadith ini menunjukkan kepada kita bahawa harta adalah sesuatu yang sangat diingini dan dicintai oleh manusia. Oleh itu ‘Umar ingin melawan sifat tamaknya terhadap harta dengan mencari jalan yang dapat menghampirkan dirinya kepada Allah. Cara yang terbaik ialah dengan mewakafkan harta tersebut. Maka dengan sendirinya wakaf itu menjadi ibadat yang amat berfaedah untuk tempoh yang berpanjangan, berbeza dengan kebiasaan sedekah yang lain. Di dalam hadith lain Rasulullah saw bersabda:

Daripada Ibn ‘Umar katanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya dalam seratus bahagian adalah termasuk bahagianku yang berada di Khaibar. Aku tidak pernah memperoleh harta yang lebih disukai olehku. Oleh itu aku ingin membelanjakannya. Maka Rasulullah saw bersabda: Kekalkanlah harta yang asal dan bahagikan manfaatnya.
Rasulullah saw bersabda lagi:
artinya: “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, sedekah jariah atau ilmu yang dimanfaatkan atau anak yang soleh yang mendoakannya kelak”.
Para ulamak telah mentafsirkan bahawa sedekah jariah yang dinyatakan oleh Rasulullah saw ialah wakaf. Rasulullah saw menyarankan kepada ‘Umar agar memberhentikan penggunaan harta itu (menahan asal harta itu) dan gunakan hasilnya untuk disedekahkan. Ini adalah satu teori ekonomi yang amat penting dan berguna kepada manusia kerana ia mengajar kita dua perkara tentang harta iaitu kemampuan harta bertambah melalui pelaburan dan memanfaatkan hasil daripada harta wakaf dan bukannya harta itu sendiri.




[1] Ash-shiddieqy, Hasbi, Fiqhul Mawaris : Hukum-hukum warisan dalam Syari’at Islam, Bulan Bintang (Jakarta : 1973), hal. 17.
[2]Aldizar, addys (Komite Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, Mesir), Hukum Waris, Senayan Abadi Publishing (Jakarta : 2004), hal. 27.
[3] Aripin, Jaenal, Filsafat Hukum Islam : Tasyri dan Syar’i, UIN Jakarta Press (Jakarta : 2006), hal.130.
[4] Munawwir Sadjali, Kontekstual Ajaran Islam, Paramaina (Jakarta : 1995), hal. 90.
[5] Aripin, Jaenal, Filsafat Hukum Islam : Tasyri dan Syar’i, UIN Jakarta Press (Jakarta : 2006), hal. 133.

[6] Ibid, 137.
[7] Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalat, PT Raja Grafindo Persada (Jakarta : 2010), hal.240.
[8] Aripin, Jaenal, Filsafat Hukum Islam : Tasyri dan Syar’i, UIN Jakarta Press (Jakarta : 2006), hal.130.

[9] Fiqh As Sunnah (3/388).
[10]Karena jika penyerahan kepemilikan itu terjadi setelah dia meninggal, maka hal itu disebut wasiat.
[11] Karena jika dengan imbalan, maka hal itu disebut jual beli.


[13] Aripin, Jaenal, Filsafat Hukum Islam : Tasyri dan Syar’i, UIN Jakarta Press (Jakarta : 2006), hal. 147.

[14] Menjadi solusi ketika tidak di mungkinkan membagi waris sesuai ajaran sariat islam dan ditakutkan terjadi permusuhan diantara keluarga tersebut
[15][5] Inpres presiden No.1 tahun 1991
[16]Hj. Yusop Hj. Yahya (1998), “Pengurusan Tanah Wakaf di Perak: Amalan dan Perancangan”, dalam Nik Mustapha Nik Hassan et. al. (ed), Konsep dan Pelaksanaan Wakaf di Malaysia, Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), hlm.65.

[17]Mohamad Akram Laldin, Mek Wok Mahmud, Mohd Fuad Sawari (2006), “Maqasid Syariah dalam Pelaksanaan Waqaf”, (Konvensyen Wakaf Kebangsaan 2006, Anjuran Jabatan Wakaf Zakat dan Haji, di Hotel Legend Kuala Lumpur, Pada 12-14 September 2006), hlm.7.