Nama : Andhika Kharis Ahmadi
NIM : 109044200001
Tugas : *Meresume Metode dalam Pembaruan Hukum
Perkawinan di dunia Muslim*
Metode
Pembaruan
Praktek dalam Pembaruan Hukum Perkawinan
Para mujtahid mendukung
pandangannya dengan mencatat ayat Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dalam
kasus-kasus tersebut ditambah dengan asar sahabat. Ada ayat dan sunnah
nabi yang sama-sama dicatat untuk mendukung pandangan yang sama, sebaliknya ada
juga ayat dan sunnah nabi yang sama-sama dicatat untuk mendukung pandangan yang
berbeda, bahkan bertentangan. Ada ayat Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang
dicatat dengan tegas secara tekstual (eksplisit) untuk mendukung pandangannya,
sementara ada juga ayat dan Sunnah Nabi yang dicatat hanya mendukung secara
implisit (mafhum mukhalafah). Metode yang mereka gunakan disini adalah
metode parsial – deduktif.
Dengan singkat dari
sisi metode, secara prinsip semua imam madzhab menggunakan metode parsial,
meskipun dalam beberapa kasus dipantulkan kepada nass lain yang kurang
atau bahkan tidak sejalan dengan ide yang didukung. Seperti pada pembahasan
poligami, Imam Syafi’I menghubungkan an-Nisa’ (4): 3 dengan an-Nisa’ (4): 129,
dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah yang terlihat cenderung menggunakan tematik ketika
membahas peran wali dan kebebasan mempelai. Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia dapat disimpulkan, bahwa metode yang digunakan Indonesia dalam pembaruan
Hukum Perkawinan adalah: (1) metode takhsis al-qada’/siyasah syar’iyyah;
(2) reinterpretasi nass, termasuk dengan jalan qiyas; (3) takhayyur
dan talfiq.
Sedangkan Anderson
mencatat empat metode umum yang digunakan sarjana dalam melakukan hukum keluarga
Islam kontemporer, yakni: (1) lewat aturan yang bersifat prosedur sesuai dengan
tuntutan zaman modern (bersifat administratif), yang dalam istilah lain disebut
takhsis al-qada’/siyasah asy-Syar’iyyah tetapi subtansinya tidak
berubah; (2) takhayyur (memilih salah satu dari sekian pandangan madzhab
fiqih yang ada, bukan saja dari empat/lima madzhab populer tetapi juga dari
madzhab-madzhab lain, termasuk pandangan dari Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim
al-Jauziyyah) dan talfiq (menggabungkan pandangan sejumlah madzhab dalam
satu masalah tertentu); (3) ijtihad dengan jalan kembali
menginterpretasikan (reinterpretasi) teks Syari’ah; dan (4) menggunakan
alternatif, yakni menggunakan aturan administrasi, misalnya dengan meberikan
sanksi bagi yang melanggar, tetapi tidak berdasarkan alasan Syari’ah.
Coulson, membandingkan
teori yang digunakan komite Pakistan dengan Negara-negara di Timur Tengah,
menyimpulkan, ada satu perbedaan menonjol anatara kedua kubu ini, yakni kalau
di Negara-negara Timur Tengah pembaruannya menekankan pada unsur prosedural dan
administrasi, yang berarti banyak menggunakan siyasah asy-Syar’iyyah.
Sementara Pakistan berusaha mendasarkan pembaruan pada teks syari’ah. Misalnya
dalam membatasi kasus perkawinan anak dibawah umur, Mesir memperbarui dengan
cara mewajibkan pencatatan perkawinan. Jadi, aturan administrasi ini digunakan
untuk mencapai tujuan umum hukum. Sementara Pakistan mendasarkan keharusan
pencatatan perkawinan paada Qur’an yang mengharuskan pencatatan dalam melakukan
transaksi.
Pearl menyimpulkan,
negara-negara muslim menggunakan 4 metode dalam melakukan pembaruan Hukum
Keluarga, yaitu: (1) takhayyur; (2) talfiq; (3) siyasah
syar’iyyah; dan (4) murni memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi tanpa
mendasarkan sama sekali terhadap alasan madzhab, yang oleh pemikir lain disebut
reinterpretasi terhadap nass sesuai dengan tuntutan zaman.
Secara umum dapat
disimpulkan metode yang digunakan, baik oleh para sarjana klasik dan
pertengahan maupun sarjana modern (yang diterapkan dalam memformulasikan
Perundang-undangan maupun masih dalam bentuk konsep murni), secara umum masih
tetap menggunakan metode parsial-deduktif. Maksud metode tersebut adalah, dalam
mengambil ketetapan hukum dari nass hanya dengan mencatat satu atau beberapa
ayat Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW kemudian diambil kesimpulan, tanpa
lebih dahulu memantulkan dengan ayat-ayat atau sunnah lain, dan meletakkannya
sebagai satu kesatuan yang menyatu. Meskipun demikian, perlu ditambahkan, bahwa
ditemukan juga beberapa kasus yang menggunakan metode tematik dan holistik
dalam bentuk sederhana dan tidak konsisten.
Perbedaan praktek yang
ditemukan antara para ilmuan klasik dan pertengahan (tradisionalis) disatu
sisi, dengan para pembaru kontemporer yang dipraktekan ketika memformulasikan
Perundang-undangan di sisi lain, adalah kelompok pertama langsung merujuk
langsung pada Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, sementara kelompok kedua
dengan perantaraan kitab-kitab fiqih yang ada, meskipun akhirnya kembali pada
kedua sumber Qur’an sunnah Nabi Muhammad SAW.
Perbedaan lain yang
menonjol antara rumusan Klasik dan Pertengahan di satu sisi, dengan pemikir
kontemporer di sisi lain, khususnya dalam masalah poligami, adalah bahwa
rumusan kelompok pertama menekankan pada kepercayaan individual, sementara
rumusan kelompok kedua lebih menkankan penilaian kelompok netral. Misalnya,
baik pemikir kontmporer maupun klasik dan pertengahan mengharuskan: (1) sikap
adil, dan (2) kemapuan ekonomi suami untuk bolehnya poligami, namun dalam
menjamin keadilan dan kemampuan ekonomi dimaksud para pemikir kontemporer
meyerahkan pnilaian pada pihak ketiga, pengadilan, dengan menggunakan
ukuran-ukuran yang lebih jelas dan konkrit. Seperti, untuk menilai kemapuan
ekonomi diukur dengan melihat hasil pemasukan yang ada (daftar gaji, pajak, dan
sejenisnya), dan penilaian dilakukan oleh pihak ketiga yang lebih netral, yakni
Hakim di pengadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar