Powered By Blogger

^^WelcÔm3 tø Mý room^^

[all about something]

Jumat, 08 Juni 2012

Sejarah, Konsepsi Hukum Tanah Nasional (UUPA), dan Landreform Indonesia

Pendahuluan
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) menegaskan bahwa tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan permukaan bumi, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut perundang-undangan.
Tanah merupakan salah satu sumber daya alami penghasil barang dan jasa, merupakan kebutuhan yang hakiki dan berfungsi sangat esensial bagi kehidupan dan penghidupan manusia, bahkan menentukan peradaban suatu bangsa. Peradaban itu akan berlangsung kebesarannya selama bangsa itu menggunakan tanahnya secara bijaksana[1].
Subtansi yang akan dibahas di dalam makalah singkat ini terfokus kepada Sejarah Hukum Agraria, Konsepsi Konsepsi Hukum Tanah Nasional (UUPA), serta masalah seputar Landreform dan Land Use sebagai salah satu bagian integral dari sistem hukum Indonesia yang memainkan peranan penting dalam upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita dan tujuan negara.

 Sejarah Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria
Upaya Pemerintah Indonesia untuk membentuk Hukum Agraria Nasional yang akan menggantikan Hukum Agraria kolonial, yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sudah dimulai sejak tahun 1948 dengan membentuk kepanitian yang diberi tugas menyusun Undang-Undang Agraria[2]. Setelah mengalami beberapa penggantian kepanitian yang berlangsung selama 12 tahun sebagai suatu rangkaian proses yang cukup panjang, maka baru pada tanggal 24 September 1960 Pemerintah berhasil membentuk Hukum Agraria Nasional, yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Tahapan-tahapan dalam penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Panitia Agraria Yogya
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948  tanggal 21 mei 1948 berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo, kepala bagian Agraria Kementrian Dalam Negeri.
Panitia ini mengusulkan tentang asas-asas yang akan merupakan dasar-dasar Hukum Agraria yang baru, yaitu[3]:
a.      Meniadakan asas Domein dan pengakuan hak ulayat.
b.      Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan.
c.       Mengadakan penyelidikan lebih dahulu di negara-negara tetangga sebelum menentukan apakah orang-orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
d.      Mengadakan penetapan luas minimum tanah agar petani kecildapat hidup layak dan untuk Jawa diusulkan 2 hektar.
e.      Mengadakan penetapan luas maksimum pemilik tanah dengan tidak memandang macam tanahnya dan untuk Jawa diusulkan 10 hektar, sedangkan di luar Jawa masih diperlukan penyelidikan lebih lanjut.
f.        Menganjurkan penerima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan Panitia Agraria Yogya.
g.      Mengadakab pendaftaran tanah hak milik dan tanah-tanah menumpang yang penting.
2. Panitia Agraria Jakarta
Panitia Agraria Yogya dibubarkan dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1951 tanggal 19 Maret 1951, sekaligus dibentuk Panitia Agraria Jakarta Yang berkedudukan di Jakarta diketuai oleh Singgih Praptodihardjo, Wakil Kepala Bagian Agraria Kementrian Dalam Negeri.
Panitia ini mengemukakan usulan mengenai tanah untuk pertanian rakyat (kecil), yaitu[4]:
a.      Mengadakan batas minimum pemilik tanah, yaitu 2 hektar dengan mengadakan peninjauan lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya hukum adat dan hukum waris.
b.      Mengadakan ketentuan batas maksimum pemilikan tanah, yaitu 25 hektar untuk satu keluarga.
c.       Pertanian rakyat hanya dapat dimiliki olwh warga negara Indonesia dan tidak dibedakan antara warga negara asli dan bukan asli.. Badan hukum tidak dapat mengerjakan tanah rakyat.
d.      Bangunan hukum untuk perranian rakyat ialah hak milik, hak usaha, hak sewa, dan hak pakai.
e.      Pengaturan hak ulayat sesuai dengan pokok-pokok dasar negara dengan suatu undang-undang.

3. Panitia Soewahjo
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 1  Tahun 1956 tanggal 14 Januari 1956 dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria berkedudukan di Jakarta yang diketuai Soewahjo Soemodilogo, Sekretaris Jenderal Kementrian Agraria.
Pamitia ini menghasilkan naskah Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria pada tanggal 1 Januari 1957 yang berisi[5]:
a.      Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan pada kepentingan umum (negara).
b.      Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar ketentuan Pasal 38 ayat 3 UUDS 1950.
c.       Dualisme Hukum Agraria dihapuskan.
d.      Hak-hak atas tanah: hak milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi sosial kemudian ada hak usaha, hak bangunan dan hak pakai.
e.      Hak milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang warga negara Indonesia yang tidak diadakan perbedaan antara warga negara asli dan tidak asli.
f.        Perlu diadakan penetapan batas maksimun dan minimum luas tanah yang boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum.
g.      Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya.
h.      Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan pengguanaan tanah.

4. Rancangan Soenarjo
Setelah dilakukan beberapa perubahan mengenai sistematika dan perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan Panitia Soewahjo oleh Menteri Agraria Soenarjo diajukan kepada Dewan Menteri pada tanggal 14 maret 1958. Dewan Menteri dalam sidangnya tanggal 1 April 1958 dapat menyetujui rancangan Soenarjo dan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui amanat presiden Soekarno tanggal 24 April 1958.

Dalam pembahasan Rancangan Soenarjo, DPR mengharap perlu untuk mengumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap. Selanjutnya Panitia Permusyawaratan DPR membentuk sebuah Panitia Ad Hoc dengan tugas[6]:
a.      Membahas Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria secara tekhnik yuridis.
b.      Mempelajari bahan-bahan yang bersangkutan dengan Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut yang sudah ada dan mengumpulkan bahan-bahan yang baru.
c.       Menyampaikan laporan tentang pelaksanaan tugasnya serta usul-usul yang dipandang perlu mengenai Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria kepada Panitia Permusyawaratan DPR.
5. Rancangan Sadjarwo
Berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 kita kembali kepada UUD 1945. Berhubung Rancangan Soenarjo yang telah diajukan kepada DPR beberapa waktu yang lalu disusun berdasarkan UUDS 1950, maka dengan surat Presiden tanggal 23 Maret 1960 rancangan tersebut ditarik kembali dan disesuaikan dengan UUD 1945.
Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria
Tujuan diundangkannya UUPA sebagai tujuan Hukum Agraria Nasional dimuat dalam Penjelasan Umum UUPA, yaitu:
a.      Meletakan dasar-dasar penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka maayarakat yang adil dan makmur. Tujuan yang pertama diundangkan UUPA ini merupakan kebalikan dari ciri Hukum Agraria Kolonial, yaitu Hukum Agraria kolonial disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari Prmerintahan Jajahan (Hindia Belanda) yang ditujukan untuk kepentingan, keuntungan, kesejahteraan dan krmakmuran bagi Pemerintah Hindia Belanda, orang-orang Belanda, dab Eropa lainnya.
b.      Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
Dalam rangka mengadakan kesatuan hukum tersebut sudah semestinya sistem hukum yang akan diberlakukan harus sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Tujuan yang kedua diundangkan UUPA ini merupakan kebalikan dari ciri Hukum Agraria kolonial, yaitu ciri Hukum Agraria kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, artinya pada saat yang sama berlaku dua Hukum Agraria yang berbeda, disatu pihak berlaku Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata dan Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55, dan dipihak lain berlaku Hukum Agraria adat yang diatur dalam Hukum Adat daerah masing-masing.
c.       Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya
Tujuan yang ketiga dundangkan UUPA ini merupakan kebalikan dari ciri.Hukum Agraria kolinial, yaitu Hukum Agraria kolonial tidak memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak rakyat Indonesia atas tanah, dikarenakan pada waktu itu hanya hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum barat yang didaftar oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan memberikan jaminan kepastian hukum (Recht Cadaster), sedangkan bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat tidak dilakukan pendaftaran tanah. Kalau pun didaftar tujuannya bukan untuk diberikan jaminan kepastian hukum melainkan untuk menetapkan siapa yang berkewajiban membayar pajak atas tanah (Fiscaal Cadaster).

Hubungan Fungsional antara Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional
Kita ketahui, bahwa dalam Konsiderans dinyatakan oleh UUPA, bahwa "perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah." Juga, bahwa dalam pasal 5 ada pernyataan, bahwa "Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan angkasa ialah hukum adat."

Apakah  arti kata-kata "berdasarkan" dan "ialah" itu?
Maksudnya ialah bahwa dengan pernyataan tersebut, pembangunan Hukum Tanah Nasional harus dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma Hukum Adat dalam peraturan-peraturan perundang-undangan menjadi Hukum yang tertulis. Dan selama peraturan-peraturan tersebut belum ada, maka norma-norma Hukum Adat bersangkutan tetap berlaku penuh[7]. Namun kenyataannya adalah, bahwa peraturan-peraturan perundang-undangan yang diadakan sebagian justru mengadakan perubahan, bahkan penggantian norma-norma Hukum Adat yang berlaku sebelumnya. Misalnya peraturan mengenai jual beli tanah, yang semula cukup dilakukan di hadapan Kepala Desa, oleh PP 10/1961 diubah memjadi di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. (Pasal 19) Dalam menghadapi kenyataan tersebut, bahwa apa yang dinyatakan dalam UUPA tersebut hanyalah pernyataan "Kosong" belaka. Setidak-tidaknya Hukum Adat yang disebut dalam UUPA sebagai dasar Hukum Tanah Nasional itu bukan Hukum Adat yang sebenarnya. Dikatakan Hukum Adat yang "sudah hilang isinya" dan "tinggal bajunya saja".
Apa yang dicantumkan dalam UUPA mengenai Hukum Adat dalam hubungannya dengan Hukum Tanah Nasional, bukanlah sekedar pemanis atau pernyataan kosong, melainkan mesti kita terima dan tafsirkan sebagai kehendak yang sebenarnya dari pembentuk Undang-Undang yang melahirkan UUPA. Dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional Hukum Adat berfungsi sebagai sumber utama dalam memgambil bahan-bahan yang diperlukan. Sedang dalam hubungannya dengan Hukum Tanah Nasional positif, norma-norma Hukum Adat betfungsi sebagai hukum yang melengkapi[8].



Konsepsi Hukum Tanah Nasional Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Dalam konsiderans Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Hukum Tanah Nasional yang akan dibangun didasarkan pada hukum adat dalam penegertian hukum adat yang telah di "seneer", maka harus diartikan bahwa norma-norma hukum adat yang telah dibersihkan dari unsur-unsur pengaruh asing dan norma hukum adat itu dalam kenyataannya masih hidup dan mengikat masyarakat. Konsiderans tersebut tersebut menunjukan, bahwa hukum adat merupakan sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional[9]. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan konsiderans undang-undang:
"Komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan tanah sevcara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung kebersamaan." (Boedi-Harsono, 1999: 225)
Sifat komunalistik religius yang bersumber dari hukum adat sebagai salah satu ciri yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa[10]:
Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagaikarunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Konsepsi hukum tanah nasional dengan mengacu untuk mengembangkan pengertian yang bersumber dari hak ulayat sebagaimana dalam Pasal 1 Ayat (2), serta memerhatikan rumusan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengakui dan menempatkan hak bangsa sebagai  hak penguasaan ataa tanah yang tertinggi atas seluruh wilayah Indonesia sebagai kesatuan tanah air terhadap seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa hak-hak penguasaan atas tanahyang lain, termasuk hak ulayat dan hak-hak individual atas tanah sebagaimana dimaksudkan oleh penjelasan umum secara langsung atau pun tidak langsung semuanya bersumber pada hak bangsa.
Pengertian hak bangsa tersebut, meliputi semua tanah dalam rumusan Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), artinya dengan kata "seluruh" berarti seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di wilayah Republik Indonesia menunjukan bahwa tidak ada sejengkal tanah pun di negara Republik Indonesia yang merupakan tanah yang tak bertuan. (res nullius)
Hak bangsa tersebut bersifat abadi, yang berarti bahwa hubungan yang akan berlangsung tidak terputus-putus selama-lamanya[11]. Pernyataan tersebut sebagaimana di rumuskan dalam Pasal 1  Ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. Rumusan tersebut dipertegas dalam pernyataan penjelasan umum II disertai penjelasan sebagai berikut.
Hak bangsa yang meliputi semua tanah dalam wilayah negara Republik Indonesia, disamping mengandung unsur hukum publik juga mengandung unsur privat. Dalam pengertian unsur hukum publik bahwa sumber-sumber alam yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu unsur pendukung utama bagi kelangsungan hidup dan peningkatan kemakmuran bangsa sepanjang masa dan potensi sumber-sumber alam tersebut dianggap sebagai modal dasar pembangunan nasional.
Unsur privat mengandung makna bahwa tanah bersama "kekayaan nasional", menunjukan arti keperdataan yaitu hubungan "kepunyaan" antara bangsa Indonesia dan tanah bersama tersebut. Hubungan kepunyaan menurut artinya yang asli memberi wewenang untuk menguasai sesuatu sebagai "empunya" , artinya sebagai  tuannya bisa dalam hubungan kepemilikan. UUPA menganut konsepsi hak tanah yang bersumber dari hukum adat, yaiutu mempunyai dasar komunalistik dan mengandung corak privat serta diliputi suasana religius[12]. Hal ini sesuai dengan sifat manusia sebagai dwitunggal sebagai individu dan makhluk sosial.
Menguasai dan menggunakan tanah secara individual berarti bahwa tanah yang bersangkutan boleh dikuasai secara perorangan, dan tidak ada keharusan untuk menguasainya bersama-sama orang lain secara kolektif, namun dibalik ketentuan/peraturan menguasai dan menggunakan tanah secara kolektif bersama terbuka kemungkinan untuk diperbolehkan. Hal ini diatur dalam pasal 4 Ayat (1) yang menyatakan bahwa: "Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang bail sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum."
Dalam konsepsi hukun tanah nasional, disamping diakui hak perorangan atas tanah bersifat pribadi hak-hak individual juga diakui unsur kebersamaan atas hak-hak atas tanah[13]. Sifat pribadi hak-hak individual dimaksudkan menunjuk kepada kewenangan pemegang hak untuk menggunakan tanah yang bersangkutan bagi kepentingan dan dalam memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa:
Tiap-tiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya.
Hak-hak atas tanah yang langsung bersumber pada hak bangsa yang disebut hak-hak primer, meliputi: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai yang diberikan oleh negara sebagai petugas bangsa, sementara hak-hak yang bersumber tidak langsung dari hak bangsa adalah apa yang disebut dengan hak sekunder, meliputi: hak-hak yang diberikan oleh pemegang hak primer seperti hak sewa, bagi hasil, gadai, dan lain-lainnya.
LANDREFORM
Secara harfiah, perkataan landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu; Land artinya Tanah dan Reform artinya Perubahan, perombakan. Namun menurut Prof. Arie Sukanti Hutagalung, bila kita mencoba menerjemahkan definisi landreform secara harfiah, kita akan menghadapi suatu hal yang membingungkan, karena istilah Land itu sendiri mempunyai arti yang berbagai macam. Sedangkan istilah Reform berarti mengubah dan terutama mengubah kearah yang lebih baik. Jadi landreform berkaitan dengan perubahan struktur secara institusional yang mengatur hubungan manusia dengan tanah. Pada dasarnya landreform memerlukan program reditribusi tanah untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah dan pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah. Jadi, landreform lebih merupakan sebuah alat perubahan sosial dalam perkembangan ekonomi, selain merupakan manifestasi dari tujuan politik, kebebasan, dan kemerdekaan suatu bangsa.
Sehubungan dengan pengertian landreform tersebut, maka tujuan diadakan landreform adalah sebagai berikut:
1.      Untuk menyempurnakan adanya pemerataan tanah; ada dua dimensi untuk tujuan ini; pertama, adanya usaha untuk menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Ini dapat dilakukan melalui usaha yang intensif, yaitu dengan reditribusi tanah; kedua, untuk mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan petani kecil yang dapat merupakan usaha untuk memperbaiki persamaan antara petani secara menyeluruh.
2.      Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan tanah.
Program Landreform
Program Landreform bertujuan memberdayakan petani dengan mewujudkan akses terhadap lapangan kerja, yang dijamin dengan akses terhadap modal dan pasar produksi[14]. Program Landreform sangat ditentukan oleh kondisi suatu negara, sebab Landreform merupakan sasaran atau target yang harus diwujudkan oleh pemerintah suatu negara. Oleh karena itu, suatu negara yang telah beralih dari negara agraris menuju negara industri, berarti pemerintahnya mampu mewujudkan tujuan Landreform tersebut. Di Indonesia program Landreform meliputi:
1.      Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;
2.      Larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai;
3.      Reditribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara;
4.      Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan;
5.      Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;
6.      Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
Dasar utama dari landreform ialah UUPA masing-masing dalam[15]:
1.      Pasal 7 UUPA yang mengatakan: “Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”
2.      Pasal 10 UUPA
(1) “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan;
(2) “Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat (1) Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan”


3.      Pasal 17 UUPA
(1)Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan dalam Pasal 2 Ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum;
(2)Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat ;
(3)Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi,untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah.
(4)Tercapainya batas maksimum termaksud dalam ayat (1) ini yang akan ditetapkan dengan peraturan perundang-an,dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Sebagai pelaksanaan dari ketentuan pokok yang telah disebutkan tadi telah ditetapkan Undang-undang nomor 38 Prp.tahun 1960 tentang penggunaan dan penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu, kemudian disempurnakan dengan Undang-undang nomor 20 tahun 1964 (L.N. 1964 no.188).Undang-undang no.38 Prp. tahun 1960 disusul undang-undang lainnya yaitu undang- undang 56 Prp.tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.Pada mulanya keduanya dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pemgganti Undang-undang, kemudian berdasarkan Undang-undang nomor 1 tahun 1961 (L.N. 1961 no.3) disahkan menjadi Undang-undang.
Sebagai aturan pelaksanaan dari perundang-undangan tersebut di atas berangsur-angsur kemudian keluar aturan pelaksanaannya yaitu :
1.      Peraturan Pemerintah nomor 224/1960 tentang pembagian tanah dan pemberian ganti rugi (L.N.1961 no.280,T.L.N.232);
2.      Keputusan Menteri Agraria tanggal 31 Desember 1960 nomor SK. 978/KA/1960 tentang penegasan luas maksimum tanah pertanian;
3.      Keputusan Presiden tanggal 5 April 1961 no.131/1961 yang kemudian diubah dan diperbaiki dengan Keputusan Presiden tanggal 6 September 1961 no.509/1961 dan Keputusan Presiden tang-gal 17 Oktober 1964 no.263 tentang Organisasi pengelenggara-an Landreform;
4.      Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 18 September 1973 tentang larangan penguasaan tanah yang melampaui batas.
LAND USE (TATA GUNA TANAH)
Istilah tata guna tanah biasa juga dikenal dengan istilah asingnya sebagai “Land Use Planning”. Apabila istilah tata guna tanah dikaitkan dengan obyek hukum agraria nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan obyek hukum agraria meliputi: bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan tata guna tanah hanya berobyek tanah yang merupakan salah satu bagian dari obyek hukum agraria. Maka istilah yang tepat adalah “Tata Guna Agraria” atau “Agrarian Use Planning” yang meliputi:

1. Tata Guna Tanah (land use planning)
2. Tata Guna Air (water use palnning)
3.Tata Guna Ruang Angkasa (air use planning)

Dalam ketentuan menimbang huruf a TAP MPR No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ditegaskan bahwa sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Ada beberapa definisi tata guna tanah yang dapat dijadikan acuan:

1.      Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan untuk mengatur peruntukan, penggunaan dan persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang lestari, optimal, seimbang dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara.
2.      Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan, penyediaan, peruntukan dan penggunaan tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional.
Tata guna tanah adalah usaha untuk menata proyek-proyek pembangunan, baik yang diprakarsai pemerintah maupun yang tumbuh dari prakarsa dan swadaya masyarakat sesuai dengan daftar sekala prioritas, sehingga di satu pihak dapat tercapai tertib penggunaan tanah, sedangkan di pihak lain tetap dihormati peraturan perundangan yang berlaku.

Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil unsur-unsur yang ada, yaitu:
A.      Adanya serangkaian kegiatan.
Yang meliputi pengumpulan data lapangan yang menyangkut tentang penggunaan, penguasaan, dan kemampuan fisik tanah, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan pengawasan serta keterpaduan di dalam pelaksanaanya.
B.      Penggunaan tanah harus dilakukan secara berencana.
Ini mengandung konsekuensi bahwa penggunaan tanah harus dilakukan atas dasar prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut ialah lestari, optimal, serasi dan seimbang.
C.      Adanya tujuan yang hendak dicapai.
Ialah untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur.

3.      Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil (Pasal 1 PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah). Tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. Sedangkan pengertian penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang atau badan hukum dengan tanah[16] sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1960 pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. Sedangkan tanah menurut PP 16 Tahun 2004 ialah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.

Penatagunaan tanah merupakan bagian dari sub sistem penataan ruang wilayah yang dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah. Rencana tata ruang wilayah ialah hasil perencanaan tata ruang berdasarkan aspek administrative dan atau aspek fungsional yang telah ditetapkan.


[1] Soedjarwo Soeromihardjo, 1985: 1
[2] Santoso, Urip, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana (Jakarta : 2010), hal. 46.
[3] Harsono, boedi, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaaannya (Jilid I : Hukum Tanah Nasional), Djambatan (Jakarta : 1997), hal.122.

[4] Ibid, 124.
[5] Santoso, Urip, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana (Jakarta : 2010), hal. 48.

[6] Ibid, hal. 49.
[7] Harsono, boedi, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaaannya (Jilid I : Hukum Tanah Nasional), Djambatan (Jakarta : 1997), hal.190.
[8] Ibid, hal. 191
[9] Thalib, Hambali, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan : Kebijakan Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, Kencana (Jakarta : 2009), Hal.39
[10] Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan (Jakarta : 1984), hal. 5
[11] Ibid, hal. 28
[12] Wahid, Muchtar, Memaknai Kepastian hukum Hak Milik atas Tanah : Suatu Analisis dengan Pendekatan terpadu secara Normatif dan Sosiologis, Republika (Jakarta : 2008) Hal.22
[13] Harsono, boedi, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaaannya (Jilid I : Hukum Tanah Nasional), Djambatan (Jakarta : 1997), hal.192
[14] Sumardjono, Maria S.W., Kebijakan Pertanahan : antara Regulasi dan Implementasi, Buku Kompas, (Jakarta : 2005) hal.53
[15] Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan (Jakarta : 1984), hal. 7-10
[16] Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan (Jakarta : 1984), hal. 6

3 komentar:

  1. memperbaiki kesalahan pengajaran Hukum Agraria oleh Gouw Giok Siong dan Boedi Harsono, dalam menegakkan UUPAgraria 1960 serta UUPKehutanan 1967 jo UU No. 40/1999 agar menjadi sesuai dengan HPNI-NKRI, sebagai Konstitusi Indonesia-NKRI ketiga.

    ref ¬HPNI-NKRI ADALAH KONSTITUSI DASAR NEGARA INDONESIA KE III http://soesangobeng.com/product/%c2%achpni-nkri-adalah-konstitusi-dasar-negara-indonesia-ke-iii/

    BalasHapus