Powered By Blogger

^^WelcÔm3 tø Mý room^^

[all about something]

Rabu, 20 Juni 2012

Metode Pembaruan "Praktek dalam Pembaruan Hukum Perkawinan"

Nama                     : Andhika Kharis Ahmadi
NIM                      : 109044200001
Tugas                     : *Meresume Metode dalam Pembaruan Hukum Perkawinan di dunia Muslim*
 
Metode Pembaruan

Praktek dalam Pembaruan Hukum Perkawinan
Para mujtahid mendukung pandangannya dengan mencatat ayat Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dalam kasus-kasus tersebut ditambah dengan asar sahabat. Ada ayat dan sunnah nabi yang sama-sama dicatat untuk mendukung pandangan yang sama, sebaliknya ada juga ayat dan sunnah nabi yang sama-sama dicatat untuk mendukung pandangan yang berbeda, bahkan bertentangan. Ada ayat Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang dicatat dengan tegas secara tekstual (eksplisit) untuk mendukung pandangannya, sementara ada juga ayat dan Sunnah Nabi yang dicatat hanya mendukung secara implisit (mafhum mukhalafah). Metode yang mereka gunakan disini adalah metode parsial – deduktif.
Dengan singkat dari sisi metode, secara prinsip semua imam madzhab menggunakan metode parsial, meskipun dalam beberapa kasus dipantulkan kepada nass lain yang kurang atau bahkan tidak sejalan dengan ide yang didukung. Seperti pada pembahasan poligami, Imam Syafi’I menghubungkan an-Nisa’ (4): 3 dengan an-Nisa’ (4): 129, dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah yang terlihat cenderung menggunakan tematik ketika membahas peran wali dan kebebasan mempelai. Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dapat disimpulkan, bahwa metode yang digunakan Indonesia dalam pembaruan Hukum Perkawinan adalah: (1) metode takhsis al-qada’/siyasah syar’iyyah; (2) reinterpretasi nass, termasuk dengan jalan qiyas; (3) takhayyur dan talfiq.
Sedangkan Anderson mencatat empat metode umum yang digunakan sarjana dalam melakukan hukum keluarga Islam kontemporer, yakni: (1) lewat aturan yang bersifat prosedur sesuai dengan tuntutan zaman modern (bersifat administratif), yang dalam istilah lain disebut takhsis al-qada’/siyasah asy-Syar’iyyah tetapi subtansinya tidak berubah; (2) takhayyur (memilih salah satu dari sekian pandangan madzhab fiqih yang ada, bukan saja dari empat/lima madzhab populer tetapi juga dari madzhab-madzhab lain, termasuk pandangan dari Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah) dan talfiq (menggabungkan pandangan sejumlah madzhab dalam satu masalah tertentu); (3) ijtihad dengan jalan kembali menginterpretasikan (reinterpretasi) teks Syari’ah; dan (4) menggunakan alternatif, yakni menggunakan aturan administrasi, misalnya dengan meberikan sanksi bagi yang melanggar, tetapi tidak berdasarkan alasan Syari’ah.
Coulson, membandingkan teori yang digunakan komite Pakistan dengan Negara-negara di Timur Tengah, menyimpulkan, ada satu perbedaan menonjol anatara kedua kubu ini, yakni kalau di Negara-negara Timur Tengah pembaruannya menekankan pada unsur prosedural dan administrasi, yang berarti banyak menggunakan siyasah asy-Syar’iyyah. Sementara Pakistan berusaha mendasarkan pembaruan pada teks syari’ah. Misalnya dalam membatasi kasus perkawinan anak dibawah umur, Mesir memperbarui dengan cara mewajibkan pencatatan perkawinan. Jadi, aturan administrasi ini digunakan untuk mencapai tujuan umum hukum. Sementara Pakistan mendasarkan keharusan pencatatan perkawinan paada Qur’an yang mengharuskan pencatatan dalam melakukan transaksi.
Pearl menyimpulkan, negara-negara muslim menggunakan 4 metode dalam melakukan pembaruan Hukum Keluarga, yaitu: (1) takhayyur; (2) talfiq; (3) siyasah syar’iyyah; dan (4) murni memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi tanpa mendasarkan sama sekali terhadap alasan madzhab, yang oleh pemikir lain disebut reinterpretasi terhadap nass sesuai dengan tuntutan zaman.
Secara umum dapat disimpulkan metode yang digunakan, baik oleh para sarjana klasik dan pertengahan maupun sarjana modern (yang diterapkan dalam memformulasikan Perundang-undangan maupun masih dalam bentuk konsep murni), secara umum masih tetap menggunakan metode parsial-deduktif. Maksud metode tersebut adalah, dalam mengambil ketetapan hukum dari nass hanya dengan mencatat satu atau beberapa ayat Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW kemudian diambil kesimpulan, tanpa lebih dahulu memantulkan dengan ayat-ayat atau sunnah lain, dan meletakkannya sebagai satu kesatuan yang menyatu. Meskipun demikian, perlu ditambahkan, bahwa ditemukan juga beberapa kasus yang menggunakan metode tematik dan holistik dalam bentuk sederhana dan tidak konsisten.
Perbedaan praktek yang ditemukan antara para ilmuan klasik dan pertengahan (tradisionalis) disatu sisi, dengan para pembaru kontemporer yang dipraktekan ketika memformulasikan Perundang-undangan di sisi lain, adalah kelompok pertama langsung merujuk langsung pada Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, sementara kelompok kedua dengan perantaraan kitab-kitab fiqih yang ada, meskipun akhirnya kembali pada kedua sumber Qur’an sunnah Nabi Muhammad SAW.
Perbedaan lain yang menonjol antara rumusan Klasik dan Pertengahan di satu sisi, dengan pemikir kontemporer di sisi lain, khususnya dalam masalah poligami, adalah bahwa rumusan kelompok pertama menekankan pada kepercayaan individual, sementara rumusan kelompok kedua lebih menkankan penilaian kelompok netral. Misalnya, baik pemikir kontmporer maupun klasik dan pertengahan mengharuskan: (1) sikap adil, dan (2) kemapuan ekonomi suami untuk bolehnya poligami, namun dalam menjamin keadilan dan kemampuan ekonomi dimaksud para pemikir kontemporer meyerahkan pnilaian pada pihak ketiga, pengadilan, dengan menggunakan ukuran-ukuran yang lebih jelas dan konkrit. Seperti, untuk menilai kemapuan ekonomi diukur dengan melihat hasil pemasukan yang ada (daftar gaji, pajak, dan sejenisnya), dan penilaian dilakukan oleh pihak ketiga yang lebih netral, yakni Hakim di pengadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar