Powered By Blogger

^^WelcÔm3 tø Mý room^^

[all about something]

Senin, 17 Desember 2012

Perumusan Hukum dan Kebijakan, Pelaksanaan, Efektivitas, dan Hambatan

Membahas pembangunan bidang hukum sebagaimana di atas, tidak dapat melepaskan diri dari pembahasan tentang  kebijakan hukum atau politik hukum. Menurut G.P. Hoefnagels, kebijakan hukum merupakan bagian tidak terpisahkan (integral) dari kebijakan sosial (social policy); atau dengan kata lain, kebijakan sosial mencakup di dalamnya kebijakan hukum, yang selengkapnya dikatakan kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Jadi, kebijakan perundang-undangan (legislative policy) dan kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy), yang menurut Barda Nawawi Arief, adalah kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Dalam konteks ke-Indonesia-an, tujuan dimaksud telah dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diuraikan di muka.
           Dalam pandangan Sudarto, politik hukum atau kebijakan hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan  keadaan dan situasi pada suatu saat. Pada kesempatan lain beliau mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dari badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan mencapai apa yang dicita-citakan.
           Sedangkan  kebijakan sosial (social policy), menurut Barda Nawawi Arief, adalah segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian "social policy" sekaligus tercakup di dalamnya "social welfare policy" dan " social defence policy".
            Menurut H.P. Hoefnagels, dalam kebijakan hukum atau kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) ini meliputi  juga kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal - criminal policy). Beliau mendefinisikan criminal policy sebagai  the rational organization of social reaction to crime. Beberapa definisi ilustratif tentang criminal policy juga diberikan oleh Hoefnagels, seperti:
a.   Criminal policy is the science of responses;
b.   Criminal policy is the science of crime prevention;
c.   Criminal policy is a policy of designating human behavior of  crime;
d.   Criminal policy is a rational total of responses to crime.

            Dalam penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan yang integral, dalam arti:
a. Ada keterpaduan (integralitas)  antara politik kriminal dan politik sosial;
b. Ada keterpaduan (integralitas) antar penangulangan kejahatan dengan "penal" dan "non-penal".
            Penanggulangan kejahatan dengan sarana "penal" tentu saja dilakukan melalui serangkaian kebijakan hukum pidana (penal policy). Dengan demikian usaha dan kebijakan untuk membuat hukum pidana yang baik dan berdayaguna atau politik hukum pidana (penal policy) merupakan bagian dari politik criminal (criminal policy) sebagaimana telah diuraikan panjang lebar di atas.

Penegakan Hukum Berperspektif  Nilai-nilai Pancasila
            Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum mengatur suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum) yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Jadi tidak bisa dipisahkan begitu saja antara penegakan hukum dan pembuatan hukum.
            Upaya penegakan hukum memberikan arti adanya upaya untuk menjaga agar keberadaan hukum yang diakui di dalam suatu masyarakat dapat tetap ditegakkan. Upaya tersebut pada dasarnya harus menjamin agar setiap warga negara mematuhi hukum yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan. Ini, menurut Rudi Hartono, sejalan dengan asas restitution in integurm, bahwa keseimbangan dalam masyarakat yang telah terganggu (karena tidak dilaksanakan atau dilanggarnya suatu aturan hukum) harus dipulihkan ke keadaan semula, untuk tujuan menciptakan suasana yang teratur, tertib, damai, dan aman, yang merupakan jaminan bagi kelangsungan hidup manusia. Hukum mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan bersama, maka tata hukum bertitik tolak pada penghormatan dan perlindungan manusia. Oleh karena itu agar kepentingan manusia (justiabelen) terlindungi, sesuai dengan adagium "fiat justitia et pereat mundus", hukum harus ditegakan walaupun langit runtuh, baik dalam keadaan normal atau damai, atau pada saat  terjadi pelanggaran hukum.
            Akan tetapi harus diingat, bahwa dalam penegakan hukum, haruslah disesuaikan dengan cita hukum bangsa yang bersangkutan (Proklamasi, Pancasila, dan UUD 1945). Artinya, penegakan hukum tersebut haruslah disesuaikan dengan falsafah, pandangan hidup, kaidah, dan prinsip yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan, sehingga akan sesuai dengan kesadaran hukum yang mereka miliki. Untuk itu penegakan hukum haruslah disesuaikan dengan nilai-nilai yang dan dijunjung tinggi oleh masyarakat, yang bagi masyarakat Indonesia nilai-nilai tersebut, antara lain nilai ketuhanan, keadilan, kebersamaan, kedamaian, ketertiban, kemodernan musyawarah, perlindungan hak-hak asasi, dan sebagainya. Tentunya sebagai negara yang menganut system hukum Eropa Kontinental, sedapat mungkin nilai-nilai tersebut dinyatakan dalam bentuk undang-undang, termasuk dalam hal nilai dan kaidah penegakan hukumnya. Jadi nilai-nilai luhur dari Pancasila seperti keadilan, kemanusiaan dan hak asasi manusia (martabat manusia), kepastian hukum, kemanfaatan, dan persatuan  bangsa, harus diinternalisasikan dalam dinamika praktik penegakan hukum.
            Penegakan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakatnya. Oleh karena itu dalam membicarakan masalah ini sebaiknya tidak mengabaikan pembicaraan mengenai stuktur masyarakat yang ada di belakangnya. Penegakan hukum dalam suatu masyarakat mempunyai kecenderungan-kecenderungannya sendiri yang disebabkan oleh struktur masyarakatnya.
            Struktur masyarakat ini memberikan pengaruh, baik berupa penyediaan sarana sosial yang memungkinkan penegakan hukum itu dijalankan, maupun memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan ia tidak dapat dijalankan atau kurang dapat dijalankan secara optimal.
            Jadi masalah pokok dalam penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1)  Faktor hukumnya sendiri; 2)  Faktor penegak hukum; 3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4) Faktor masyarakat; dan 5) Faktor kebudayaan. Semoga dengan kita mendorong implementasi dan internalisasi nilai-nilai luhur Pancasila ini dalam setiap kesempatan akan terwujud kebijakan hukum yang benar-benar sesuai dengan Pancasila.
 
Faktor-faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan.  Dalam kebijakan publik paling tidak terdapat sebanyak enam faktor strategis yang biasanya mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut meliputi:
1. Faktor politik. Faktor ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan suatu kebijakan publik, karena dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai aktor kebijakan (policy actors), baik aktor-aktor dari pemerintah maupun dari kalangan bukan pemerintah (pengusaha, LSM, asosiasi profesi, media massa, dan lain-lain)
2. Faktor ekonomi/finansial. Faktor mi pun perlu dipertimbangkan terutama apabila kebijakan tersebut akan menggunakan atau menyerap dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam suatu daerah.
3. Faktor administratif/organisatoris. Dalam perumusan kebijakan perlu pula dipertimbangkan faktor administratif atau organisatoris yaitu apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung oleh kemampuan administratif yang memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu.
4. Faktor teknologi. Dalam perumusan kebijakan publik perlu mempertimbangkan teknologi yaitu apakah teknologi yang ada dapat mendukung apabila kebijakan tersebut diimplementasikan.
5. Faktor sosial, budaya, dan agama. Faktor ini pun perlu dipertimbangkan, misalnya apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan benturan sosial, budaya, dan agama atau yang sering disebut masalah Sara.
6. Faktor pertahanan dan keamanan. Faktor pertahanan dan keamanan ini pun akan berpengaruh dalam perumusan kebijakan, misalnya apakah kebijakan yang akan dikeluarkan tidak mengganggu stabilitas keamanan suatu daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar