Powered By Blogger

^^WelcÔm3 tø Mý room^^

[all about something]

Senin, 17 Desember 2012

Hukum dan Kelompok - kelompok Profesi Hukum

Nilai moral suatu Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dari pengembannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Setiap profesional hukum dituntut agar memiliki nilai moral yang kuat. Franz Magnis Suseno mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian profesional hukum.

1. Kejujuran
Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional hukum mengingkari misi profesinya, sehingga akan menjadi munafik, licik dan penuh tipu daya. Sikap yang terdapat dalam kejujuran yaitu :a. Sikap terbuka, berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan/keikhlasan melayani atau secara cuma-cumab. Sikap wajar. Ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan, tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas, tidak memeras.
2. Otentik
Otentik artinya menghayati dan menunjukan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Otentiknya pribadi profesional hukum antara lain :
a. tidak menyalahgunakan wewenang;
b. tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat (malkukan perbuatan tercela; 
c. mendahulukan kepentingan klien;
d. berani berinsiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana, tidak semata-mata menunggu atasan;
e. tidak mengisolasi diri dari pergaulan sosial.
3. Bertanggung Jawab
Dalam menjalankan tugasnya, profesioal hukum wajib bertanggung jawab, artinya :
a. kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya ;
b. bertindak secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma (prodeo);
c. kesediaan memberikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewajibannya.
4. Kemandirian Moral
Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan memebetuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri. mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruhi oleh pertimbangan untung rugi (pamrih), penyesuaian diri dengan nilai kesusilaan dan agama.
5. Keberanian Moral 
Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain :
a. menolak segala bentuk korupsi, kolusi suap, pungli;
b. menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yang tidak sah.

Sedangkan Pengertian etika profesi hukum sebagai berikut : Ilmu tentang kesusilaan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang patut dikerjakan seseorang dalam jabatannya sebagai pelaksana hukum dari hukum yang berlaku dalam suatu negara. sesuai dengan keperluan hukum bagi masyarakat Indonesi dewasa ini dikenal beberapa subyek hukum berpredikat profesi hukum yaitu : Polisi, Jaksa, Penasihat hukum (advokad, pengacara), Notaris, Jaksa, Polisi.
Seluruh sektor kehidupan, aktivitas, pola hidup, berpolitik baik dalam lingkup mikro maupun makro harus selalu berlandaskan nilai-nilai etika. Urgensi etika adalah, pertama, dengan dipakainya etika dalam seluruh sektor kehidupan manusia baik mikro maupun makro diharapakan dapat terwujud pengendalian, pengawasan dan penyesuaian sesuai dengan panduan etika yang wajib dipijaki, kedua, terjadinya tertib kehidupan bermasyarakat, ketiga, dapat ditegakan nilai-nilai dan advokasi kemanusiaan, kejujuran, keterbukaan dan keadilan, keempat, dapat ditegakkannya (keinginan) hidup manusia, kelima, dapat dihindarkan terjadinya free fight competition dan abus competition dan terakhir yang dapat ditambahkan adalah penjagaan agar tetap berpegang teguh pada norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat sehingga tatanan kehidupan dapat berlangsung dengan baik.
Berlandaskan pada pengertian dan urgensi etika, maka dapat diperoleh suatu deskripsi umum, bahwa ada titik temu antara etika dan dengan hukum. Keduanya memiliki kesamaan substansial dan orientasi terhadap kepentingan dan tata kehidupan manusia. Dalam hal ini etika menekankan pembicaraannya pada konstitusi soal baik buruknya perilaku manusia. Perbuatan manusia dapat disebut baik, arif dan bijak bilamana ada ketentuan secara normatif yang merumuskan bahwa hal itu bertentangan dengan pesan-pesan etika. Begitupun seorang dapat disebut melanggar etika bilamana sebelumnya dalam kaidah-kaidah etika memeng menyebutkan demikian. Sementara keterkaitannya dengan hukum, Paul Scholten menyebutkan, baik hukum maupun etika kedua-duanya mengatur perbuatan-perbuatan manusia sebagai manusia sebagai manusia, yaitu ada aturan yang mengharuskan untuk diikuti, sedangkan di sisi lain ada aturan yang melarang seseorang menjalankan sesuatu kegiatan, misalnya yang merugikan dan melanggar hak-hak orang lain. Pendapat Scholten menunjukan bahwa titik temu antara etika dengan hukum terletak pada muatan substansinya yang mengatur tentang perilaku-perilaku manusia. apa yang dilakukan oleh manusia selalu mendapatkan koreksi dari ketentuan-ketentuan hukum dan etika yang menentukannya. ada keharusan, perintah dan larangan, serta sanksi-sanksi.
Teori Hukum Dalam Hubungannya Dengan Etika 
Salah satu teori hukum yang memiliki keterkaitan signifikan dengan etika adalah "teori hukum sibernetika". Teori ini menurut Winner, hukum itu merupakan pusat pengendalian komunikasi antar individu yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Hukum itu diciptakan oleh pemegang kekuasaan, yang menurut premis yang mendahuluinya disebut sebagai central organ. Perwujudan tujuan atau pengendalian itu dilakukan dengan cara mengendalikan perilaku setiap individu, penghindaran sengketa atau dengan menerapkan sanksi-sanksi hukum terhadap suatu sengketa. Dengan cara demikian, setiap individu diharapakan berperilaku sesuai dengan perintah, dan keadilan dapat terwujud. Teori ini menunjukan tentang peran strategis pemegang kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk membuat (melahirkan) hukum. dari hukum yang berhasil disusun, diubah, diperbaharui, atau diamandemen ini, lantas dikosentrasikan orientasinya unyuk mengendalikan komunikasi antar individu dengan tujuan menegakan keadilan. Melalui implementasi hukum dengan diikuti ketegasan sanksi-sanksinya, diharapakan perilaku individu dapat dihindarkan dari sengketa, atau bagi anggota masyarakat yang terlibat dalam sengketa, konflik atau pertikaian, lantas dicarikan landasan pemecahannya dengan mengandalakan kekuatan hukum yang berlaku.
Dampak Penegakan Dan Pelanggaran Etika 
Penyair Syauqi Beg Menyebutkan "sesungguhnya bangsa itu jaya selama mereka masih mempunyai ahklak (moral) yang mulia, maka apabila ahklak mulianya telah hilang. maka hancurlah bangsa itu". Manusia memang sering kali bersikap dan berperilaku yang berlawanan dengan norma yang sudah dipelajari dan dipahaminya.  Norma moral memang sudah banyak dipahami oleh kalangan komunitas terdidik (aparatur negara) ini, tetapi mereka masih juga melihat pertimbangan kepentingan lain yang perlu, dan bahkan harus didahulukan dengan cara mengalahkan berlakunya norma moral (akhlak). contoh-contoh kasus yang merupakan dampak dari pelanggaran etika banyak di jumpai masyarakat atau dalam perjalanan kehidupan bangsa ini. perilaku orang kecil (kalangan miskin) yang melanggar norma moral sangat berbeda akibatnya jika dibandingkan dengan perilaku pejabat atau aparatur negara. Kalau pejabat atau aparatur negara yang melakukan penyimpangan moral, maka dampaknya bukan hanya sangat terasa bagi keberlanjutan hidup bermasyarakat dan bernegara, tetapi juaga terhadap citra institusi yang menjadi pengemban tegaknya moral. Masyarakat tanpa akhlak mulia sama seperti masyarakat rimba dimana pengaruh dan wibawa diraih dari keberhasilan menindas yang lemah, bukan dari komitmen terhadap integritas akhlak dalam diri. manusia yang mengabaikan etika kehidupan itulah yang membuat bumi ini sakit parah, menjadi korban keteraniayaan, atau mengalami kerusakan berat. kerusakan ini tidak lagi membuat bumi menjadi damai, bahkan sebaliknya menuntut tumbal yang mengerikan yang barangkali tidak terbayangkan dalam pikiran manusia. Banyaknya kasus yang terjadi dan akibat yang ditimbulkan lua biasa, maka ini menunjukan bahwa dampak dari pelanggaran etika atau penyimapangan moral tidaklah main-main. pelanggaran moral telah terbukti mengakibatkan problem serius di hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia. Kondisi masyarakat tampak demikian tidak berdaya, menjauh dari hak kesejahteraan, hak keadilan, hak pendidikan yang berkualitas, hak jaminan kesehatan dan keselamatan, adalah akibat pelanggaran moral yang sangat kuat.
Eksistensi Etika Profesi Hukum
Pameo "ubi societas ibi ius" (dimana ada masyarakat, disana ada hukum) sebenarnya mengungkapkan bahwa hukum adalah suatu gejala sosial yang bersifat universal. Dalam setiap masyarakat, mulai dari yang paling modern sampai pada masyarakat yang primitif, terdapat gejala sosial yang disebut hukum, apapun namanya. Bentuk dan wujudnya berbeda-beda, tergantung pada tingkat kemajemukan dan peradapan masyarakat yang bersangkutan. Istilah-istilah yang bermunculan di masyarakat pun tidak berbeda dengan apa dengan apa yang dialami dengan istilah hukum, yakni seiring dengan perkembangan (dinamika) yang terjadi dalam realitas kehidupan masyarakat. Di tengah masyarakat terdapat pelaku-pelaku sosial, politik, budaya, agama, ekonomi, dan lainnya, yang bisa saja melahirkan istilah-istilah atau makna varian sejalan dengan tarik menarik kepentingan. Perkembangan istilah-istilah yang diadaptasikan dengan dinamika sosial budaya masyarakat kerapkali menyulitkan kalangan ahli-ahli bahasa, terutama bila dikaitkan dengan penggunaan bahasa yang dilakukan di lingkungan jurnalistik media cetak. Perkembangan pers yang mengikuti target-target globalisasi informasi, industrialisasi atau bisnis media, dan transformasi kultural, politik dan ekonomi yang berlangsung cepat telah memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan dan pergeseran serta pengembangan makna, istilah, atau kosakata. Misalnya kata profesi cukup gampang diangkat dan dipakai oleh bermacam-macam pekerjaan, perbuatan, perilaku dan pengambilan keputusan. Kata profesi mudah digunakan sebagai pembenaran terhadap aktifitas tertentu yang dilakukan seseorang atau sekumpulan orang.
Profesi hukum memiliki tempat yang istimewa ditengah masyarakat, apalagi jika dikaitkan dengan eksistensi konstitusional kenegaraan yang telah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum (rechstaat). Profesi hukum  pun berangkat dari suatu proses, yang kemudian melahirkan pelaku hukum yang andal. Penguasaan terhadap perundang-undangan, hukum yang sedang berlaku dan diikuti dengan aspek aplikatifnya menjadi substansi profesi hukum. Tanggung jawab seorang yang profesional, menurut Wawan Setiawan, paling tidak harus bertanggung jawab kepada :
1. Klien dan masyarakat yang dilayaninya;
2. Sesama profesi dan kelompok profesinya;
3. Pemerintah dan negaranya.

Profesi Hukum dan Penegakan Hukum 
Suatu profesi hukum di awali dengan proses pendalaman dan penguasaan spesifikasi keilmuwan di bidang perundang-undangan (hukum). Orang yang berniat menjadi penyelenggara atau pengemban profesi hukum haruslah masuk dalam lingkaran atau komunitas proses. Tanpa melalui jalan ini, sulit dihasilkan seorang figur penyelenggara hukum yang handall (profesional). Profesionalitas ikut ditentukan oleh peran atau kontribusi yang ditujukan selama berada dalam komunitas profesi. Ada tahap seseorang baru boleh dan tepat mempelajari pengertian hukum dan profesi, kemudian dilanjutkan dengan mempelajari fungsi, orientasi dan manfaat sebuah profesi hukum ditengah masyarakat. Tahap-tahap yang perlu dilalui ini menjadi pengantar menuju penegakan, pemberdayaan dan pemuliaan profesi. Implementasi profesi itu, termasuk profesi hukum sebenarnya tergantung dari pribadi yang bersangkutan karena mereka secara pribadi mempunyai tanggung jawab penuh atas mutu pelayanan profesinya dan harus secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat atau diabadikan untuk kepentingan umum yang memerlukan pelayanan dalam bidang hukum, untuk itu tentunya memerlukan keahlian yang berkeilmuan serta dapat dipercaya. Dinamika kualitas pelayanan profesi itu terkait dengan tingkat dan macam problem yang dihadapi masyarakat. Suatu jenis profesi, termasuk profesi hukum akan bisa dilihat perkembangan dan prospeknya melalui ragam konflik sosial yang muncul. 
Untuk menjadi penyelenggara profesi hukum yang baik dibutuhkan kehadiran sarjana-sarjana hukum dan praktisi hukum yang memiliki kualifikasi sikap berikut :
1. Sikap kemanusiaan, agar tidak menaggapi (menyikapi) hukum secara formal belaka, Artinya, sebagai sarjana hukun dituntut sejak dini untuk gemar melakukan analisis dan interpretasi yuridis yang sesuai dengan aspirasi dan dinamika masyarakat, sehingga dalam dirinya tidak sampai kehilangan, apalgi tergusur atau terdegradasi wacana kemanusiaan. Tuntutan memiliki sikap kemanusiaan (human attitude) itu tidaklah muncul seketika, tetapi melalui proses yang menuntut konsentrasi dalam hal sinergi dan intelektual. Kalau sikap ini bisa dimiliki, maka seorang sarjana hukum akan mampu menjadi penyelenggara profesi hukum yang bukan tergolong sebagai "mulut/corong undang-undang" (la bauche de laloi), tetapi sebagai penyelenggara profesi hukum yang humanis.
2. Sikap keadilan yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan. Ketentuan perundang-undangan yang berhasil dipelajari dan mengantarkannya sebagi pihak yang jadi pusat ketergantungan masyarakat adalah sudah seharusnya kalu sikap-sikap yang ditujukan itu mencerminkan dan mengartikulasikan tuntutan masyarakat. pemenuhan terhadap tuntutan masyarakat yang memang sebenarnya merupakan hak-haknya akan menentukan apakah dirinya pantas disebut sebagai penyelenggara profesi hukum yang baik atau tidak. Sikap yang ditujukan dalam menangani suatu perkara hukum misalnya bukan dilatarbelakangi oleh tuntutan memperoleh keuntungan pribadi seperti harta dan kemapanan posisi, tetapi adalah memenuhi panggilan keadilan. Menunjukan sikap yang baik bukanlah hal yang mudah bagi penyelenggara hukum. Hal-hal yang menuju pada kebaikan kerapkali dihadapkan dengan beragam tantangan yang bertujuan hendak mematikan cahaya kebaikan itu. Kalau ada pihak yang bersemangat dan kukuh dalam memegang kode etik, maka di sisi lain biasanya terdapat sejumlah pengganggu yang menjadi pemerdayanya. Sikap adil yang ditujukan oleh penyelenggara profesi huku dapat dikategorikan sebagai ekspresi nuraniah yang cukup berani dan mulia, mengingat dengan sikap itu, penyelenggara profesi hukum berarti tidak sampai kehilangan  jati diri dan tetap menjadi pemenang karena mampu mengalahkan beragam tantangan yang berusaha menjinakan sikap adilnya.
3. Mampu melihat dan menempatkan nilai-nilai objektif dalam suatu perkara yang ditangani. Penyelenggara hukum yang dihadapkan dengan kasus seorang klien, yang perlu dan harus dikedepankan lebih dulu adalah mencermati dan menelaah secara teliti kronologis kasus tersebut. Ketika klien menyampaikan latar belakang kejadian munculnya kasus (konflik) itu, maka penyelenggara hukum dituntut bisa mempertanyakan, mendialogkan dan mengongklusiakn kasus itu sampai muncul dan apa yang diinginkan setelah kasus itu terjadi, termasuk menjelaskan kemungkinan-kemungkinan akhir kasus itu dengan berpijak pada inti persoalan objektif dan pijakan yuridis yang sudah diketahuinya. Wacana objektifitas itu sangat penting bagi penyelenggara hukum, mengingat hal ini selain dapat dijadikan bahan untuk membantu menyelesaikan kasus yang dihadapinya, ia juga akan tetap mampu memepertahankan konsistensi keintelektualannya dalam mengembangkan disiplin ilmu hukum. Penyelenggara seperti ini akan mampu menyeimbangkan antara da sollen dan das sein. Disiplin ilmu hukum yang berhasil diraihnya tetap percaya dan mampu menerangi kepentingan masyarakat, dan bukan senaliknya tergeser oleh kepentingan-kepentingan dan ambisi-ambisi yang melupakan  sisi normatif dan referensi keilmuannya.
4. Sikap kejujuran. Sikap ini boleh dikata menjadi panduan moral tertinggi bagi penyelenggara profesi hukum. sebagai suatu panduan tertinggi, tentulah akan terjadi resiko dan impact yang cukup komplikatif bagi kehidupan masyarakat dan kenegaraan kalau sampai sikap itu tidak dimiliki oleh penyelenggara hukum. Sebagai suatu sikap yang harus ditegakkan dalam penyelenggaraan profesi, maka tanggung jawab yang terkait dengannya akan ditentukan karenannya. Kasus-kasus hukum akan bisa diatasi dan tidak akan terhindar dari kemungkinan mengundang timbulnya persoalan sosial-yuridis yang baru bilamana komitmen kejujuran masih diberlakukan oleh kalangan penyelenggara profesi hukum. kasus-kasus yang muncul ditengah masyarakat, baik yang diketegorikan sebagai bentuk pelanggaran hukum maupun moral tidak sedikit di antaranya dikarenakan oleh ketidakjujuran yang dilakukan seseorang maupun kelompok sosial. Sikap jujur ini menjadi pangkal atas terlaksana dan tegaknya stabilitas nasional. Masyarakat, terlebih rakyat kecil akan dapat menikmati kehidupan sejahtera dan harmonis bilamana sikap jujur tak sampai terkikis dalam diri kalangan orang-orang besar yang diantaranya adalah penyelenggara profesi hukum yang salah satu tugasnya menjembatani aspirasi orang-orang kecil.
Profesi Hukum dan Manajemen Hukum
Manajemen hukum punya hubungan yang istimewa dengan profesi hukum. Dengan manajemen yang baik, citra profesi hukum akan jadi lebih baik. Sebaliknya, dengan manajemen yang buruk, citra profesi hukum akan menjadi buruk. Manajemen menjadi ukuran kinerja pengemban profesi hukum". 

Masalah-Masalah Profesi Hukum
Dalam pembahasan profesi hukum, Sumaryono (1995) menyebutkan lima masalah yang dihadapi sebagai kendala yang cukup serius, yaitu :
(a) Kualitas pengetahuan profesional hukum;
(b) Terjadi penyalahgunaan profesi hukum;
(c) Kecenderungan profesi hukum menjadi kegiatan bisnis;
(d) Penurunan kesadaran dan kepedulian sosial;
(e) Kontinuasi sistem yang sudah usang.

Masalah Profesi Kontemporer Profesi Hukum di Indonesia

Penyalahgunaan Profesi Hukum
Sumaryono menyatakan, penyalahgunaan dapat terjadi karena persaingan individu profesional hukum, atau karena tidak ada disiplin diri. dalam profesi hukum dapat dilihat dua hal yang sering berkontradiksi satu sama lain, yaitu di satu sisi cita-cita etika yang terlalu tinggi, dan di sisi lain praktek penggembalaan hukum yang berada jauh di bawah cita-cita tersebut. Dalam hal ini tidak seorang profesional hukum pun yang menginginkan perjalan kariernya terhambat karena cita-cita profesi yang terlalu tinggi dan karenanya memberikan pelayanan yang cenderung mementingkan diri sendiri. banyak profesional hukum menggunakan status profesinya untuk menciptakan uang atau untuk maksud-maksud politik.
penyalahgunaan profesi hukum dapat juga terjadi karena desakan pihak klien yang menginginkan perkaranya cepat selesai dan tentunua menang. Klien tidak segan-segan menawarkan bayaran yang cukup menggiurkan baik kepada penasihat hukum atau pun kepada hakim yang memeriksa perkara. Dalam hal ini terjadilah pertarungan, siapa yang menbayar mahal itulah yang bakal menang. penagakan hukum dijadikan ajang bisnis pelecehan hukum secara brutal. Di satu sisi penegak hukum beralih haluan dari keadilan ke penghasilan, dan di sisi lain klien menjadi perongrong wibawa hukum dan penegak hukum pokoknya menang. Bagaimana keadilan bagi yang tidak mampu? wahai pengemban profesi hukum: "kembalilah kepada etika profesi hukum".

Profesi Hukum Menjadi Kegiatan Bisnis
Yang dimaksud kegiatan bisnis adalah kegiatan yang tujuan utamanya mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Apabila kegiatan itu adalah kegiatan profesi hukum, maka dikatakan profesi hukum itu kegiatan bisnis. Jadi, ukuran untuk menyatakan profesi hukum itu kegiatan pelayanan bisnis atau kegiatan pelayanan umum terletak pada tujuan utamanya.
Memang diakui bahwa dari segi tujuannya, profesi hukum dibedakan antara profesi hukum yang bergerak dibidang pelayanan bisnis dan profesi hukum yang bergerak di bidang pelayanan umum. Profesi hukum pelayanan bisnis menjalankan pekerjaan berdasarkan hubungan bisnis (komersial), imbalan yang diterima sudah ditentukan menurut standar bisnis. Contohnya para konsultan yang menangani masalah kontrak-kontrak dagang, paten, merek. Sedangkan profesi hukum pelayanan umum menjalankan pekerjaan berdasarkan kepentingan umum baik dengan bayaran atau tanpa bayaran. Contoh profesi hukum pelayana umum adalah pengadilan, notaris, LBH, kalaupun ada bayaran, sifatwtnya biaya pekerjaan atau administrasi.

Perumusan Hukum dan Kebijakan, Pelaksanaan, Efektivitas, dan Hambatan

Membahas pembangunan bidang hukum sebagaimana di atas, tidak dapat melepaskan diri dari pembahasan tentang  kebijakan hukum atau politik hukum. Menurut G.P. Hoefnagels, kebijakan hukum merupakan bagian tidak terpisahkan (integral) dari kebijakan sosial (social policy); atau dengan kata lain, kebijakan sosial mencakup di dalamnya kebijakan hukum, yang selengkapnya dikatakan kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Jadi, kebijakan perundang-undangan (legislative policy) dan kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy), yang menurut Barda Nawawi Arief, adalah kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. Dalam konteks ke-Indonesia-an, tujuan dimaksud telah dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diuraikan di muka.
           Dalam pandangan Sudarto, politik hukum atau kebijakan hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan  keadaan dan situasi pada suatu saat. Pada kesempatan lain beliau mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dari badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan mencapai apa yang dicita-citakan.
           Sedangkan  kebijakan sosial (social policy), menurut Barda Nawawi Arief, adalah segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian "social policy" sekaligus tercakup di dalamnya "social welfare policy" dan " social defence policy".
            Menurut H.P. Hoefnagels, dalam kebijakan hukum atau kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) ini meliputi  juga kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal - criminal policy). Beliau mendefinisikan criminal policy sebagai  the rational organization of social reaction to crime. Beberapa definisi ilustratif tentang criminal policy juga diberikan oleh Hoefnagels, seperti:
a.   Criminal policy is the science of responses;
b.   Criminal policy is the science of crime prevention;
c.   Criminal policy is a policy of designating human behavior of  crime;
d.   Criminal policy is a rational total of responses to crime.

            Dalam penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan yang integral, dalam arti:
a. Ada keterpaduan (integralitas)  antara politik kriminal dan politik sosial;
b. Ada keterpaduan (integralitas) antar penangulangan kejahatan dengan "penal" dan "non-penal".
            Penanggulangan kejahatan dengan sarana "penal" tentu saja dilakukan melalui serangkaian kebijakan hukum pidana (penal policy). Dengan demikian usaha dan kebijakan untuk membuat hukum pidana yang baik dan berdayaguna atau politik hukum pidana (penal policy) merupakan bagian dari politik criminal (criminal policy) sebagaimana telah diuraikan panjang lebar di atas.

Penegakan Hukum Berperspektif  Nilai-nilai Pancasila
            Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum mengatur suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum) yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Jadi tidak bisa dipisahkan begitu saja antara penegakan hukum dan pembuatan hukum.
            Upaya penegakan hukum memberikan arti adanya upaya untuk menjaga agar keberadaan hukum yang diakui di dalam suatu masyarakat dapat tetap ditegakkan. Upaya tersebut pada dasarnya harus menjamin agar setiap warga negara mematuhi hukum yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan. Ini, menurut Rudi Hartono, sejalan dengan asas restitution in integurm, bahwa keseimbangan dalam masyarakat yang telah terganggu (karena tidak dilaksanakan atau dilanggarnya suatu aturan hukum) harus dipulihkan ke keadaan semula, untuk tujuan menciptakan suasana yang teratur, tertib, damai, dan aman, yang merupakan jaminan bagi kelangsungan hidup manusia. Hukum mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan bersama, maka tata hukum bertitik tolak pada penghormatan dan perlindungan manusia. Oleh karena itu agar kepentingan manusia (justiabelen) terlindungi, sesuai dengan adagium "fiat justitia et pereat mundus", hukum harus ditegakan walaupun langit runtuh, baik dalam keadaan normal atau damai, atau pada saat  terjadi pelanggaran hukum.
            Akan tetapi harus diingat, bahwa dalam penegakan hukum, haruslah disesuaikan dengan cita hukum bangsa yang bersangkutan (Proklamasi, Pancasila, dan UUD 1945). Artinya, penegakan hukum tersebut haruslah disesuaikan dengan falsafah, pandangan hidup, kaidah, dan prinsip yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan, sehingga akan sesuai dengan kesadaran hukum yang mereka miliki. Untuk itu penegakan hukum haruslah disesuaikan dengan nilai-nilai yang dan dijunjung tinggi oleh masyarakat, yang bagi masyarakat Indonesia nilai-nilai tersebut, antara lain nilai ketuhanan, keadilan, kebersamaan, kedamaian, ketertiban, kemodernan musyawarah, perlindungan hak-hak asasi, dan sebagainya. Tentunya sebagai negara yang menganut system hukum Eropa Kontinental, sedapat mungkin nilai-nilai tersebut dinyatakan dalam bentuk undang-undang, termasuk dalam hal nilai dan kaidah penegakan hukumnya. Jadi nilai-nilai luhur dari Pancasila seperti keadilan, kemanusiaan dan hak asasi manusia (martabat manusia), kepastian hukum, kemanfaatan, dan persatuan  bangsa, harus diinternalisasikan dalam dinamika praktik penegakan hukum.
            Penegakan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakatnya. Oleh karena itu dalam membicarakan masalah ini sebaiknya tidak mengabaikan pembicaraan mengenai stuktur masyarakat yang ada di belakangnya. Penegakan hukum dalam suatu masyarakat mempunyai kecenderungan-kecenderungannya sendiri yang disebabkan oleh struktur masyarakatnya.
            Struktur masyarakat ini memberikan pengaruh, baik berupa penyediaan sarana sosial yang memungkinkan penegakan hukum itu dijalankan, maupun memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan ia tidak dapat dijalankan atau kurang dapat dijalankan secara optimal.
            Jadi masalah pokok dalam penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1)  Faktor hukumnya sendiri; 2)  Faktor penegak hukum; 3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4) Faktor masyarakat; dan 5) Faktor kebudayaan. Semoga dengan kita mendorong implementasi dan internalisasi nilai-nilai luhur Pancasila ini dalam setiap kesempatan akan terwujud kebijakan hukum yang benar-benar sesuai dengan Pancasila.
 
Faktor-faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan.  Dalam kebijakan publik paling tidak terdapat sebanyak enam faktor strategis yang biasanya mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut meliputi:
1. Faktor politik. Faktor ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan suatu kebijakan publik, karena dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai aktor kebijakan (policy actors), baik aktor-aktor dari pemerintah maupun dari kalangan bukan pemerintah (pengusaha, LSM, asosiasi profesi, media massa, dan lain-lain)
2. Faktor ekonomi/finansial. Faktor mi pun perlu dipertimbangkan terutama apabila kebijakan tersebut akan menggunakan atau menyerap dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam suatu daerah.
3. Faktor administratif/organisatoris. Dalam perumusan kebijakan perlu pula dipertimbangkan faktor administratif atau organisatoris yaitu apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung oleh kemampuan administratif yang memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu.
4. Faktor teknologi. Dalam perumusan kebijakan publik perlu mempertimbangkan teknologi yaitu apakah teknologi yang ada dapat mendukung apabila kebijakan tersebut diimplementasikan.
5. Faktor sosial, budaya, dan agama. Faktor ini pun perlu dipertimbangkan, misalnya apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan benturan sosial, budaya, dan agama atau yang sering disebut masalah Sara.
6. Faktor pertahanan dan keamanan. Faktor pertahanan dan keamanan ini pun akan berpengaruh dalam perumusan kebijakan, misalnya apakah kebijakan yang akan dikeluarkan tidak mengganggu stabilitas keamanan suatu daerah.

Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA
     Istilah penegakan hukum dalam Bahasa Indonesia membawa kita kepada pemikiran bahwa penegakan hukum selalu dengan paksaan sehingga ada yang berpendapat bahwa penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Penegakan hukum memiliki arti yang sangat luas meliputi segi preventif dan represif, cocok dengan kondisi Indonesia yang unsur pemerintahnya turut aktif dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
            Penegakan hukum lingkungan merupakan penegakan hukum yang cukup rumit karena hukum lingkungan menempati titik silang antara antara berbagai bidang hukum klasik. Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam siklus pengaturan perencanaan kebijakan tentang lingkungan yang urutannya sebagai berikut:
1.      Perundang-undangan,
2.      Penentuan standar,
3.      Pemberian izin,
4.      Penerapan,
5.      Penegakan hukum.
            Menurut Mertokusumo, kalau dalam penegakan hukum, yang diperhatikan hanya kepastian hukum, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan. Oleh karena itu dalam penegakan hukum lingkungan ketiga unsur tersebut yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan harus dikompromikan. Artinya ketiganya harus mendapat perhatian secara proposional seimbang dalam penanganannya, meskipun di dalam praktek tidak selalu mudah melakukannya.
            Berbeda halnya dengan M. Daud Silalahi yang menyebutkan bahwa penegakan hukum lingkungan mencakup penaatan dan penindakan yang meliputi hukum administrasi negara, bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana.
            Undang-Undang No.23 Tahun 1997 menyediakan tiga macam penegakan hukum lingkungan yaitu penegakan hukum administrasi, perdata dan pidana. Diantara ke tiga bentuk penegakan hukum yang tersedia, penegakan hukum administrasi dianggap sebagai upaya penegakan hukum terpenting. Hal ini karena penegakan hukum administrasi lebih ditunjukan kepada upaya mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan. Di samping itu, penegakan hukum administrasi juga bertujuan untuk menghukum pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan.

Penegakan Hukum Lingkungan Administrasi
               Penegakan hukum lingkungan administrasi pada dasarnya berkaitan dengan pengertian dari penegakan hukum lingkungan itu sendiri serta hukum administrasi karena penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum yaitu administrasi, perdata dan pidana. Dengan demikian penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan sarana administratif, keperdataan dan kepidanaan.
               Penggunaan hukum administrasi dalam penegakan hukum lingkungan mempunyai dua fungsi yaitu bersifat preventif dan represif. Bersifat preventif yaitu berkaitan dengan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang terhadap pelaku kegiatan, dan dapat juga berupa pemberian penerangan dan nasihat. Sedangkan sifat represif berupa sanksi yang diberikan oleh pejabat yang berwenang terhadap pelaku atau penanggung jawab kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran.
               Penegakan hukum administrasi memberikan sarana bagi warga negara untuk menyalurkan haknya dalam mengajukan gugatan terhadap badan pemerintahan. Gugatan hukum administrasi dapat terjadi karena kesalahan atau kekeliruan dalam proses penerbitan sebuah Keputusan Tata Usaha Negara yang berdampak penting terhadap lingkungan.
               Penegakan hukum administrasi yang bersifat preventif berawal dari proses pemberian izin terhadap pelaku kegiatan sampai kewenangan dalam melakukan pengawasan yang diatur dalam Pasal 18, 22, 23, dan 24 U.U.P.L.H. Sedangkan yang bersifat represif berhubungan dengan sanksi administrasi yang harus diberikan terhadap pencemar yang diatur dalam Pasal 25 sampai Pasal 27 U.U.P.L.H No.23 Tahun 1997.
               Pelanggaran tertentu terhadap lingkungan hidup dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan atau kegiatan. Bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda, mulai dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan pelanggaran yang menimbulkan korban. Pelanggaran tertentu merupakan pelanggaran oleh usaha dan atau kegiatan yang dianggap berbobot untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya telah ada warga masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk kepentingan efektifitas hukum lingkungan itu agar dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat. Sanksi itu pula sebagai sarana atau instrumen untuk melakukan penegakan hukum agar tujuan hukum itu sesuai dengan kenyataan.
               Siti Sundari Rangkuti menyebutkan bahwa penegakan hukum secara preventif berarti pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan, kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Instrumen penting dalam penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin dan sebagainya). Dengan  demikian izin penegak hukum yang utama di sini adalah pejabat atau aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan.
               Dalam rangka efektifitas tugas negara, Pasal 25 U.U.P.L.H No.23 Tahun 1997 memungkinkan Gubernur untuk mengeluarkan paksaan pemerintah untuk mencegah dan mengakhiri pelanggaran, untuk menanggulangi akibat dan untuk melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan pemulihan. Disamping paksaan pemerintah, upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui audit lingkungan. Audit lingkungan merupakan suatu instrumen penting bagi penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk meningkatkan efisiensi kegiatan dan kinerjanya dalam menaati persyaratan lingkungan hidup yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Audit lingkungan hidup dibuat secara sukarela untuk memverifikasi ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku, serta dengan kebijaksanaan dan standar yang diterapkan secara internal oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
               Penegakan hukum administrasi yang bersifat represif merupakan tindakan pemerintah dalam pemberian sanksi administrasi terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup. Sanksi administrasi berupa:
(1)  pemberian teguran keras
(2)  pembayaran uang paksaan
(3)  penangguhan berlakunya izin.
(4) pencabutan izin
               Mas Achmad Santosa menyebutkan bahwa penegakan hukum lingkungan di bidang administrasi memiliki beberapa manfaat strategis dibandingkan dengan perangkat penegakan hukum lainnya oleh karena:
Penegakan hukum lingkungan dapat dioptimal sebagai perangkat pencegahan.
Penegakan hukum lingkungan administrasi lebih efisien dari sudut pembiayaan bila dibandingkan dengan penegakan hukum perdata dan pidana. Pembiayaan untuk penegakan hukum administrasi hanya meliputi pembiayaan pengawasan lapangan dan pengujian laboratorium.
Penegakan hukum lingkungan administrasi lebih memiliki kemampuan mengundang partisipasi masyarakat dimulai dari proses perizinan, pemantauan, penaatan/ pengawasan dan partisipasi masyarakat dal;am mengajukan keberatan untuk meminta pejabat tata usaha negara dalam memberlakukan sangsi administrasi.
            Perangkat penegakan hukum administrasi sebagai sebuah sistem hukum dan pemerintahan paling tidak harus meliputi, yang merupakan prasyarat awal dari efektifitas penegakan hukum lingkungan administrasi yaitu :
1. Izin, yang didayagunakan sebagai perangkat pengawasan dan pengendalian;
2. Persyaratan dalam izin dengan merujuk pada AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan), standar baku mutu lingkungan, peraturan perundang undangan;
3. Mekanisme pengawasan penaatan;
4. Keberadaan pejabat pengawas yang memadai secara kualitas dan kuantitas;
5. Sanksi administrasi.
            Selanjutnya Mas Achmad Santosa mengemukakan sepuluh mekanisme penegakan hukum lingkungan administrasi yaitu:
1. Permohonan izin harus disertai informasi lingkungan sebagai alat pengambilan keputusan-studi AMDAL: RKL, dan RPL, atau UKL dan UPL dan informasi-informasi lingkungan lainnya.
2. Konsultasi publik dalam rangka mengundang berbagai masukan dari masyarakat sebelum izin diterbitkan.
3. Keberadaan mekanisme pengolahan masukan publik untuk mencegah konsultasi publik yang bersifat basa basi.
4. Atas dasar informasi-informasi yang disampaikan dan masukan publik, pengambilan keputusan berdasarkan kelayakan lingkungan di samping kelayakan dari sudut teknis dan ekonomis dilakukan.
5. Apabila izin telah dikeluarkan, maka izin tersebut harus diumumkan dan bersifat terbuka untuk umum.
6. Laporan penaatan yang dibuat secara berkala oleh pemegang izin dan disampaikan kepada regulator.
7. Inspeksi lapangan dibuat secara berkala dan impromtu sesuai dengan kebutuhan.
8. Tersedianya hak dan kewajiban pengawas dan hak serta kewajiban objek yang diawasi yang dijamin oleh undang-undang.
9. Pemberlakuan sanksi administrasi yang diberlakukan secara sistematis dan bertahap.
10. Mekanisme koordinasi antara pejabat yang bertanggung jawab di bidang penegakan hukum administrasi dengan penyidik pidana apabila pelanggaran telah memenuhi unsur-unsur pidana.










DAFTAR PUSTAKA
Edorita, Widia, Peranan Amdal dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara Asia Tenggara, 2007.
Edorita, Widia, Peranan Amdal dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara Asia Tenggara, 2007.
Hamzah, Andi, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)
Silalahi, M. Daud, Hukum Lingkungan Dalam Sistem penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. (Alumni Bandung, 2001)

Penyelesaian Berkas di Tingkat Kasasi

PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui bahwa pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding adalah judex factie, artinya sama-sama memeriksa perkara baik dari segi fakta maupun dari segi hukumnya secara keseluruhan.
Judex factie ini berakhir di tingkat banding, tapi rasanya kurang adil kalau para pencari keadilan kepada judex factie itu tidak diberi kesempatan untuk dapat menggunakan upaya hukum jika menurut mereka bahwa judex factie itu telah keliru menerapkan hukum atau telah melanggar hukum yang berlaku atau keliru tentang kewenangannya atau lalai memenuhi syarat – syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan kebatalan putusan.







PROSES PENYELESAIAN BERKAS DI TINGKAT KASASI/MA
1. Pengertian dan Dasar hukum Kasasi
Pemeriksaan tingkat kasasi adalah pemeriksaan tentang penerapan hukum dari suatu putusan hakim. Pemeriksaan hanya sebatas pada apa yang dimintakan kasasi. Kasasi adalah suatu upaya hukum biasa yang kedua, yang diajukan oleh pihak yang merasa tidak puas atas penetapan dan putusan dibawah mahkamah agung mengenai:
a. Kewenangan Pengadilan
b. Kesalahan penerapan hukum yang dilakukan pengadilan bawahan tingkat I atau II dalam memeriksa dan memutus perkara
c. Kesalahan atau kelalaian dalam cara – cara mengadili menurut syarat – syarat yang ditentukan peraturan perundang – undangan
Atas alasan - alasan inilah upaya hukum kasasi dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung RI. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa Mahkamah Agung RI dalam memeriksa perkara kasasi bukan Peradilan Tingkat Tertinggi, sebab yang dikasasi itu adalah putusan tingkat tertinggi yang dalam hal ini adalah Pengadilan Tinggi Agama. Mahkamah Agung RI dalam memeriksa dan memutus perkara kasasi hanya meliputi bagian hukumnya saja, tidak mengenai peristiwa dan atau fakta dalam perkara yang dimohonkan kasasi itu, sebab hal ini sudah diperiksa oleh Hakim Pengadilan Agama dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama.
Ketentuan tentang upaya hukum kasasi diatur dalam Pasal 10 ayat (3)  dan Pasal 20 Undang - undang Nomor 14 Tahun 1985.

2. Prosedur penerimaan perkara kasasi
Permohonan kasasi dapat di ajukan dalam waktu 14 hari setelah putusan di ucapkan.
Pernyataan kasasi dapat diterima apabila panjer biaya perkara kasasi yang di taksir dalam SKUM oleh meja pertama telah dibayar lunas.
Apabila biaya kasasi telah dibayar lunas, maka pengadilan wajib membuat akta pernyataan kasasi dan mencatat permohonan kasasi tersebut dalam register induk perkara perdata dan register kasasi perkara perdata.
Akta pernyaan permohonan kasasi dalam waktu 14 hari sesudah pernyataan kasasi harus sudah diterima pada kepaniteraan pengadilan agama.
Tanggal penerimaan memori tersebut, harus dicatat dalam suatu surat keterangan panitera yang ditanda tangani oleh panitera.
Jawaban kontra memori kasasi, selambat-lambatnya 14 hari sesudah disampaikannya memori kasasi, harus sudah diterima pada kepaniteraan pengadilan agama untuk disampaikan kepada pihak lawannya.
Dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diajukan, berkas kasasi berupa bundel A dan B harus sudah dikirim ke mahkamah agung RI.
Biaya pemeriksaan perkara kasasi di kirim melalui Bank BRI cabang veteran raya No. 8 Jak-pus, Rekening No.011238-001-5 bersamaan dengan berkas yang bersangkutan. Biayannya tersebut adalah sebesar RP. 100.000. (Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/054/SK/X/1997)
Dalam menaksir biaya kasasi supaya diperhitungkan dengan besarnya biaya kasasi sebagaimana yang di tentukan oleh Mahkamah Agung RI tersebut di atas, ditambah dengan biaya pemberitahuaan, berupa pemberitahuan pernyataan kasasi, memori kasasi, kontra memori kasasi dan biaya pencatatan permohonan kasasi, serta biaya pemberitahuan bunyi putusan kasasi.
Foto copy relaas pemberitahuan putusan mahkamah agung RI supaya dikirim ke Mahkamah Agung RI.

3. Administrasi Perkara Kasasi
Bundel berkas perkara kasasi terdiri dari bundel A dan B. Sebagaimana dalam administrasi perkara banding, bundel A merupakan himpunan surat-surat yang diawali dengan surtat gugat dan semua kegiatan atau proses penyidangan/pemeriksaan perkara tersebut yang selalu di simpan di pengadilan agama. Adapun bundel B untuk permohonan perkara kasasi selalu ditinggal menjadi arsip mahkamah agung RI yang terdiri dari:
Relaas - relaas pemberitahuan isi putusan banding kepada kedua belah pihak yang berperkara.
Akta permohonan kasasi.
Surat kuasa khusus dari pemohon kasasi.
Memori kasasi (bila ada) atau surat keterangan apabila permohonan kasasi tidak di terima memori kasasi.
Tanda terima memori kasasi.
Relaas pemberitahuan memori kasasi kepada pihak lawan.
Relaas pemberitahuan kontra memori kasasi kepada pihak lawan.
Kontra memori kasasi (bila ada).
Relaas memberikan kesempatan pihak-pihak untuk melihat, membaca, dan memeriksa berkas perkara/permohonan.
Salinan putusan pengadilan agama.
Salinan putusan pengadilan tinggi agama.
Tanda bukti setoran biaya kasasi yang sah dari bank .
Surat-surat lain yang sekiranya ada. 
4. Pemeriksaan dalam tingkat kasasi
Sebagaimana pemeriksaan dalam tingkat pertama dan banding, pemeriksaan dalam tingkat kasasi juga harus dilaksanakan dengan sekurang-kurangnya 3 orang hakim, seorang hakim bertindak sebagai hakim ketua dan lainnya sebagai hakim anggota, serta di bantu oleh seorang panitera atau panitera pengganti.
Pemeriksaan kasasi yang dilaksanakan oleh majlis sebagaimana tersebut diatas hanya memeriksa tentang hukumnya saja, tidak lagi memeriksa peristiwa dan pembuktian. Sehubungan dengan hal ini kedudukan risalah kasasi dan kontra risalah kasasi menjadi sangat penting bagi mahkamah agung RI dalam melakukan apakah hukum sudah di terapkan dengan benar atau tidak oleh hakim judex factie. Jika risalah kasasi tidak dibuat oleh pemohon kasasi maka kasasi dianggap tidak ada, sebab tidak mempunyai alasan hukum.
Ketentuan pemohon kasasi yang tidak di barengi dengan risalah kasasi dapat dilihat dalam penjelasan pasal 47 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1985 yang mengemukakan bahwa risalah kasasi merupakan hal yang wajib di penuhi oleh pemohon kasasi. Jika pemeriksaan dalam tingkat kasasi telah selesai dilaksanakan, maka putusan kasasi dapat berupa sebagai berikut:
a) Permohonan kasasi tidak dapat diterima.
Alasan permohonan kasasi tidak dapat diterima apabila jangka waktu permohonan kasasi yang di tetapkan oleh UU telah lewat, atau memori kasasi tidak di ajukan oleh para pihak pemohon kasasi, atau apabila permohonan kasasi diajukan oleh orang yang tidak berwenang.
b) Permohonan kasasi ditolak.
Ditolaknya permohonan kasasi karena keberatan-keberatan yang diajukan sekarang oleh pemohon kasasi terhadap putusan Hakim tingkat pertama dan banding semata-mata mengenai kejadian/peristiwa yang tidak termasuk wewenang mahkamah agung RI. Kasasi bisa juga ditolak apabila alasan yang diajukan kasasi yang termuat dalam risalah kasasi bertentangan dengan hukum, sedangkan judex factie sudah benar menerapkan hukumnya atau juga segala hal yang dimuat dalam risalah kasasi tidak mendukung putusan yang telah diambil oleh judex factie.
c) Permohonan kasasi dikabulkan.
Apabila permohonan kasasi beralasan dan alasan-alasan yang dimuat dalam risalah kasasi dibenarkan oleh Mahkamah Agung RI, maka permohonan kasasi dapat diterima atau dikabulkan sekiranya Mahkamah Agung RI menerima atau mengabulkan permohonan kasasi, maka putusan Hakim judex factie yang dimohonkan kasasi dibatalkan. Hal ini berarti apa yang telah diputus oleh Hakim judex factie mengenai hukum adalah tidak benar atau tidak tepat, atau ada kesalahan, dan kekeliruan dalam penerapannya atau mungkin tidak diterapkan sama sekali.