Definisi
Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah
bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan.
Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum
lain.
Mawaris adalah jama’ dari mirats.
Maka dimaksud dengan Mirats, demikian pula irts, wirts, wiratsah dan
turats,yang dimaknakan dengan mauruts ialah: “harta peninggalan orang yang telah meninggal yang diwarisi oleh para
warisnya.”
Dasar Hukum
Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam pada dasrnya
bersumber pada al-Qur’an sebagai firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan Hadis Rasul. Baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadis, dasar hukum
keawarisan itu ada yang secara tegas mengatur, dan ada yang tersirat, bahkan
kadang-kadang ada yang berisi pokok-pokoknya saja, yang paling banyak ditemui
dasar hukum kewarisan adalah Surat an-Nisa ayat 11, 12 dan 176, di samping
surah-surah lain sebagai pembantu.
Rukun warisan
Rukun
Kewarisan ada tiga, yaitu:
- Al-Muwaris, ialah orang yang meninggal dunia
- Ahli waris, ialah orang yang akan mewarisi harta
peninggalan si mati.
- Mauruts, adalah harta peninggalan si mati setelah
dipotong biaya pengurusan mayit, melunasi hutangnya, dan melaksanakan
wasiatnya yang tidak lebih dari sepertiga.
Sebab-sebab Mewariskan (ashabul
mirots), yaitu:
- Kekeluargaan (qorobah), adalah pertalian hubungan
darah yang menjadi dasar utama pewarisan. "Bagi lelaki ada hak bagian
dari harta peninggalan kedua ibu-bapak, dan kaum kerabat. Dan bagi wanita
juga ada hak bagian dari harta peninggalan kedua ibu-bapak, dan kaum
kerabat, baik sedikit atau banyak sesuai ketentuan yang telah ditetapkan."
(QS. 4/An Nisa': 7) "Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat
itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat)." (QS. 8/A1 Anfal: 75). Pertalian darah ini dibagi menjadi,
ke atas atas yang disebut ushul, ialah ibu-bapak, kakek-nenek dan
seterusnya. Ke bawah, disebut furu', ialah anak-cucu keturunan si mati.
Dan ahli waris menyamping, disebut hawasyi, ialah saudara, paman, bibi,
keponakan dari si mati.
Ditinjau dari segi pembagiannya, ahli waris akibat
pertalian darah ini dibagi menjadi tiga (3).
- Ashhabul Furudinnasabiyyah, ialah golongan ahli-ahli
waris yang mendapat bagian tertentu. Misal: 1/2, 1/3 dan lain-lainnya.
- 'Ashabah Nasabiyyah, ialah golongan ahli waris
yang tidak mendapat bagian tertentu. Mereka mendapat sisa dari golongan
pertama. Jika tidak ada golongan pertama, golongan kedua ini berhak atas
seluruh harta warisan.
- Dzawil Arham, ialah kerabat yang agak jauh dengan
si mati.
- Semenda (mushoharoh), karena perkawinan yang
syah. Sehingga suami istri berhak untuk saling mewarisi, apabila salah
satu di antara mereka meninggal dunia sewaktu perkawinannya masih utuh.
Ketentuannya, sebagai berikut:
- Apabila istri yang meninggal dan tidak memiliki
anak, suami mewarisi separuh dari harta peninggalan
istrinya. Jika punya anak memperoleh seperempatnya. "Dan bagimu
seperdua dari peninggalan istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika mereka (istri-istrimu) memiliki anak, maka bagimu seperempat
dari harta peninggalannya sesudah dipenuhi segala wasiat yang mereka buat
dan/atau sudah dibayar hutang-hutangnya." (QS. 4/An Nisa': 12).
- Apabila suami yang meninggal dan tidak memiliki
anak, istri mewarisi seperempat dari peninggalan
suaminya. Jika punya anak memperoleh seperdelapannya. "Dan bagi
mereka (istri-istrimu) seperempat dari harta peninggalanmu jika kamu tidak
mempunyai anak. Apabila kamu mempumyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta peninggalanmu sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat, dan sesudah dibayar hutang-hutangmu.” (QS. 4/An Nisa’:12)
- Wala' adalah persaudaraan menurut
hukum yang timbul karena membebaskan budak. Sabda Muhammad Rosulullah saw.
“Hubungan orang yang memerdekakan budak dengan budak yang bersangkutan
seperti hubungan turunan dengan turunan, tidak dijual dan tidak
diberikan." (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim). "Hak
Wala' itu hanya bagi orang yang telah membebasaskan budak. Wala' itu
adalah suatu kerabat sebagai kerabat nasab yang tidak boleh dijual atau
dihibahkan." (HR. Hakim). Dengan demikian orang yang memiliki hak
wala’ berhak mewarisi harta peninggalan budaknya. Ditegaskan oleh
Rosulullah saw. "Sesungguhnya hak itu (mewarisi) untuk orang yang
memerdekakan.” (Sepakat", ahli hadis). Mereka itu disebut ahli waris
golongan' Ushubah sababiyyah.
- Hubungan agama.
Apabila orang Islam yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, maka
harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk kepentingan umat
islam. Sabada Muhammad Rosulullah saw. “Saya menjadi waris orang yang
tidak mempunyai waris.”(HR. Ahmad dan Abu Dawud). Atau sebagiannya
diwasiatkan kepada orang sesama muslim. "Dan orang-orang yang
memiliki htibungan darah, sebagian mereka dengan sebagian yang lain lebih
berhak (untk, mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin
dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada
saudara-saudara kamu. Demikian tui adalah tertulis di dalam Kitab Allah.
" (QS. 33/Al Ahzab: Ayat ini menerangkan bahwa meskipun hak waris
tidak berlaku terhadap orang yang tidak berhubungan darah, namun
dianjurkan sekadar pemberian antara lain melalui wasiat yang tidak lebih
dari sepertiga.
Tentu saja, Nabi Muhammad Rosulullah saw menerima
harta pusaka tersebut bukan untuk kepentingan pribadi/ keluarganya, melainkan
untuk kepentingan umat islam.
Asas-asas
Hukum Kewarisan Islam
Hukum Kewarisan Islam mempunyai
corak tersendiri, itu merupakan bagian dari agama Islam dan pelaksanaannya
tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah seorang muslim. Asas Hukum
Kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari Al-Qur’an dan Sunnah, adalah:
Asas
ijbari.
Dalam Hukum Kewarisan Islam
mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada
ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa
digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Unsur “memaksa”
(ijbari) ini terlihat, terutama dari kewajiban ahli waris untuk menerima
perpindahan harta peninggalan pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang
ditentukan oleh Allah di luar kehendaknya sendiri. Oleh karena itu, calon pewaris
yaitu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu
merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena
dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya
dengan perolehan yang sudah dipastikan. (Daud Ali, 1998, hal. 281-282).
Asas bilateral.
Dalam Hukum Kewarisan Islam berarti
seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak; dari kerabat
keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan. Asas ini dapat
dilihat dalam surat An-Nisa’ ayat 7, 11, 12, dan 176.
Asas individual.
Maksudnya bahwa harta warisan dapat
dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan. Untuk itu,
dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang
kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut
bagian msing-masing. Dalam hal ini, setiap ahli waris berhak atas bagian yang
didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain, karena bagian
masing-masing sudah ditentukan.
Asas individual ini diperoleh dari kajian Al-Qur’an mengenai pembagian warisan.
Misal surat An-Nisa’ ayat 7, dalam garis hukum-garis hukum di dalamnya
menjelaskan hak lak-laki untuk menerima warisan dari orang tua atau keluarga
dekatnya. Demikian juga halnya perempuan berhak menerima harta warisan orang
tua atau kerabatnya baik sedikit maupun banyak. Bagian mereka (masing-masing)
sudah ditentukan
.
Asas keadilan berimbang.
Perkataan adil terdapat banyak
dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, kedudukannya sangat penting dalam sistem
hukum Islam, termasuk hukum kewarisan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam
sistem ajaran Islam, keadilan itu adalah titik tolak, proses dan tujuan segala
tindakan manusia. ( Daud Ali, 1998 , h. 286-287). Dengan demikian, asas ini mengandung
arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban,
antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.
Asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia. Ini
berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang.
Menurut Hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang
disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu
meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada
orang lain dan disebut sebagai harta warisan, selama orang yang mempunyai harta
itu masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang
yang masih hidup kepada orang lain baik secara langsung maupun yang akan
dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori
kewarisan menurut hukum Islam. Oleh karena itu Hukum Kewarisan Islam hanya
mengenal satu bentuk kewarisan saja, yaitu kewarisan sebagai akibat dari
kematian seseorang. ( Daud Ali, 1998, Hal 288)
Filosofi
waris dalam Hukum Islam
Seperti telah disebutkan diawal
bahwa ketentuan Kewarisan telah diatur sedemikian rupa dalam Al-Qur’an.
Dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya, ayat-ayat hukum inilah yang paling
tegas dan rinci isi kandungannya. Ini tentu ada hikmah yang ingin di capai oleh
Al-Qur’an tentang ketegasan hukum dalam hal Kewarisan.
Berikut ini ada beberapa hikmah adanya pembagian waris
menurut hukum islam:
1.
Pembagian waris dimaksudkan untuk
memelihara harta (Hifdzul Maal). Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan
Syari’ah (Maqasidus Syari’ah) itu sendiri yaitu memelihara harta.
2.
Mengentaskan kemiskinan dalam
kehidupan berkeluarga.
3.
Menjalin tali silaturahmi antar
anggota keluarga dan memeliharanya agar tetap utuh.
4.
Merupakan suatu bentuk pengalihan
amanah atau tanggung jawab dari seseorang kepada orang lain, karena hakekatnya
harta adalah amanah Alloh SWT yang harus dipelihara dan tentunya harus
dipertanggungjawabkan kelak.
5.
Adanya asas keadilan antara
laki-laki dan perempuan sehingga akan tercipta kesejahteraan sosial dalam
menghindari adanya kesenjangan maupun kecemburuan sosial.
6.
Melalui sistem waris dalam lingkup
keluarga.
7.
Selain itu harta warisan itu bisa
juga menjadi fasilitator untuk seseoranng membersihkan dirinya maupun hartanya
dari terpuruknya harta tersebut.
8.
Mewujudkan kemashlahatan umat islam.
9.
Dilihat dari berbagai sudut, warisan
atau pusaka adalah kebenaran, keadilan, dan kemashlahatan bagi umat manusia.
10. Ketentuan
hukum waris menjamin perlindungan bagi keluarga dan tidak merintangi
kemerdekaan serta kemajuan generasi ke generasi dalam bermasyrakat.
Filosofi
Asas Pembagian 2:1
Asas pembagian 2:1 ini masih dianut
hampir di jajaran kalangan umat islam. Maksud dari asa 2:1 adalah kaum
laki-laki mendapatkan sedangkan kaum perempuan mendapatkan 1 bagian atau dengan
kata lain, separuh dari bagian kaum laki-laki. Asas waris 2:1 ini dinilai oleh
sebagian kalangan, khususnya dikalangan Feminis gender. Menurut mereka asas
tersebut merupakan asas yang cenderung diskriminatif kepada perempuan karena
mengesampingkan asas keadilan semata.
Dalam gagasan rektualisasi ajaran
islam, Munawir Sadjali mengatakan bahwa: “ketentuan pembagian waris 2:1 ini
telah banyak ditinggalkan oleh masyarakat islam di Indonesia, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Menyimpangan terhadap Faraidh itu tidak selalu
disebabkan oleh tipisnya keislaman, melainkan juga dapat disebabkan oleh
pertimbangan budaya dan struktural sosial, dan budaya kita adalah sedemikian
rupa sehingga pelaksanaan Faraidh secara utuh kurang dapat diterima oleh rasa
keadilan.
Berawal
dari sinilah muncul sebuah gagasan mengenai Reaktualisasi terhadap pembambagian
waris 2:1 yang jelas jelas menjadi asas hukum kewarisan islam. Oleh karena itu,
tidaklah heran bila kemudian sebagian orang menilai bahwa asas 2:1 ini
cenderung tidak adil, Diskriminatif. Namun, ada juga sebagian orang yang malah
merasa ada unsur-unsur keadilan dalam asas pembagian mengenai 2:1 ini. Oleh
sebab itu, sebelum melangkah lebih jauh mengenai pembahasan adil atau tidak
adilnya asas 2:1 ini. Alangkah baiknya bila kita menilik kembali prinsip
keadilan yang dikemukakan oleh filosof terkenal berkebangsaan Yunani,
Aristoteles. Menurutnya ada dua macam prinsip keadilan, keadilan distributif
maupun kumulatif secara definitif, keadilan distributif adalah keadilan yang
memberikan kepada tiap orang menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya
tiap-tiap orang mendapatkan bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan namun
kesetaraan. Sedangkan keadilan kumulatif adalah keadilan yang memberikan pada
tiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangannya.
Oleh
karena itu, bila kita mengukur dari ukuran keadilan yang ditawarkan sang
filosofis, maka hukum waris islam dinilai telah memenuhi rasa keadilan baik keadilan
distributif maupun keadilan kumulatif. Segi keadilan Distributifnya terletak
pada asas 2:1 itu, maksudnya kaum laki-laki mendapatkan 2 bagian yang berarti
lebih besar darikaum perempuan yang hanya mendapatkan separuh dari bagian kaum
laki-laki. Sedangkan keadilan kumulatifnya terletak pada asas pembagian yang
tidak diskriminatif. Maksudnya selain kaum laki-laki, kaum perempuan, bahkan
anak-anak pun bisa mendapatkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
hukum waris.
Filosofi
mengenai besarnya bagian laki-laki ini bisa jadi disebabkan karena laki-laki
mengemban tanggung jawab yang lebih besar dalam keluarga, bila ia ingin menikah
pun, laki-laki harus membayar mahar dalam perkawinan. Sedangkan kaum perempuan
secara umum tidak dibebani kewajiban untuk membiayai kehidupan rumah tangganya
apalagi membayar maskawin.
Wasiat
Dalam
definisi wasiat secara lughawi, wasiat berasal dari bahasa arab yang berarti
"pesan". Makna wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut
istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk
orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia. Secara umum
pemberian wasiat dikaitkan dengan kondisi seseorang (yang memberi wasiat) dalam
keadaan sakit menjelang kematian. Sementara
wasiat meliputi atas sesuatu pekerjaan, jasa, maupun harta peninggalan. Dengan
demikian, lingkup wasiat dalam pembahasan fiqih meliputi pesan atas sesuatu
harta dari seseorang menjelang kematian.
Pelaksanaan
wasiat dianggap benar secara ilmu fiqih jika memenuhi rukun wasiat, yaitu :
- al-mushi (orang yang mewasiatkan)
- al-musha lahu (orang yang menerima wasiat)
- al-musha bihi (sesuatu yang diwasiatkan)
- shighat (ijab dan qabul).
Pengertian
dan filsafat wasiat wajibah
Wasiat wajibah sebagai
suatu pembebenan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak agar harta
seseorang yang telah meninggal dunia, tetapi tidak melakukan wasiat secara
sukarela, agar diambil hak atau benda peninggalannnya untuk di berikan kepada
orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.
Wasiat
wajibah ditetapkan untuk memberikan hak atau bagian harta kepada orang-orang
yang secara kekerabatan mempunyai hubungan darah, akan tetapi kedudukannya
termasuk klasifikasi dzawil al-arqom atau ghairul warits. Misalnya,cucu
laki-laki garis perempuan atau cucu perempuan garis perempuan. Dalam kitab
undang-undang hukum wasiat mesir No.7 TH1946, sebagaimana dikutip Fathurrohman, menetapkan
wajibnya pelaksanaan wasiat wajibah tanpa tergantung persetujuan ahli waris, kendatipun
si mayit tidak mewasiatkannnya. Bahkan pelaksanaannya harus didahulukan sebelum
wasiat-wasiat yang lain di tunaikan. Sudah barang tentu di laksanakan setelah
kebutuhan perawatan jenazah di penuhi dan pelunasan hutang si mayit di bayar.
Dalam
posisi sebagai dzawil al arham yang memiliki kekerabatan,dapat dirasakan
ketidak adilan, jika umpamanya sisa harta Yang masih ada setelah di ambil as
habul di serahkan ke baitul mal yang
pada akhirnya bermanfaat juga pada kepentingan kaum muslimin. Atau boleh jadi
disebabkan karena orang tua ahli waris dzawil arqam tersebut meninggal dunia
terlebih dahulu dari pada muwarris. Sebab sekiranya, orang tuanya tidak lebih
dahulu meninggal dunia, maka mereka juga padasaatnya akan menerima bagian
melalui orang tuanya. Firman Allah SWT:
...4 (#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr&
<Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÏ. «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7LìÎ=tæ ÇÐÎÈ
“...orang-orang yang mempunyai
hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang
bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.”
Pemberian wasiat wajibah ini dapat di pandang lebih memberikan manfaat
kepada mereka. Manfaat ini bisa dilihat sebagai upaya untuk menghindari
terjadinya perpecahan di dalam keutuhan si mayit. Karena menurut AL-Ghazali,
menghindari kemudharatan adalah bagian dari upaya mewujudkan kemaslahatan.
Wakaf
Definisi
Wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari
waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil
(tertawan), dan al-man’u (mencegah). Sedangkan menurut istilah syara’ yang
dimaksud dengan wakaf sebagaimana yang di definisikan oleh para ulama adalah menahan
suatu benda yang kekal zatnya dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna
diberikan di jalan kebaikan.
Dasar
hukum wakaf
Adapun yang dinyatakan sebagai
dasar hukum wakaf oleh para ulama, al-Qur’an surat al-Hajj : 77
(#qè=yèøù$#ur uöyø9$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ) ÇÐÐÈ
“....perbuatlah kebajikan,
supaya kamu mendapat kemenangan.”
Dalam ayat lain yaitu surat
al-Imran : 92
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ
92. kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian
harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya
Allah mengetahuinya.
Tinjauan
Filosofi Wakaf Dalam Islam
Pada zaman Nabi
tidak timbul perbedaan pendapat tentang wakaf, karena masih berkonsultasi
langsung dengan nabi. Tapi setelah nabi wafat timbul banyak perbedaan di
kalangan imam madzhab, tetapi imam madzahab sependapat, bahwa perbuatan mewakafkan
benda, yaitu menyedekahkan manfaat harta yang di wakafkan itu merupakan amal
sholeh yang intitusinya terdapat dalam dalam syari’at islam. Adapun
pendapat-pendapat tentang masalah wakaf, yaitu:
1) Interpretasi
wakaf menurut madzhab Hanafi
Abu Hanifah sependapat
dengan Syuraih Ismail ibn Isa al-kindi dan Jufar, bahwa apabila orang telah
mewalafkan hartanya, yaitu menyedekahkan manfaat hartanya, maka institusi
wakaff tidak ada kecuali 3 hal, (a). Wakaf masjid (b). Wakaf yang telah diputus
pengadilan (c). Wakaf wasiat
Abu Hanifah berpendapata
bahwa harta yang telah di wakafkan boleh ditarik oleh wakif nya dan harta itu
tetap menjadi miliknya.
Alasannya ialah mewakafkan harta itu sama dengan institusi pinjam meminjam
(ar-Riyah). Hanya saja perbedaan antara wakaf dengan ar-riyah, kalau wakaf bendanya
ada pada wakif sedangkan pinjam meminjam bendanya ada pada orang yang meminjam
atau orang yang mengambil manfaatnya.
2) Interpretasi
wakaf menurut madzhab Maliki
Berbeda dengan madzhab
Hanafi, Imam Malik berpendapat bahwa apabila seseorang mewakafkan hartanya,
maka perbuatan itu mempunyai ketentuan hukum bahwa wakaf itu terjadi dan ada
institusi hukumnya dalam islam. Menurut imam malik, wakaf itu tetap menjadi
milik orang yang telah mewakafkannya, artinya harta itu tidak keluar dari hak
milik si wakif. Akan tetapi si wakif dilarang untuk mentransaksikan harta yang
diwakafkannya dengan menjual, mewariskan, dan menghibahkannya selama harta itu
di wakafkan. Alasan Imam tentang kepasttian adanya institusi wakaf dan bahwa
harta yang di wakafkan itu tetap menjadi si wakif adalah pengertian dari hadis
Umar yang menunjukan bahwa harta yang diwakafkan itu keluar dari milik si
wakif. Sesuatu pemilikan terhadap benda tidak dapat di hukumi hilangnya
pemilikan itu tanpa dalil.
3) Pendapat
Abu Yusuf dan Muhammad dari Madzhab Hanafi
Menurut mereka harta
yang telah di wakafkan tidak lagi menjadi milik si wakif dan tidak pula menjadi
milik orang lain, melainkan milik Allah. Dengan demikian wakif tidak lagi
memiliki wewenang untuk mentransaksikannya sebab sudah bukan miliknya lagi.
4) Interpretasi
wakaf menurut Madzhab Syafi’i
Imam Syafi’i
berpendapat bahwa kepastian adanya wakaf ditunjukan oleh adanya shigat (pernyataan)
dari wakif dan terpenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat wakaf. Menurut Imam
Syafi’i harta yang sudah diwakafkan bukan lagi menjadi milik orang yang
mewakafkannya, melainkan berpindah menjadi milik Allah. Alasannya hadis yang
diriwayatkan dari Umar ibn Khatab tentang tanahnya di haibar. Yaitu sabda nabi:
“kalau kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu dan kamu sedekahkan hasilnya
kemudian Umar melakukan shodaqoh, tidak di jual dan tidak di hibahkan pula
diwariskan.
5) Interpretasi
wakaf menurut Madzhab Ahmad ibn Hanbal
Menurut Ahmad ibn
Hanbal wakaf terjadi karena 2 hal, yang pertama: dengan perbuatan, yang menunjukan
bahwa menurut kebiasaan (‘Urf) bahwa seseorang telah mewakafkan hartanya. Kedua
dengan perkataan baik dengan perkataan yang jelas maupun dengan perkataan yang
tidak jelas. Namun, menurut Imam ibn Hanbal, mewakafkan dengan kata-kata
kinayah harus diisertai dengan niat mewakafkan. Apabila seseorang telah jelas
mewakafkan maka si wakif tidak boleh mempunyai kekuasaan bertindak atas harta
yang telah diwakafkannya.
Hibah
Definisi Hibah
Berkenaan dengan
definisi hibah (هِبَةٌ), As Sayid Sabiq berkata di dalam kitabnya:
“(Definisi) hibah menurut istilah syar’i ialah, sebuah akad yang tujuannya
penyerahan seseorang atas hak miliknya kepada orang lain semasa hidupnya
tanpa imbalan apapun”.
Beliau berkata pula: “Dan hibah bisa juga
diartikan pemberian atau sumbangan sebagai bentuk penghormatan untuk orang
lain, baik berupa harta atau lainnya”. Sayyid Sabiq
mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik
seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Hibah juga dapat diartikan dengan pengeluaran harta semasa
hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang atau untuk
kepentingan sesuatu badan sosial, keagamaan, ilmiah juga kepada seseorang yang
berhak menjadi ahli warisnya.
Sedangkan Sulaiman Rasyid mendefinisikan bahwa hibah adalah memberuikan zat
dengan tidak ada tukarnya dan tidak ada karenanya. Dalam
rumusan kompilasi, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat
sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra prestasi dari pihak
penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih
hidup (inilah yang membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan
setelah si pewasiat meninggal dunia). Dalam istilah hukum perjanjian yang
seperti ini dinamakan juga dengan perjanjian sepihak (perjanjian unilateral)
sebagai lawan dari perjanjian bertimbal balik (perjanjian bilateral).
Sumber Hukum
Sumber
hukum hukum menurut al-Imam ahmad bin ruslan asy-Syafi’i dalam kitabnya
Mawahibus Shamad adalah dalam firman Alloh surat an-Nisa ayat 4:
(...4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D ÇÍÈ
“....kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.”
Juga
dalam hadis Nabi SAW yang artinya:
“Dari Nu’man bin Basyir
r.a beliau berkata: seseungguhnya ayahnya membawa dia menghadap Rasulullah,
seraya beliau berkata: sesungguhnya saya memberikan anakku yang ini seorang
budak yang menjadi milik saya. Lalu Rasulullah bertanya, apakah semua anakmu
kamu berikan seorang budak seperti ini? Beliau menjawab, tidak! Lalu Rasulullah
bersabda, ambillah dia kembali.”
Hadis
tersebut sebagai dalil kewajiban berlaku adil antara anak-anak dalam pemberian.
Al-bukhari sudah menjelaskan dan beberapa ulama lain, sesungguhnya hibah itu
batal tanpa persamaan diantara anak-anak itu.
Filosofi hibah
Perintah
Allah dan Rasulullah pasti mempuyai pemanfaatan trhadap umat yang
melaksanakannya, tak terkecuali dengan perintah hibah. Maka bagi seorang yang
melaksanakan hibah tersebut pastilah mendapatkan hakikat manusia yang selalu
hidup Dengan sesamanya, salah satunya adalah
:
1. Dengan
hibah maka manusia akan saling mencintai dan mempunyai ikatan yang kuat
diantara sesamanya, seperti yang telah diterangkan dalam hadits nabi :
Artinya : “ Dari Abu
Hurairah R.A. dari Nabi Saw, beliau bersabda : saling berhadiahlah kaliian
niscaya kamu akan saling mencintai”. ( H.R. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad
dan diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad yang bagus ).
2. Dengan
Hibah juga dapat menghilangkan kedengkian. Seperti yang telah diterangkan dalam
hadits Nabi :
Artinya : Dari Anas R.A
: Rasulullah Saw bersabda : “saling memberi hadiahlah kamu sekalian karena
sesungguhnya hadiah itu menghilangkan kedengkian”. ( H.R Al-Bazzar dengan sanad
yang lemah ).
Nisbah (hubungan) antara Hibah, Wasiat dan
Waris
Hubungan hibah dengan waris menurut Kompilasi Hukum Islam
Di dalam Kompilasi Hukum Islam, disebutkan
hubungan hibah dengan waris terdapat dalam Pasal 211, yaitu :“Hibah dari
orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.”[14][4] Dalam hal ini, bisa dianalisis lebih lanjut, maka Pasal 211 Kompilasi Hukum
Islam memuat aspek urf, karena setelah melihat nas, baik itu Al-Qur’an
maupun Hadist, tidak menjumpai nas yang menunjukkan tentang diperhitungkannya
hibah orang tua kepada anak sebagai warisan.
Dengan demikian, bahwa ketentuan Pasal 211
Kompilasi Hukum Islam tentang hibah orang tua kepada anaknya, dapat
diperhitungkan sebagai warisan. Hibah tersebut merupakan adat kebiasaan yang
telah mengakar dan telah diterima oleh masyarakat Indonesia., adat istiadat
semacam ini menurut kaidah-kaidah Hukum Islam disebut urf. Yang dimaksud
dengan urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, yang
telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan atau
dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu. Urf disebut juga
dengan adat (kebiasaan).
Urf dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :
·
Urf Sahih adalah suatu yang telah
dikenal manusia yang tidak bertentangan dengan dalil syara, tidak menghalalkan
yang haram dan tidak menghalalkan yang wajib. Urf Sahih ini harus
dipelihara dalam pembentukan hukum dan di dalam Pengadilan. Bagi seorang
mujtahid, harus memeliharanya dalam waktu membentuk hukum, seorang hakim yang
harus memeliharanya ketika mengadili, karena apa yang telah dibiasakan dan
dijalankan oleh masyarakat adalah kebutuhan dan menjadi maslahat yang
diperlukannya, selama kebiasaan tersebut tidak berlawanan dengan syari’at
haruslah dipelihara.
·
Urf Fasih adalah sesuatu yang
dikenal manusia tetapi bertentangan dengan syara atau yang menghalalkan yang
haram dan membatalkan yang wajib. Urf ini tidak harus
dipelihara, karena dengan memeliharanya, berarti bertentangan dengan dalil
syara atau membatalkan Hukum Syara.
Fakta, bahwa hibah orang tua kepada
anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan, telah menjadi tradisi atau urf
dikalangan masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat Jawa yang bersifat parental,
telah berlaku suatu tradisi penghibahan terhadap
anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Di waktu anak menjadi dewasa dan
pergi meninggalkan rumah orang tuanya untuk mulai hidup berumah tangga dan
membentuk keluarga yang berdiri sendiri, maka sering kali anak-anak itu sudah
dibekali sebidang tanah pertanian, beserta sebidang tanah pekarangan serta
beberapa ekor ternak. Harta ini merupakan dasar materil bagi keluarga baru itu,
penghibahan sebagian dari harta keluarga kepada anak. Kemudian, setelah orang
tua menghibahkan ini meninggal, dilakukan pembagian harta
peninggalan kepada ahli warisnya, maka hibah tersebut akan diperhatikan serta
diperhitungkan dengan bagian yang semestinya diterima oleh anak-anak yang
bersangkutan, bila mereka itu belum menerima bagian dari harta keluarga secara hibah.
Apabila, seseorang anak mendapatkan
sesuatu pemberian semasa hidup bapaknya, demikian banyaknya sehingga boleh dianggap ia
telah mendapatkan bagian penuh dari harta peninggalan bapaknya, maka anak ini
tidak lagi berhak atas harta yang lain yang dibagi-bagi setelah bapaknya
meninggal dunia. Akan tetapi, setelah melihat banyaknya harta peninggalan,
ternyata yang telah diterima anak tersebut masih belum cukup, maka ia akan
mendapat tambahan pada saat harta peninggalan bapaknya dibagi-bagi, sehingga bagiannya
sama dengan saudara-saudaranya yang lain.
Tradisi yang sama juga dilaksanakan oleh
masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan matrilineal, seperti masyarakat
Minangkabau dan oleh masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal,
seperti masyarakat Batak. Tujuan dari kebiasaan ini adalah untuk menghindari
perselisihan di antara anak-anak pada saat pembagian harta warisan setelah
orang tuanya meninggal dunia.
Ø Secara karakteristik hibah dapat diperhitungkan sebagai warisan
Penghibah yang dilakukan oleh orang tua
kepada anaknya dalam keadaan tertentu dapat diperhitungkan sebagai warisan.
Hanya dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam tidak memberi patokan secara jelas
kapan suatu hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan,
secara karakteristik dapat dikemukakan di sini beberapa patokan antara lain :
·
Harta yang diwariskan sangat kecil, sehingga hibah yang diterima oleh salah
seorang anak, tidak diperhitungkan sebagi warisan dan ahli waris yang lain
tidak memperoleh pembagian waris yang berarti.
·
Penerima hibah hartawan dan yang berkecukupan, sedangkan ahli waris
yang lain tidak berkecukupan, sehingga penghibah itu memperkaya
yang sudah kaya dan memelaratkan yang sudah melarat.
Oleh karena itu pantas dan layak untuk
memperhitungkan sebagai warisan. Menurut
Pasal 1086 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, seluruh penghibahan, oleh orang
yang meninggalkan harta warisan pada waktu ia masih hidup. Menurut Pasal 1096
Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
ü Hal sesuatu yang dimanfaatkan untuk memberi suatu kedudukan dalam masyarakat atau
suatu jabatan atau pekerjaan terhadap ahli waris.
ü Hal sesuatu yang dimaksudkan untuk membayar hutang dari ahliwaris.
ü Hal sesuatu yang diberikan kepada si ahli waris pada waktu ia menikah selaku bekal untuk hidup setelah pernikahan itu.
Sebaliknya oleh Pasal 1097 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dikatakan apa yang tidak perlu diperhitungkan
adalah :
ü Biaya untuk nafkah dan pendidikan si ahli waris.
ü Biaya untuk belajar guna perdagangan, kesenian, kerja tangan atau
perusahaan.
ü Biaya untuk pengajaran.
ü Biaya pada saat nikah dan untuk pakaian yang perlu untuk hidup setelah
nikah.
ü Biaya untuk membayar orang yang menggantikan si ahli waris sebagai pewajib
dalampertahanan negara.
Menurut Pasal 1098 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, dari benda-benda yang mesti diperhitungkan itu juga harus
diperhitungkan juga hasil-hasil yang dipetik dari benda-benda itu, mulai dari
meninggalnya orang yang meninggalkan harta warisan. Oleh Pasal 1099 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata menegaskan pula,
bahwa kalau ada benda-benda yang musnah, bukan dari kesalahan si ahli waris,
maka harga nilai dari benda-benda itu, tidak perlu diperhitungkan. Sedangkan menurut Pasal 1089 dan Pasal 1090 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa yang harus
diperhitungkan itu, tidak perlu memperhitungkan penghibahan itu. Juga bilamana,
seorang cucu langsung menjadi ahli waris, maka ia tidak perlu memperhitungkan
benda-benda yang oleh orang yang meninggalkan harta warisan dihibahkan kepada
bapaknya si cucu itu, apabila cucu itu menjadi ahli waris sebagai pengganti
dari orang tua yang meninggal lebih dahulu dari pada orang yang
meninggalkan harta warisan (plaatsvervulling), maka ia harus
memperhitungkan penghibahan kepada orang tua itu, dan juga kalau ia menolak
harta warisan. Bilamana penghibahan
dilaksanakan oleh bapaknya atau ibunya sendiri, maka penghibah itu harus
diperhitungkan. Kalau penghibahan itu dilaksanakan oleh mertuanya, maka barang
itu tidak perlu diperhitungkan.
Hubungan Hibah dan Wasiat
Hibah dan wasiat adalah perbuatan
hukum yang mempunyai arti dan peristiwa yang berbeda dan sekilas tampaknya
begitu sepele apabila dilihat dari perbuatan hukum dan peristiwanya sendiri.
Meskipun tampaknya sepele tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan
cara-cara yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa
hukum yang sepele tadi, padahal khasanah materi hukum Islam dibidang hibah dan
wasiat ini bukan hukum ciptaan manusia, tetapi hukumnya ditetapkan Allah SWT
dan RasulNya(Al-Baqarah ayat 177 dan ayat 182).Dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi HukumIslam (KHI)[15][5] kata wasiat
disebut lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih dan KUH
Perdata hukum hibah lebih dahulu dibahas, baru kemudian wasiat. Tidak prinsip
memang antara yang lebih dahulu disebut atau dibahas antara hukum hibah dan
hukum wakaf, namun sistematika pembahasan terhadapmateri tersebut dalam hukum hibah dan hukum wakaf dimulai membahas
hibah, perbuatan hukum yang berlakunya setelah kematian pemberi wasiat
Ketentuan hibah disebutkan surat
Al-Baqoroh ayat 177 dan surat Al-Maidah ayat 2, sedangkan hadits adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Hibah dan wasiat sendiri
pada dasarnya untuk tujuan yang baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari
seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Faktor
yang paling dalam disyariatkan hibah dan wasiat ini adalah faktor kemanusiaan,
keikhlasan dan ketulusan dari penghibah yang berwasiat. Kalapun akan di
bedakannya hanya waktu pelaknasaannya, yaitu hibah dilaksanakan semasa
penghibah masih hidup, sedang wasiat dilaksanakan setelah pewasiat wafat.
Dikatakan hibah dan wasiat pada asanya adalah pemberian seseorang kepada orang
lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT karena arti harfiah dari 2 (dua)
kata ini mendekati arti yang sama. wasiat artinya menjadikan, menaruh belas
kasihan, berpesan menyambung, memerintah, mewajibkan. Sedangkan hibah diartikan
pemberian tanpa syarat tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Oleh karena
itu oleh mazhab Maliki hibah sama dengan hadiah, hibah menurut mazhab Syafi’i
adalah pemberian untuk menghormati atau memuliakan seseorang tanpa bermaksud
mengharapkan pahala dari Allah SWT. Menurut mazhab Syafi’i hibah mengandung dua
pengertian, yaitu pengertian umum dan khusus, pengertian umum mencakup hadiah
dan sedekah dan pengertian khusus yang disebut hibah apabila pemberian tersebut
tidak bermaksud menghormati atau memuliakan dan mengharapkan ridho Allah SWT.
Jika pemberian(hadiah) tersebut bermaksud menghormati atau memuliakan yang
diberi disebut hadiah, jika pemberian mengharapkan ridho Allah SWT atau
menolong untuk menutupi kesusahannya disebut sedekah. Hibah dan wasiat dilihat
dari Hikmatu Al-Tasyri (Filsafat Hukum Islam) adalah untuk memenuhi hasrat
berbuat bagi umat islam yang beriman kepada Allah SWT (Al-Baqoroh ayat 177).
Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang
akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih (Free Choise) dan
menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya
(Khiyar Fil-kasab). Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak
akan menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak seorangpun dapat
menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya masih lebih
dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam hanya menolong hak
anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat melebihi 1/3 (sepertiga)
dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua pertiga) dari warisan ayah yang
menjadi hak anak. Oleh karena itu pula wasiat selalu didahulukan dari pembagian
waris, tingkat fasilitasnya sama dengan membayar zakat atau hutang (jika ada)
berkenaan dengan perbuatan hukum dan peristiwa hukum elaksanaan hibah dan
wasiat yang tampak sepele sehingga karena dianggap sepele cenderung dilakukan
tanpa perlu dibuatkan akta sebagai alat bukti. Memang hukum hibah ansich tidak
menimbulkan masalah hukum, karena hibah ansich adalah pemberian yang bersifat
final yang tidak ada seorangpun yang ikut campur, namun apabila hibah dikaitkan
dengan wasiat apabila wasiat behubungan dengan kewarisan, maka akan menimbulkan
masalah hukum.Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah
satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3
tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang
sekali, bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama
dibandingkan dengan perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara
perceraian, seperti pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain
serta perkara kewarisan. hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap
perbuatan baik, maka tidak diperlukan akta sebagai alat buktiatau nilai objek
hibah dan wasiat tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan
menurut ketentuan hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak
memiliki bukti (walaupun terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui
Pengadilan Agama. Dengan demikian sulit mendapatkan putusan yang bernilai
yurisprudensi (stare decicis) tentang penemuan hukum oleh hakim dibidang wasiat
dan hibah ini untuk dianalisis dan kajian ilmia serta diuji dari metode dan
teori hukum Islam.
Hibah dan wasiat yang diatur
dalam KHI dimuat dalam Bab V (wasiat pasal 194-209) dan Bab VI (hibah pasal
210-214). Ketentuan wasiat yang diatur didalamnya menyangkut mereka yang berhak
untuk berwasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidakboleh
dalam wasiat. Sedangkan ketentuan hibah diatur secara singkat yang terdiri dari
4 pasal. Meskipun ketentuan wasiat dan hibah telah diatur dalam KHI yang
notabene merupakan transformasi dari ketentua syari’ah dan fiqih, namun karena
jarang terjadi sengketa yang sampai diselesaikan di Pengadilan Agama, maka
dengan sendirinya belum ada permasalahan hukum yang timbul diluar yang
ditentukan dalam KHI. lain halnya kalau dilihat dari pembahasan dalam
kitab-kitab fiqih yang begitu detail dan antipatifnya pendapat Ulama Fiqih
tentang kemungkinan-kemungkinan masalah yang timbul, sehingga lazim terjadi
perbedaan pendapat diantara Ulama fiqih dalam mengkaji setiap permasalahan yang
terjadi. Hibah yang diatur dalam pasal 210 KHI dan fiqih dibatasi
sebanyak-banyaknya 1/3 harta benda dari harta benda yang merupakan hak
penghibah, malah Ibu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim
menganjurkan sebanyak-banyaknya 1/4 dari seluruh harta. yaitu pemberian benda
secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih
hidup untuk dimiliki. Pengertian hibah dalam kajian fiqih adalah pemberian sesuatu
untuk menjadi milik orang lain dengan maksud untuk berbuat baik yang
dilaksanakan semasa hidupnya tanpa imbalan dan tanpa illat (karena sesuatu).
Definisi yang diatur dalam KHI dan yang terdapat dalam kitab fiqih pada
dasarnya tidak ada perbedaan, namun dalam kajian fiqih dijelaskan pengertian
shadaqah dan illat untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT, sedangkan hadiah
semata-mata untuk memuliakan orang yang diberi hadiah yang dampaknya akan
melahirkan saling mengasihi(tahaaduu tahaabuu). dalam KHI disyaratkan penghibah
sudah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa paksaan yang
sama maknanya dengan kajian fiqih, bahwa anak kecil dan wali tidak sah
menghibahkan, karena belum cukup umur (ahliyatul ada’al-kamilah) dan bagi wali
karena benda yang dihibahkan bukan miliknya.Pelaksanaan hibahdisyaratkan ijab
kabul, sedangkan dalam shadaqah dan hadiah tidak disyaratkan ijab kabul.
Hubungan wasiat dan waris
Dalam Al-Quran, ALLAH berfirman:
.`ÏB ω÷èt 7p§‹Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3
(pembagian itu) ialah sesudah diselesaikan wasiat oleh
simati dan sesudah di bayarkan utangnya (Surah An-Nisa': 11)
Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan
tentang segala aspek kehidupan manusia,termasuk dalam hal pembagian harta
warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil -
adilnya agar harta menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka
bagi keluraga yang ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak
sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan
harta warisan. Pembagian harta warisan didalam islam diberikan secara detail,
rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling
bertikai dan bermusuhan yang terpenting pembagian harta warisan setelah di
tunaikan dulu wasiat/hutang si mayat apabila ia berwasiat/berhutang piutang,
Wakaf
adalah adalah salah satu khazanah yang tidak akan hilang hingga hari Kiamat,
bahkan akan berkembang subur sekiranya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Ia adalah suatu ibadat suci yang amat dituntut dalam Islam. Jumhur fuqaha
berpendapat bahawa wakaf adalah diharuskan dalam konteks amalan kebaikan.
Tujuan disyariatkan wakaf ialah untuk kebaikan Islam. Oleh itu, apa jua yang
membawa kebaikan kepada manusia, sama ada orang Islam mahupun bukan Islam,
bahkan untuk kebaikan haiwan dan alam sekitar juga termasuk di dalam kategori
wakaf. Keperluan masyarakat yang akan menentukan ke arah mana harta wakaf itu
disalurkan
Mewakafkan
harta yang disayangi dapat mengikis sifat perasaan kedekut dan bahkil terhadap
harta. Secara tidak langsung ia mendidik jiwa seseorang itu menjadi pemurah,
tidak mementingkan diri sendiri, menanam sifat bertimbang rasa, kasih mengasihi
sesama insan lain, mempereratkan tali siraturrahim, menjauhkan diri daripada
sifat tamak dan akhirnya untuk mencapai keredhaan Allah SWT.
Selain
itu, wakaf juga mempunyai tujuan lain iaitu dapat memberi peluang kepada
orang-orang yang tidak mempunyai anak atau zuriat untuk mempelbagaikan bentuk
kebajikan dengan mewakafkan harta lebihan mereka dan barang kesayangannya demi
membantu insan lain yang lebih memerlukan dan berhak ke atas harta tersebut.
Ini bermakna hartanya itu akhirnya dapat dikongsi oleh masyarakat umum dan
dapat dimanfaatkan secara berpanjangan. Lebih daripada itu, wakaf memainkan peranan yang penting dalam pembangunan
ekonomi umat Islam yang dapat menjamin keselamatan sosial masyarakat. Harta
diagih dan dimanfaat secara bersama. Secara tidak langsung ia dapat membantu
kerajaan dan membangunkan negara. Dari aspek pendidikan pula, wakaf dapat
membantu institusi pendidikan melalui sumbangan aset atau dalam bentuk wakaf
tunai. Universiti al-Azhar adalah salah satu contoh pendidikan wakaf yang telah
berjaya memberi sumbangan yang besar kepada umat Islam.
Sungguhpun
al-Quran tidak menyebut secara jelas tentang perkataan wakaf, namun tuntutan
agar umat Islam berlumba-lumba melaksanakan apa jua bentuk kebaikan yang
mendatangkan manfaat memang diperuntukkan secara jelas di dalam al-Quran,
sebagaimana firman Allah SWT :
artinya:“Tetapi
Ia hendak menguji kamu (dalam menjalankan) apa yang telah disampaikan kepada
kamu. Oleh itu berlumba-lumbalah membuat kebaikan (beriman dan beramal)salih”.
(Al-Quran, Surah al-Maidah (6):48)
Maksud ayat “Fastabiqu
al-Khayrat” di sini memberi makasud hendaklah bersegera dan berlumba-lumba
dalam melakukan apa jua kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam ayat
yang lain Allah SWT berfirman:
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, ruku’lah
serta sujudlah, (mengerjakan sembahyang) dan beribadatlah kepada tuhan kamu
(dengan mentauhidkan kepadaNya) sertakan amal kebajikan, supaya kamu berjaya (
di dunia dan akhirat)”. ( Al-Quran,
Surah al-Haj (17): 77.)
Perkataan “Waf
‘alu al-Khayr” di dalam ayat ini bermaksud mengerjakan apa jua perbuatan
yang baik, antaranya memperkukuhkan hubungan silaturrahim, berbudi pekerti yang
baik, hormat menghormati dan kasih mengasihi sesama manusia. Segala kebaikan
ini akan lahir melalui konsep pewakafan harta yang dapat dimanfaatkan oleh umat
Islam seluruhnya. Kecintaan manusia kepada harta benda adalah naluri setiap
manusia. Namun harta yang dianugerahkan itu adalah milik Allah yang bersifat
sementara. Oleh itu, Allah SWT menyeru umat Islam agar membelanjakan harta mereka
daripada apa yang disayangi dan dicintainya. Firman Allah SWT:
artinya: “Kamu sekali-kali akan dapat mencapai
(hakikat) kebajikan dan kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu dermakan
sebahagian dari apa yang kamu sayangi. Dan sesuatu apa jua yang kamu
dermakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”. (Al-Quran, Surah Ali -‘Imran (3): 92.)
Dalam ayat ini Allah SWT mengatakan al-Birr
bermaksud al-Khayr iaitu kebaikan merangkumi setiap apa yang
dibelanjakan oleh orang Islam daripada hartanya dengan mengharapkan keredhaan
Allah. Sesungguhnya apabila seseorang yang membelanjakan apa yang disukainya
demikian itu adalah sebaik-baik ketaatan. Maka seseorang itu tidak akan
mendapat kelebihan al-Birr sehinggalah dia membelanjakan apa yang
disayanginya. Sekiranya ayat ini dikhususkan selain kewajipan zakat adalah
lebih baik kerana ia dikhususkan kepada membelanjakan harta yang disayangi, dan
zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan dan tidak ada padanya i‘ta’
al-Hubb (pemberian harta yang disayangi). Ketika ayat ini diturunkan umat
Islam amat memahami perintah Allah ini dan mereka begitu gemar untuk berbakti
dengan menyerahkan segala apa yang disayangi dan mengorbankan harta benda
dengan ikhlas kerana mengharapkan balasan pahala yang besar di sisi Allah.
Begitu juga dengan Firman Allah
SWT yang berbunyi:
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, belanjakankanlah
(pada jalan Allah)sebahagian daripada hasil usaha kamu yang baik-baik
dan sebahagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu”. (Al-Quran, Surah al-Baqarah (2): 267.)
Apa yang
dimaksudkan dalam ayat ini, bukan hanya dikhususkan kepada pemberian zakat
sahaja, malahan nafkah adalah meliputi segala sedekah sunat yang lain seperti
hibah, derma, sokongan, bantuan dan seumpamanya. Pemberian ini hendaklah daripada sesuatu yang terbaik lagi disukai dan
diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Selain itu hendaklah memberikan
sesuatu dengan hati yang ikhlas supaya orang yang menerimanya akan senang hati
dan menghargai keluhuran budi orang yang memberi.
Di dalam surah al-Baqarah ini
juga sekali lagi Allah menegaskan tentang gesaan agar membelanjakan harta
sebagai sedekah yang sunat. Firman Allah SWT:
artinya: “Iaitu orang-orang yang beriman kepada
perkara-perkara yang ghaib, dan mendirikan (mengerjakan) sembahyang serta membelanjakan
(mendermakan) sebahagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka”.
(Al-Quran, Surah al-Baqarah (2): 3.)
Para sahabat
mengatakan maksud “membelanjakan” dalam ayat ini termasuk membelanjakan sama
ada dalam perkara sunat atau fardhu. Dalil daripada al-Sunnah pula terdapat riwayat daripada Ibn ‘Umar r.‘a
bahawa beliau pernah memperoleh sebidang tanah di Khaibar. Maka ‘Umar datang
berjumpa Rasulullah saw untuk bertanyakan pendapat Baginda tentang tanah
tersebut. ‘Umar berkata:
Ertinya:“Ya Rasulullah, saya
mendapat sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah saya perolehi harta yang
lebih baik daripadanya, maka apakah yang engkau suruh agar saya kerjakan?. Maka
jawab Rasulullah saw: Jika engkau suka, tahanlah harta itu dan engkau
sedekahkan manfaat atau nilainya. Dengan jawapan itu ‘Umar memilih jalan
mewakafkan tanah tersebut dengan syarat harta itu tidak boleh dijual,
dibeli, dihadiah dan tidak boleh dipusakai. Maka ‘Umar mewakafkan kepada fakir
miskin, kaum keluarganya yang terdekat, untuk menebuskan perhambaan, untuk
jalan Allah, untuk tetamu dan orang musafir. Tidak berdosa bagi orang yang
menguruskannya mengambilnya untuk makan secara makruf, atau memberi makan
kepada sahabat handai dan orang-orang yang berada dalam kesusahan.. (Hadith Riwayat Muslim)
Berdasarkan
kepada hadith ini, ‘Umar r.‘a adalah orang pertama yang melakukan wakaf.. Di dalam hadith ini menunjukkan kepada kita bahawa harta adalah sesuatu
yang sangat diingini dan dicintai oleh manusia. Oleh itu ‘Umar ingin melawan
sifat tamaknya terhadap harta dengan mencari jalan yang dapat menghampirkan
dirinya kepada Allah. Cara yang terbaik ialah dengan mewakafkan harta tersebut.
Maka dengan sendirinya wakaf itu menjadi ibadat yang amat berfaedah untuk
tempoh yang berpanjangan, berbeza dengan kebiasaan sedekah yang lain. Di dalam hadith lain Rasulullah saw bersabda:
Daripada Ibn ‘Umar katanya: Wahai
Rasulullah, sesungguhnya dalam seratus bahagian adalah termasuk bahagianku yang
berada di Khaibar. Aku tidak pernah memperoleh harta yang lebih disukai olehku.
Oleh itu aku ingin membelanjakannya. Maka Rasulullah saw bersabda: Kekalkanlah
harta yang asal dan bahagikan manfaatnya.
Rasulullah saw bersabda lagi:
artinya: “Apabila
manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara,
sedekah jariah atau ilmu yang dimanfaatkan atau anak yang soleh yang
mendoakannya kelak”.
Para ulamak
telah mentafsirkan bahawa sedekah jariah yang dinyatakan oleh Rasulullah saw
ialah wakaf. Rasulullah saw
menyarankan kepada ‘Umar agar memberhentikan penggunaan harta itu (menahan asal
harta itu) dan gunakan hasilnya untuk disedekahkan. Ini adalah satu teori
ekonomi yang amat penting dan berguna kepada manusia kerana ia mengajar kita
dua perkara tentang harta iaitu kemampuan harta bertambah melalui pelaburan dan
memanfaatkan hasil daripada harta wakaf dan bukannya harta itu sendiri.
Karena jika dengan imbalan, maka hal itu disebut
jual beli.
Menjadi solusi ketika tidak di mungkinkan membagi waris sesuai ajaran
sariat islam dan ditakutkan terjadi permusuhan diantara keluarga tersebut
Inpres presiden No.1
tahun 1991
Hj. Yusop Hj. Yahya (1998), “Pengurusan Tanah Wakaf di Perak: Amalan dan
Perancangan”, dalam Nik Mustapha Nik Hassan et. al. (ed), Konsep dan
Pelaksanaan Wakaf di Malaysia, Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam
Malaysia (IKIM), hlm.65.
Mohamad Akram Laldin, Mek Wok Mahmud, Mohd Fuad Sawari (2006), “Maqasid
Syariah dalam Pelaksanaan Waqaf”, (Konvensyen Wakaf Kebangsaan 2006,
Anjuran Jabatan Wakaf Zakat dan Haji, di Hotel Legend Kuala Lumpur, Pada 12-14
September 2006), hlm.7.