Pendahuluan
Undang-undang
Pokok Agraria (UUPA) menegaskan bahwa tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa
kepada Bangsa Indonesia, merupakan permukaan bumi, demikian pula tubuh bumi dan
air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut
perundang-undangan.
Tanah
merupakan salah satu sumber daya alami penghasil barang dan jasa, merupakan
kebutuhan yang hakiki dan berfungsi sangat esensial bagi kehidupan dan penghidupan
manusia, bahkan menentukan peradaban suatu bangsa. Peradaban itu akan
berlangsung kebesarannya selama bangsa itu menggunakan tanahnya secara
bijaksana[1].
Subtansi
yang akan dibahas di dalam makalah singkat ini terfokus kepada Sejarah Hukum
Agraria, Konsepsi Konsepsi Hukum Tanah Nasional (UUPA), serta masalah seputar
Landreform dan Land Use sebagai salah satu bagian integral dari sistem hukum
Indonesia yang memainkan peranan penting dalam upaya pembangunan masyarakat
guna mewujudkan cita-cita dan tujuan negara.
Sejarah Penyusunan Undang-Undang
Pokok Agraria
Upaya Pemerintah Indonesia untuk
membentuk Hukum Agraria Nasional yang akan menggantikan Hukum Agraria kolonial,
yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sudah dimulai sejak tahun 1948 dengan
membentuk kepanitian yang diberi tugas menyusun Undang-Undang Agraria[2]. Setelah mengalami
beberapa penggantian kepanitian yang berlangsung selama 12 tahun sebagai suatu
rangkaian proses yang cukup panjang, maka baru pada tanggal 24 September 1960
Pemerintah berhasil membentuk Hukum Agraria Nasional, yang dituangkan dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria,
yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Tahapan-tahapan dalam penyusunan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Panitia Agraria Yogya
Panitia ini dibentuk dengan
Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948
tanggal 21 mei 1948 berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin
Reksodihardjo, kepala bagian Agraria Kementrian Dalam Negeri.
Panitia ini mengusulkan tentang
asas-asas yang akan merupakan dasar-dasar Hukum Agraria yang baru, yaitu[3]:
a.
Meniadakan asas Domein dan pengakuan hak ulayat.
b.
Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak
perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan.
c.
Mengadakan penyelidikan lebih dahulu di
negara-negara tetangga sebelum menentukan apakah orang-orang asing dapat pula
mempunyai hak milik atas tanah.
d.
Mengadakan penetapan luas minimum tanah agar petani
kecildapat hidup layak dan untuk Jawa diusulkan 2 hektar.
e.
Mengadakan penetapan luas maksimum pemilik tanah
dengan tidak memandang macam tanahnya dan untuk Jawa diusulkan 10 hektar,
sedangkan di luar Jawa masih diperlukan penyelidikan lebih lanjut.
f.
Menganjurkan penerima skema hak-hak atas tanah
yang diusulkan Panitia Agraria Yogya.
g.
Mengadakab pendaftaran tanah hak milik dan
tanah-tanah menumpang yang penting.
2. Panitia Agraria Jakarta
Panitia Agraria Yogya dibubarkan
dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1951 tanggal 19 Maret 1951, sekaligus
dibentuk Panitia Agraria Jakarta Yang berkedudukan di Jakarta diketuai oleh
Singgih Praptodihardjo, Wakil Kepala Bagian Agraria Kementrian Dalam Negeri.
Panitia ini mengemukakan usulan
mengenai tanah untuk pertanian rakyat (kecil), yaitu[4]:
a.
Mengadakan batas minimum pemilik tanah, yaitu 2
hektar dengan mengadakan peninjauan lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya
hukum adat dan hukum waris.
b.
Mengadakan ketentuan batas maksimum pemilikan
tanah, yaitu 25 hektar untuk satu keluarga.
c.
Pertanian rakyat hanya dapat dimiliki olwh warga
negara Indonesia dan tidak dibedakan antara warga negara asli dan bukan asli..
Badan hukum tidak dapat mengerjakan tanah rakyat.
d.
Bangunan hukum untuk perranian rakyat ialah hak
milik, hak usaha, hak sewa, dan hak pakai.
e.
Pengaturan hak ulayat sesuai dengan pokok-pokok
dasar negara dengan suatu undang-undang.
3. Panitia Soewahjo
Berdasarkan Keputusan Presiden
No. 1 Tahun 1956 tanggal 14 Januari 1956
dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria berkedudukan di Jakarta yang diketuai
Soewahjo Soemodilogo, Sekretaris Jenderal Kementrian Agraria.
Pamitia ini menghasilkan naskah
Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria pada tanggal 1 Januari 1957 yang berisi[5]:
a.
Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat,
yang harus ditundukkan pada kepentingan umum (negara).
b.
Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara
atas dasar ketentuan Pasal 38 ayat 3 UUDS 1950.
c.
Dualisme Hukum Agraria dihapuskan.
d.
Hak-hak atas tanah: hak milik sebagai hak yang
terkuat yang berfungsi sosial kemudian ada hak usaha, hak bangunan dan hak
pakai.
e.
Hak milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang
warga negara Indonesia yang tidak diadakan perbedaan antara warga negara asli
dan tidak asli.
f.
Perlu diadakan penetapan batas maksimun dan minimum
luas tanah yang boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum.
g.
Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan
diusahakan sendiri oleh pemiliknya.
h.
Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan
pengguanaan tanah.
4. Rancangan Soenarjo
Setelah dilakukan beberapa
perubahan mengenai sistematika dan perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan
Panitia Soewahjo oleh Menteri Agraria Soenarjo diajukan kepada Dewan Menteri
pada tanggal 14 maret 1958. Dewan Menteri dalam sidangnya tanggal 1 April 1958
dapat menyetujui rancangan Soenarjo dan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) melalui amanat presiden Soekarno tanggal 24 April 1958.
Dalam pembahasan Rancangan
Soenarjo, DPR mengharap perlu untuk mengumpulkan bahan-bahan yang lebih
lengkap. Selanjutnya Panitia Permusyawaratan DPR membentuk sebuah Panitia Ad
Hoc dengan tugas[6]:
a.
Membahas Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria
secara tekhnik yuridis.
b.
Mempelajari bahan-bahan yang bersangkutan dengan
Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut yang sudah ada dan mengumpulkan
bahan-bahan yang baru.
c.
Menyampaikan laporan tentang pelaksanaan tugasnya
serta usul-usul yang dipandang perlu mengenai Rancangan Undang-Undang Pokok
Agraria kepada Panitia Permusyawaratan DPR.
5. Rancangan Sadjarwo
Berdasarkan Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 kita kembali kepada UUD 1945. Berhubung Rancangan Soenarjo
yang telah diajukan kepada DPR beberapa waktu yang lalu disusun berdasarkan
UUDS 1950, maka dengan surat Presiden tanggal 23 Maret 1960 rancangan tersebut
ditarik kembali dan disesuaikan dengan UUD 1945.
Tujuan Undang-Undang Pokok
Agraria
Tujuan diundangkannya UUPA
sebagai tujuan Hukum Agraria Nasional dimuat dalam Penjelasan Umum UUPA, yaitu:
a.
Meletakan dasar-dasar penyusunan Hukum Agraria
Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan,
dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka maayarakat
yang adil dan makmur. Tujuan
yang pertama diundangkan UUPA ini merupakan kebalikan dari ciri Hukum Agraria
Kolonial, yaitu Hukum Agraria kolonial disusun berdasarkan tujuan dan
sendi-sendi dari Prmerintahan Jajahan (Hindia Belanda) yang ditujukan untuk
kepentingan, keuntungan, kesejahteraan dan krmakmuran bagi Pemerintah Hindia
Belanda, orang-orang Belanda, dab Eropa lainnya.
b.
Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan
dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
Dalam
rangka mengadakan kesatuan hukum tersebut sudah semestinya sistem hukum yang
akan diberlakukan harus sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Tujuan yang
kedua diundangkan UUPA ini merupakan kebalikan dari ciri Hukum Agraria
kolonial, yaitu ciri Hukum Agraria kolonial mempunyai sifat dualisme hukum,
artinya pada saat yang sama berlaku dua Hukum Agraria yang berbeda, disatu
pihak berlaku Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata dan Agrarische
Wet Stb. 1870 No. 55, dan dipihak lain berlaku Hukum Agraria adat yang diatur
dalam Hukum Adat daerah masing-masing.
c.
Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian
hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya
Tujuan
yang ketiga dundangkan UUPA ini merupakan kebalikan dari ciri.Hukum Agraria
kolinial, yaitu Hukum Agraria kolonial tidak memberikan jaminan kepastian hukum
terhadap hak-hak rakyat Indonesia atas tanah, dikarenakan pada waktu itu hanya
hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum barat yang didaftar oleh Pemerintah
Hindia Belanda dengan tujuan memberikan jaminan kepastian hukum (Recht
Cadaster), sedangkan bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat tidak
dilakukan pendaftaran tanah. Kalau pun didaftar tujuannya bukan untuk diberikan
jaminan kepastian hukum melainkan untuk menetapkan siapa yang berkewajiban
membayar pajak atas tanah (Fiscaal Cadaster).
Hubungan Fungsional antara Hukum
Adat dan Hukum Tanah Nasional
Kita ketahui, bahwa dalam
Konsiderans dinyatakan oleh UUPA, bahwa "perlu adanya hukum agraria
nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah." Juga, bahwa
dalam pasal 5 ada pernyataan, bahwa "Hukum Agraria yang berlaku atas
bumi, air, dan angkasa ialah hukum adat."
Apakah arti kata-kata "berdasarkan"
dan "ialah" itu?
Maksudnya ialah bahwa dengan
pernyataan tersebut, pembangunan Hukum Tanah Nasional harus dilakukan dalam
bentuk penuangan norma-norma Hukum Adat dalam peraturan-peraturan
perundang-undangan menjadi Hukum yang tertulis. Dan selama peraturan-peraturan
tersebut belum ada, maka norma-norma Hukum Adat bersangkutan tetap berlaku
penuh[7]. Namun kenyataannya
adalah, bahwa peraturan-peraturan perundang-undangan yang diadakan sebagian
justru mengadakan perubahan, bahkan penggantian norma-norma Hukum Adat yang
berlaku sebelumnya. Misalnya peraturan mengenai jual beli tanah, yang semula
cukup dilakukan di hadapan Kepala Desa, oleh PP 10/1961 diubah memjadi di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. (Pasal 19) Dalam menghadapi kenyataan tersebut, bahwa apa yang
dinyatakan dalam UUPA tersebut hanyalah pernyataan "Kosong"
belaka. Setidak-tidaknya Hukum Adat yang disebut dalam UUPA sebagai dasar Hukum
Tanah Nasional itu bukan Hukum Adat yang sebenarnya. Dikatakan Hukum Adat yang "sudah
hilang isinya" dan "tinggal bajunya saja".
Apa yang dicantumkan dalam UUPA
mengenai Hukum Adat dalam hubungannya dengan Hukum Tanah Nasional, bukanlah
sekedar pemanis atau pernyataan kosong, melainkan mesti kita terima dan
tafsirkan sebagai kehendak yang sebenarnya dari pembentuk Undang-Undang yang
melahirkan UUPA. Dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional Hukum Adat berfungsi
sebagai sumber utama dalam memgambil bahan-bahan yang diperlukan. Sedang dalam
hubungannya dengan Hukum Tanah Nasional positif, norma-norma Hukum Adat
betfungsi sebagai hukum yang melengkapi[8].
Konsepsi Hukum Tanah Nasional Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA)
Dalam konsiderans Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA), Hukum Tanah Nasional yang akan dibangun didasarkan pada
hukum adat dalam penegertian hukum adat yang telah di "seneer", maka
harus diartikan bahwa norma-norma hukum adat yang telah dibersihkan dari
unsur-unsur pengaruh asing dan norma hukum adat itu dalam kenyataannya masih
hidup dan mengikat masyarakat. Konsiderans
tersebut tersebut menunjukan, bahwa hukum adat merupakan sumber utama dalam
pembangunan hukum tanah nasional[9]. Hal tersebut dapat
dilihat dari rumusan konsiderans undang-undang:
"Komunalistik religius yang
memungkinkan penguasaan tanah sevcara individual dengan hak-hak atas tanah yang
bersifat pribadi sekaligus mengandung kebersamaan." (Boedi-Harsono,
1999: 225)
Sifat komunalistik religius yang
bersumber dari hukum adat sebagai salah satu ciri yang tertuang dalam Pasal 1
Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa[10]:
“Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia sebagaikarunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang
angkasa bangsa indonesia dan merupakan kekayaan nasional.”
Konsepsi hukum tanah nasional
dengan mengacu untuk mengembangkan pengertian yang bersumber dari hak ulayat
sebagaimana dalam Pasal 1 Ayat (2), serta memerhatikan rumusan Pasal 1 Ayat (1)
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengakui dan menempatkan hak bangsa
sebagai hak penguasaan ataa tanah yang
tertinggi atas seluruh wilayah Indonesia sebagai kesatuan tanah air terhadap
seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini
berarti bahwa hak-hak penguasaan atas tanahyang lain, termasuk hak ulayat dan
hak-hak individual atas tanah sebagaimana dimaksudkan oleh penjelasan umum
secara langsung atau pun tidak langsung semuanya bersumber pada hak bangsa.
Pengertian hak bangsa tersebut,
meliputi semua tanah dalam rumusan Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA), artinya dengan kata "seluruh" berarti seluruh bumi, air, dan
ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di wilayah
Republik Indonesia menunjukan bahwa tidak ada sejengkal tanah pun di negara
Republik Indonesia yang merupakan tanah yang tak bertuan. (res nullius)
Hak bangsa tersebut bersifat
abadi, yang berarti bahwa hubungan yang akan berlangsung tidak terputus-putus
selama-lamanya[11].
Pernyataan tersebut sebagaimana di rumuskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa
termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. Rumusan
tersebut dipertegas dalam pernyataan penjelasan umum II disertai penjelasan
sebagai berikut.
Hak bangsa yang meliputi semua
tanah dalam wilayah negara Republik Indonesia, disamping mengandung unsur hukum
publik juga mengandung unsur privat. Dalam pengertian unsur hukum publik bahwa
sumber-sumber alam yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah
satu unsur pendukung utama bagi kelangsungan hidup dan peningkatan kemakmuran
bangsa sepanjang masa dan potensi sumber-sumber alam tersebut dianggap sebagai
modal dasar pembangunan nasional.
Unsur privat mengandung makna
bahwa tanah bersama "kekayaan nasional",
menunjukan arti keperdataan yaitu hubungan "kepunyaan"
antara bangsa Indonesia dan tanah bersama tersebut. Hubungan kepunyaan menurut
artinya yang asli memberi wewenang untuk menguasai sesuatu sebagai "empunya" , artinya
sebagai tuannya bisa dalam hubungan
kepemilikan. UUPA menganut konsepsi hak tanah
yang bersumber dari hukum adat, yaiutu mempunyai dasar komunalistik dan
mengandung corak privat serta diliputi suasana religius[12]. Hal
ini sesuai dengan sifat manusia sebagai dwitunggal sebagai individu dan makhluk
sosial.
Menguasai
dan menggunakan tanah secara individual berarti bahwa tanah yang bersangkutan
boleh dikuasai secara perorangan, dan tidak ada keharusan untuk menguasainya
bersama-sama orang lain secara kolektif, namun dibalik ketentuan/peraturan
menguasai dan menggunakan tanah secara kolektif bersama terbuka kemungkinan
untuk diperbolehkan. Hal ini diatur dalam pasal 4 Ayat (1) yang
menyatakan bahwa: "Atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang-orang bail sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta
badan-badan hukum."
Dalam konsepsi hukun tanah
nasional, disamping diakui hak perorangan atas tanah bersifat pribadi hak-hak
individual juga diakui unsur kebersamaan atas hak-hak atas tanah[13]. Sifat pribadi hak-hak
individual dimaksudkan menunjuk kepada kewenangan pemegang hak untuk
menggunakan tanah yang bersangkutan bagi kepentingan dan dalam memenuhi
kebutuhan pribadi dan keluarganya, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 9 Ayat
(2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa:
“Tiap-tiap warga negara Indonesia baik
laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu
hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi dirinya
sendiri maupun keluarganya.”
Hak-hak atas tanah yang langsung
bersumber pada hak bangsa yang disebut hak-hak primer, meliputi: hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai yang diberikan oleh negara sebagai
petugas bangsa, sementara hak-hak yang bersumber tidak langsung dari hak bangsa
adalah apa yang disebut dengan hak sekunder, meliputi: hak-hak yang diberikan oleh
pemegang hak primer seperti hak sewa, bagi hasil, gadai, dan lain-lainnya.
LANDREFORM
Secara harfiah, perkataan
landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu; Land artinya Tanah dan Reform artinya Perubahan,
perombakan. Namun menurut Prof. Arie Sukanti Hutagalung, bila kita mencoba
menerjemahkan definisi landreform secara harfiah, kita akan menghadapi suatu
hal yang membingungkan, karena istilah Land itu sendiri mempunyai arti yang
berbagai macam. Sedangkan istilah Reform berarti mengubah dan terutama mengubah
kearah yang lebih baik. Jadi landreform berkaitan dengan perubahan struktur
secara institusional yang mengatur hubungan manusia dengan tanah. Pada dasarnya landreform memerlukan
program reditribusi tanah untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah dan
pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah. Jadi, landreform
lebih merupakan sebuah alat perubahan sosial dalam perkembangan ekonomi, selain
merupakan manifestasi dari tujuan politik, kebebasan, dan kemerdekaan suatu
bangsa.
Sehubungan
dengan pengertian landreform tersebut, maka tujuan diadakan landreform adalah
sebagai berikut:
1. Untuk menyempurnakan adanya pemerataan tanah; ada dua
dimensi untuk tujuan ini; pertama, adanya usaha untuk menciptakan pemerataan
hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Ini dapat dilakukan melalui usaha
yang intensif, yaitu dengan reditribusi tanah; kedua, untuk mengurangi
perbedaan pendapatan antara petani besar dan petani kecil yang dapat merupakan
usaha untuk memperbaiki persamaan antara petani secara menyeluruh.
2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan
tanah.
Program Landreform
Program
Landreform bertujuan memberdayakan petani dengan mewujudkan akses terhadap
lapangan kerja, yang dijamin dengan akses terhadap modal dan pasar produksi[14]. Program
Landreform sangat ditentukan oleh kondisi suatu negara, sebab Landreform
merupakan sasaran atau target yang harus diwujudkan oleh pemerintah suatu
negara. Oleh karena itu, suatu negara yang telah beralih dari negara agraris
menuju negara industri, berarti pemerintahnya mampu mewujudkan tujuan
Landreform tersebut. Di Indonesia program Landreform meliputi:
1. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;
2. Larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai;
3. Reditribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum,
tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan
tanah-tanah negara;
4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah
pertanian yang digadaikan;
5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;
6. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai
larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan
pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
1. Pasal 7 UUPA yang mengatakan: “Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”
2. Pasal 10 UUPA
(1) “Setiap
orang dan badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian pada asasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan
mencegah cara-cara pemerasan;
(2) “Pelaksanaan
daripada ketentuan dalam ayat (1) Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundangan”
3. Pasal 17 UUPA
(1)Dengan
mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan dalam Pasal 2 Ayat
(3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan
sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum;
(2)Penetapan
batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan
perundangan di dalam waktu yang singkat ;
(3)Tanah-tanah
yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini
diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi,untuk selanjutnya dibagikan kepada
rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah.
(4)Tercapainya
batas maksimum termaksud dalam ayat (1) ini yang akan ditetapkan dengan
peraturan perundang-an,dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Sebagai
pelaksanaan dari ketentuan pokok yang telah disebutkan tadi telah ditetapkan
Undang-undang nomor 38 Prp.tahun 1960 tentang penggunaan dan penetapan luas
tanah untuk tanaman-tanaman tertentu, kemudian disempurnakan dengan
Undang-undang nomor 20 tahun 1964 (L.N. 1964 no.188).Undang-undang no.38 Prp.
tahun 1960 disusul undang-undang lainnya yaitu undang- undang 56 Prp.tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.Pada mulanya keduanya dituangkan dalam
bentuk Peraturan Pemerintah Pemgganti Undang-undang, kemudian berdasarkan
Undang-undang nomor 1 tahun 1961 (L.N. 1961 no.3) disahkan menjadi
Undang-undang.
Sebagai
aturan pelaksanaan dari perundang-undangan tersebut di atas berangsur-angsur
kemudian keluar aturan pelaksanaannya yaitu :
1. Peraturan Pemerintah nomor 224/1960 tentang pembagian
tanah dan pemberian ganti rugi (L.N.1961 no.280,T.L.N.232);
2. Keputusan Menteri Agraria tanggal 31 Desember 1960
nomor SK. 978/KA/1960 tentang penegasan luas maksimum tanah pertanian;
3. Keputusan Presiden tanggal 5 April 1961 no.131/1961
yang kemudian diubah dan diperbaiki dengan Keputusan Presiden tanggal 6
September 1961 no.509/1961 dan Keputusan Presiden tang-gal 17 Oktober 1964
no.263 tentang Organisasi pengelenggara-an Landreform;
4. Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 18 September
1973 tentang larangan penguasaan tanah yang melampaui batas.
LAND
USE (TATA GUNA TANAH)
Istilah
tata guna tanah biasa juga dikenal dengan istilah asingnya sebagai “Land
Use Planning”. Apabila istilah tata guna tanah dikaitkan dengan obyek
hukum agraria nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tersebut kurang tepat.
Hal ini dikarenakan obyek hukum agraria meliputi: bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan tata guna tanah hanya
berobyek tanah yang merupakan salah satu bagian dari obyek hukum agraria. Maka
istilah yang tepat adalah “Tata Guna Agraria” atau “Agrarian Use Planning” yang
meliputi:
1. Tata Guna Tanah (land use planning)
1. Tata Guna Tanah (land use planning)
2. Tata
Guna Air (water use palnning)
3.Tata Guna Ruang Angkasa (air use planning)
3.Tata Guna Ruang Angkasa (air use planning)
Dalam ketentuan menimbang huruf a TAP MPR No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ditegaskan bahwa sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Ada beberapa definisi tata guna tanah yang dapat dijadikan acuan:
1.
Tata guna
tanah adalah rangkaian kegiatan untuk mengatur peruntukan, penggunaan dan
persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang
lestari, optimal, seimbang dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dan negara.
2.
Tata guna
tanah adalah rangkaian kegiatan penataan, penyediaan, peruntukan dan penggunaan
tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional.
Tata guna tanah adalah usaha untuk menata
proyek-proyek pembangunan, baik yang diprakarsai pemerintah maupun yang tumbuh
dari prakarsa dan swadaya masyarakat sesuai dengan daftar sekala prioritas,
sehingga di satu pihak dapat tercapai tertib penggunaan tanah, sedangkan di
pihak lain tetap dihormati peraturan perundangan yang berlaku.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil
unsur-unsur yang ada, yaitu:
A.
Adanya
serangkaian kegiatan.
Yang meliputi pengumpulan data lapangan yang menyangkut tentang penggunaan, penguasaan, dan kemampuan fisik tanah, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan pengawasan serta keterpaduan di dalam pelaksanaanya.
Yang meliputi pengumpulan data lapangan yang menyangkut tentang penggunaan, penguasaan, dan kemampuan fisik tanah, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan pengawasan serta keterpaduan di dalam pelaksanaanya.
B.
Penggunaan
tanah harus dilakukan secara berencana.
Ini mengandung konsekuensi bahwa penggunaan tanah harus dilakukan atas dasar prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut ialah lestari, optimal, serasi dan seimbang.
Ini mengandung konsekuensi bahwa penggunaan tanah harus dilakukan atas dasar prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut ialah lestari, optimal, serasi dan seimbang.
C.
Adanya
tujuan yang hendak dicapai.
Ialah untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Ialah untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur.
3.
Penatagunaan
tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berujud konsolidasi
pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan
pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat
secara adil (Pasal 1 PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah). Tanah
adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun
buatan manusia. Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah
tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. Sedangkan pengertian penguasaan
tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang atau badan
hukum dengan tanah[16]
sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1960 pengertian bumi,
selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada
dibawah air. Sedangkan tanah menurut PP 16 Tahun 2004 ialah wujud tutupan
permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.
Penatagunaan tanah merupakan bagian dari sub sistem penataan ruang wilayah yang dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah. Rencana tata ruang wilayah ialah hasil perencanaan tata ruang berdasarkan aspek administrative dan atau aspek fungsional yang telah ditetapkan.
Penatagunaan tanah merupakan bagian dari sub sistem penataan ruang wilayah yang dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah. Rencana tata ruang wilayah ialah hasil perencanaan tata ruang berdasarkan aspek administrative dan atau aspek fungsional yang telah ditetapkan.
[1]
Soedjarwo Soeromihardjo, 1985: 1
[2]
Santoso, Urip, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana (Jakarta
: 2010), hal. 46.
[3]
Harsono, boedi, Hukum Agraria
Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaaannya (Jilid I : Hukum Tanah Nasional), Djambatan (Jakarta :
1997), hal.122.
[4]
Ibid, 124.
[5]
Santoso, Urip, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana (Jakarta
: 2010), hal. 48.
[6]
Ibid, hal. 49.
[7]
Harsono, boedi, Hukum Agraria
Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaaannya (Jilid I : Hukum Tanah Nasional), Djambatan (Jakarta : 1997),
hal.190.
[8] Ibid, hal. 191
[9] Thalib, Hambali, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan :
Kebijakan Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan di Luar Kodifikasi Hukum
Pidana, Kencana (Jakarta : 2009), Hal.39
[10]
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,
Djambatan (Jakarta : 1984), hal. 5
[12]
Wahid, Muchtar, Memaknai
Kepastian hukum Hak Milik atas Tanah : Suatu Analisis dengan Pendekatan terpadu
secara Normatif dan Sosiologis, Republika (Jakarta : 2008) Hal.22
[13]
Harsono, boedi, Hukum Agraria
Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaaannya (Jilid I : Hukum Tanah Nasional), Djambatan (Jakarta :
1997), hal.192
[14]
Sumardjono, Maria S.W., Kebijakan
Pertanahan : antara Regulasi dan Implementasi, Buku Kompas, (Jakarta :
2005) hal.53
[15]
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,
Djambatan (Jakarta : 1984), hal. 7-10
[16]
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,
Djambatan (Jakarta : 1984), hal. 6
memperbaiki kesalahan pengajaran Hukum Agraria oleh Gouw Giok Siong dan Boedi Harsono, dalam menegakkan UUPAgraria 1960 serta UUPKehutanan 1967 jo UU No. 40/1999 agar menjadi sesuai dengan HPNI-NKRI, sebagai Konstitusi Indonesia-NKRI ketiga.
BalasHapusref ¬HPNI-NKRI ADALAH KONSTITUSI DASAR NEGARA INDONESIA KE III http://soesangobeng.com/product/%c2%achpni-nkri-adalah-konstitusi-dasar-negara-indonesia-ke-iii/
soesangobeng.com
BalasHapusLuar biasa artikel ini.
BalasHapus